700-1300 kata per chapter
Kalau ada nominasi orang tersabar di dunia, gue yakin lo yang menang, Zel.
Jazel mengendarai motornya dengan sedikit terburu-buru. Kemalangan baru saja menyambut paginya yang cerah. Sebenarnya bukan murni sial. Pemuda 20 tahun itu harus memupuk kesabaran saat ban motornya kempes. Raka dengan jahilnya membuat ban motornya bocor hingga ia terpaksa mampir ke bengkel dulu.
"Pak, maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya bocor."
Jazel menunduk dengan tangan saling meremat. Ini kali pertamanya ia terlambat selama satu tahun bekerja di kafe Sweet Candy.
"Kali ini saya maklumi, Jazel. Tapi lain kali, kalau kamu terlambat lagi, saya akan kasih SP1 ke kamu."
Jazel menghela napas pelan. Perasaannya lega. Pemuda itu mengukir senyumnya sebagai rasa terima kasihnya. Setelahnya, Jazel menuju ke belakang untuk meletakkan tasnya. Jazel di kafe ini bekerja di bagian kasir.
'Bismillah.'
Sebelum memulai pekerjaannya, tak lupa ia memanjatkan doa agar harinya lancar. Lantas ia melangkah ke meja kasir. Di sana sudah ada rekan kerjanya yang membantu menggantikan pekerjaannya selama ia belum datang.
"Bang, makasih udah gantiin dulu. Maaf ngerepotin."
Jazel mengulas senyumnya. Merasa tak enak hati telah merepotkan seseorang yang selalu ia panggil dengan sebutan 'abang' itu. Bian namanya, pemuda itu menepuk pelan bahu Jazel.
"Santai. Kayak sama siapa aja. Lagian juga lo baru telat 15 menit. Gue balik ke dapur dulu ya."
Jazel mengangguk. Lantas ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Bersiap melayani pembeli. Meski ia bekerja sampai sore, bahkan terkadang sampai larut malam, namun ia merasa bahagia bekerja di sini.
Banyak para pelanggan yang mengenal Jazel dengan baik. Sosoknya yang ramah dan murah senyum membuat mereka akrab dengan Jazel.
"Jazel, sini dulu."
Saat ia sedikit lengang, pemilik kafe memanggilnya. Pemuda itu mengerutkan keningnya sebentar, namun pada akhirnya ia pun mulai melangkah ke arah bosnya.
"Iya, Pak. Kenapa?"
"Nanti kamu lembur ya. Tapi kamu tenang aja. Bian juga ikut lembur. Besok kafe ini bakal disewa orang. Yang nyewa tuh konglomerat."
Jazel termangu. Bukan ia yang tak mau lembur, masalahnya ia tak mungkin bisa mengabari ibu maupun adiknya. Pemuda itu tak memiliki ponsel. Dan mungkin saja ia akan mendapat hukuman karena pulang larut. Sebenarnya ia dulu pernah mempunyai ponsel, hanya saja terpaksa harus dijual karena kala itu ada kebutuhan mendadak yang harus terpenuhi.
"Gimana, Zel?"
Jazel mengangguk kaku. "Bisa, Pak. Saya akan ikut lembur."
Jazel menyetujuinya. Biar bagaimanapun ini rezekinya. Ia bisa mendapat gaji tambahan nanti. Urusan ibu dan adiknya bisa ia pikirkan nanti sepulang kerja. Ia adalah tulang punggung keluarganya. Selain ia harus menanggung biaya hidup ibu dan adiknya, ia pun juga harus menabung untuk kelangsungan hidupnya.
"Semangat, Jazel. Lo bisa!"
Jazel menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Mencoba membuat perasaannya sendiri rileks.
***
"Zel, lo dikunciin?"
Jazel menunduk dalam. Hari telah larut. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dan seperti yang telah Jazel duga, sang ibu tak mau membukakan pintu untuknya. Padahal ia benar-benar lemas. Belum lagi hawa dingin yang tengah memeluk tubuhnya.
"Nggak apa-apa, Bang. Lo pulang aja."
Bian berdecak kesal. "Nggak apa-apa gimana? Lo pucat begini."
Bian bukan seorang teman yang tak peka. Wajah Jazel terlihat pucat. Bibir itu terlihat bergemelutuk. Kentara sekali bahwa Jazel tidak baik-baik saja. Pemuda itu pun memutuskan untuk melepaskan jaketnya, lalu memberikannya pada Jazel.
"Gue pulang dulu. Kalau ada apa-apa telepon aja."
"Bang, gue nggak punya hape."
Bian memejamkan mata sesaat. Ia hampir melupakan fakta itu. Sebenarnya, Bian sudah menawarkan ponsel untuk sang sahabat. Kebetulan ia mempunyai ponsel bekas di rumah. Namun Jazel menolak tawaran Bian.
"Sorry. Lupa gue."
Pemuda itu menepuk bahu Jazel, bermaksud menyalurkan semangat. Setelahnya lantas ia pamit untuk pulang. Meninggalkan Jazel yang kini telah melunturkan senyumnya. Seakan ia baru saja melepas topengnya. Di teras hanya ada meja kecil dan kursi yang tak akan bisa ia pakai untuk tidur. Dengan terpaksa, ia hanya bisa berbaring di lantai tanpa alas apa pun.
***
BYUR!!
Pagi-pagi Jazel mendapat sapaan manis dari ibunya. Tubuh pemuda itu basah kuyup karena Meilani -- sang ibu menyiramnya dengan satu ember air dingin.
"Jam segini kamu belum bangun. Ini udah jam 6 pagi. Cepetan bikin sarapan buat saya dan Raka."
Meilani melempar kasar ember kosong ke tubuh Jazel tanpa rasa sesal. Sesaat sebelum ia kembali masuk rumah, ia kembali melontarkan kata-kata tajamnya.
"Lain kali kalau lembur, masak yang cukup buat di rumah. Kamu harus tahu diri. Di sini kamu cuman numpang."
Jazel mengangguk lemah. Semalaman ia harus tidur di lantai tanpa alas apa pun. Dan ketika pagi menjemput, ia harus mendapat guyuran air dingin. Jazel bangkit dari duduknya sembari membawa tas beserta jaket milik Bian. Tubuhnya agak sempoyongan karena kepalanya terasa sangat pusing.
"Lapor, Pak. Jazel sudah masuk ke rumahnya. Hanya saja, sepertinya ia kurang enak badan."
Tanpa Jazel sadari, ada seseorang yang tengah mengintai dirinya, bahkan sejak semalam ia tertidur di depan teras rumah.
🅣🅑🅒
Enak juga chapter pendek-pendek gini. Btw, nggak harus visualnya sama kayak yang aku pakai. Boleh banget pakai visual lain 😸
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Novela JuvenilTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...