Bagian 17

11.5K 732 19
                                    

"Adek mana? Kok nggak jenguk aku?"

Semua terasa suram. Sudah seminggu sosok berhati lembut itu enggan membuka mata. Jazel sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Sejak 2 hari yang lalu. Kata dokter, keadaan pemuda itu sudah stabil. Tak ada yang perlu dikhawatirkan meski ETT belum bisa dilepas karena Jazel masih membutuhkannya untuk bernapas lebih keras lagi. Jazel perlu waktu lebih banyak untuk terlelap.

Jilan ada di kamarnya saat ini. Kedua orang tuanya memaksanya untuk pulanh beristirahat. Namun saudara kembar mana yang bisa istirahat ketika melihat saudaranya dalam keadaan serapuh itu? Sudah sejak satu jam yang lalu, Jilan memilih berbaring sembari menatap kosong langit-langit kamar.

'Menemukan pendonor jantung itu memang sulit, Mas Jilan. Selain harus yang sama golongan darahnya, rhesus pun harus sama, apakah negatif atau positif. Bahkan ukuran jantung dari pendonor pun harus dipikirkan.'

Pembicaraannya dengan salah satu dokter yang ia temui kembali muncul di pikirannya. Tangannya merasa badanya. Ada detak normal di sana. Lantas ia mengingat sang kakak yang detakan jantungnya tak normal seperti dirinya.

'Belum lagi kita harus mendapat izin dari keluarga pendonor. Kalau nggak ada izin, kita nggak bisa sembarangan melakukan operasi transplantasi jantung, sekalipun pendonor bersedia.'

Jilan mengusap wajahnya kasar. Mata pemuda itu sebenarnya sudah pedih karena kurang tidur, namun ia enggan terlelap. Banyak yang mengganggu pikirannya.

"Kak Jilan ...,"

Panggilan Akala membuyarkan lamunan Jilan. Pemuda itu berusaha menegakkan tubuhnya meski rasa pening menerjang kepalanya. Melihat sang kakak yang terlihat memegang kepalanya, Akala mendekat.

"Kakak, kenapa?"

Jilan menggeleng. Matanya kembali fokus pada Akala yang kini duduk di sebelahnya.

"Enggak. Kakak cuman pusing karena duduk mendadak. Kenapa panggil Kakak?"

Akala gugup. Kedua tangannya refleks saling meremat. Melihat wajah kakaknya yang terlihat pucat membuat Akala ingin mengurungkan niatnya yang sejak seminggu lalu ia kumpulkan.

"N-Nggak jadi, Kak. Kakak istirahat aja dulu."

"Adek, kenapa? Kakak tau kamu lagi sembunyiin sesuatu."

Jilan selalu hapal dengan kebiasaan Akala ketika berbohong dan gugup. Hidup bertahun-tahun tentu saja membuatnya mengenal Akala luar dalam.

"K-Kak, Adek ... Adek minta maaf."

"For what?"

Akala menunduk. Jantungnya berdetak cepat, seiring dengan ketakutan yang menyelimuti hatinya. Dan hal itu tak luput dari mata Jilan. Namun Jilan membiarkan adiknya untuk menyiapkan apa yang akan ia ucapkan.

"Kak Jazel," Akala mendongak, "Kak Jazel kecelakaan gara-gara keteledoran Adek, Kak."

Hening. Jilan masih belum bereaksi. Otaknya masih memproses apa yang baru saja dikatakan Akala. Ingatannya kembali pada Jazel yang terpenjara dalam rasa sakit di ranjang pesakitan.

"Maksud kamu?"

Akala menelan saliva susah. "A-Adek minta jemput Kak Jazel, tapi pas Adek ditawarin temen buat pulang, adek terima. A-Adek lupa kalau Kak Jazel otw jemput."

Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding mengetahui fakta tentang kebenaran yang baru saja ia dengar. Jilan terluka. Matanya memandang kecewa pada si bungsu yang kembali menunduk. Pantas saja Akala hingga kini belum mau menjenguk Jazel.

"Kakak kecewa sama kamu."

Akala sontak mendongak. Seumur hidupnya, Akala tak pernah mendengar Jilan berbicara dengan nada dingin padanya. Bahkan sang kakak tak mau menatap ke arahnya.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang