Btw kalau mau request cerita Juan, itu akan aku pikirkan. Aku abis ini mau up cerita Jay. Dan buat cerita yang member treasure, aku nggak jadi publish ☺
'Arya, saya akan membalas perbuatanmu. Kalian harus merasakan apa yang saya rasakan.'
Jazel terbangun. Mata itu berpendar pelan mengabsen setiap sudut ruang kamarnya. Pemuda itu ingat malam di mana ia lalui dengan rasa sakit yang yang memborbadir tubuhnya hingga berakhir tak sadarkan diri. Jazel pikir, ia akan berakhir malam tadi.
Rasa sakit yang membelenggunya telah sirna, namun sisa dari pertempurannya kemarin, raganya jadi seolah tak bertulang. Lemas. Bahkan untuk mendudukkan tubuhnya pun, Jazel tak mampu.
Namun, Jazel tetaplah Jazel yang keras kepala. Pemuda itu memaksakan diri untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Hari ini rencananya ia akan kembali memulai pendidikan homeschooling-nya setelah hampir satu bulan ia libur. Pemuda itu meraih nakas yang ada di sebelah ranjangnya sebagai tumpuannya berdiri sembari sebelah tangannya memegangi lehernya yang mulai agak terasa ngilu. Perlu diingat, Jazel masih dalam masa pemulihan pasca kecelakaan.
Matahari sudah semakin menyambut pagi, Jazel berusaha untuk tetap menunaikan ibadah wajibnya. Namun baru beberapa langkah, ia tersungkur hingga menimbulkan suara bising karena gelas yang ada di nakas ikut jatuh.
"Kak Jaz ... MAMA, PAPA, KAK JILAN!" Akala yang kebetulan melewati kamar Jazel mendekat ke arah kakaknya, "tolongin Kak Jaz!"
Akala ingin membantu Jazel berdiri untuk ia baringkan lagi di ranjang, namun tubuh bocah itu terlalu kecil. Suara langkah kaki yang mendekat membuat Akala sedikit bernapas lega.
Di sisi lain, hati Jazel seolah remuk. Ia adalah sulung keluarga Bumantara, namun hadirnya bagai beban. Tak ada apa pun yang bisa ia banggakan. Air matanya lolos saat melihat kepanikan Akala.
"Kakak, sakit banget ya? Mana yang sakit?"
Jilan mengusap air mata Jazel sebelum akhirnya mengangkat tubuh kakaknya. Tak sulit baginya karena berat badan Jazel seakan menyusut. Di belakangnya ada Diana dan Arya yang menatap khawatir ke arah Jazel.
"Leher aku sakit, Ma," tangan Jazel bahkan terkepal erat di sisi lehernya yang ngilu, "n-nggak kuat, Jilan."
Sang mama duduk di sisi kanan ranjang Jazel lalu meraih tangan itu dan menggenggamnya dengan lembut. Jilan pun duduk di sisi kiri, sambil mengusap keringat di wajah kakaknya. Mereka semua tak tahu seberapa sakit yang dirasakan Jazel. Jilan bahkan tak bisa membayangkan.
"Tenang, Kak. Papa udah panggil dokter.
Jazel rasanya ingin menghilang saja. Semua anggota keluarganya harus kembali repot karena mengurusnya. Padahal ini masih terlalu pagi. Jazel merasa ia semakin menjadi beban.
"Permisi, Tuan. Dokter Theo udah dateng."
Tak butuh waktu lama, Dokter Theo yang ditugaskan untuk menjadi dokter pribadi Jazel yang baru melangkah mendekati pemuda itu. Ia membuka peralatan medisnya untuk memulai pemeriksaan, mulai dari memeriksa detak jantung Jazel maupun menyuntikkan obat pereda rasa nyeri untuk leher. Saat ia nemeriksa detak jantung Jazel, Dokter Theo mengernyitkan dahinya.
"Mas Jazel, apa kamu baru aja kambuh?"
Pertanyaan Dokter Theo sontak membuat anggota keluarga Jazel kaget. Bahkan Jilan ingat benar, kakaknya kemarin pulang dengan senyumnya tanpa menunjukkan keanehan.
"Dok--"
"Mau kamu bohong pun, saya nggak akan percaya. Ingat, saya ini dokter."
Jazel mau tak mau mengangguk. Dan hal itu mengundang rasa kecewa di hati keluarganya, terlebih Jilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Novela JuvenilTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...