Bagian 18

11.4K 711 9
                                    

"Jadi dia makin kesusahan?"

Seorang pria menatap layar laptopnya dengan senyum puas terpatri di bibirnya. Kepalanya sesekali mengangguk, menandakan kepuasan yang telah ia raih.

"Bener, Bos. Saya udah koordinasi ke banyak lowongan kerja untuk nggak nerima dia."

Seorang pria 25 tahunan dengan setelan jas berdiri dengan sopan sembari menyampaikan laporan. Bian tersenyum bangga karena telah menyelesaikan tugas kali ini. Tak sulit baginya membuat seseorang kesulitan mendapat pekerjaan, terlebih ia sudah menaruh rasa tak suka pada Renata. Sebulan setelah Renata menerima uang dari Arya, pria paruh baya itu langsung memerintahkan Bian untuk memberi pelajaran sedikit saja pada wanita yang selama ini menjadi ibu tiri Jazel. Kesulitan yang dihadapi Renata belum sebanding dengan penderitaan sang putra bertahun-tahun. Arya hanya akan membalas sedikit saja karena ia masih memiliki hati.

"Bagus. Sekarang saya tugaskan kamu buat nemenin Jazel ke mana dia mau, kamu mau?"

Mengingat penyebab kecelakaan yang menimpa si sulung, Arya semakin diselimuti oleh rasa bersalah. Semua terjadi mungkin saja karena ia terlalu keras mengekang Jazel, tak mengizinkan pemuda itu untuk keluar rumah.

Bukannya melarang Jazel bebas pergi ke mana pun, hanya saja Arya tak mau mengambil resiko. Penderita penyakit jantung bisa kambuh tiba-tiba. Arya tetap tak akan mengizinkan Jazel pergi sendiri, apalagi berkendara.

"Saya bersedia, Bos. Lagian anak Bos yang satu itu temen saya juga."

Tentu saja Bian mau menjadi bodyguard Jazel. Pemuda 21 tahun itu adalah pribadi yang baik dalam segala hal. Namun mengingat Jazel, ia jadi teringat temannya itu ada di rumah sakit.

"Bos, katanya Tuan Muda Jazel udah sadar? Saya boleh jenguk hari ini?"

"Boleh. Hari ini juga kata dokter, ETT-nya mau dilepas."

Arya sedikit menyayangkan dirinya yang baru bisa pergi ke rumah sakit hari ini. Dari kemarin, pekerjaan kantornya menggunung. Mau tak mau ia harus menyelesaikan sesegera mungkin agar bisa menemani Jazel.

"Nanti bareng aja."

***

Saat Bian sampai di kamar rawat Jazel, pandangannya langsung tertuju pada Jazel yang menatap kembarannya. Sepertinya Jilan sedang mencoba menghibur Jazel dengan terus mengobrol satu arah. Pemuda yang kini terbaring di ranjang pesakitan itu terlihat jauh lebih kurus. Bahkan Bian dapat melihat raut wajah kesakitan di sana. Jazel terlihat sesekali memejamkan matanya. Bian bahkan sampai bergidik ngeri melihatnya.

"Yo, Tuan Muda Jazel! Bian yang ganteng dateng menjenguk!"

Bian melangkah santai menuju sofa di kamar rawat Jazel sambil menjinjing buah-buahan. Pemuda itu meletakkan buah tangannya di atas meja makan terlebih dahulu.

"Gimana keadaan Tuan Muda, Bos?"

Jilan berhenti sejenak dari kegiatannya mari mengobrol satu arah dengan Jazel saat Bian memulai mengajaknya berbicara. Matanya melirik Jazel yang masih belum terlelap. Ia ingin kakaknya tidur saja dibanding harus merasakan sakit.

"Udah membaik kok. Cuman emang napasnya belum bisa normal. Tapi bentar lagi juga ETT-nya dilepas."

Jilan mengusap kening kakaknya yang berkeringat dengan tisu yang ia letakkan di samping ranjang kakaknya. Mungkin karena menahan rasa sakit, pemuda itu sampai berkeringat.

"Syukurlah," Bian menghela napas lega, "oh iya, kata bos besar, gue disuruh nemenin Tuan Muda Jazel ke mana aja dia pergi."

Jilan mengerutkan keningnya heran. Pemuda itu tahu, papanya tak semudah itu mengizinkan kembarannya untuk keluar dengan bebas. Mengerti dengan isi pikiran sang bos, Bian pun kembali angkat bicara.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang