Bagian 13

11K 790 10
                                    

'Kak, maafin aku. Aku tahu kesalahanku fatal. Kakak boleh pukul aku sepuas Kakak. Tapi jangan hukum aku dengan kayak gini.'

Cuaca pagi ini terasa terik. Matahari mulai muncul dari ufuk timur. Jazel duduk di taman belakang rumahnya seraya menatap langit. Dengkusan kasar keluar dari bibirnya. Nanti sore, pemuda itu diharuskan check up ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi jantungnya. Atas perintah dokternya, Jazel diharuskan 'puasa' makan dan minum 4 jam ke depan. Hal itu karena Jazel akan melakukan CT-Scan pada jantungnya dan beberapa tes lainnya.

'Aku tau Akala nyebelin, Kak. Tapi nggak seharusnya Kakak ngelakuin ini.'

Jazel menyentuh dadanya. Rasa sesak seolah membelenggu saat suara Jilan yang menuduhnya kembali berputar-putar di otaknya. Katakanlah Jazel kekanak-kanakan. Namun ia masih terlalu kecewa dengan saudara kembarnya.

Sejak kemarin, Jilan terus memohon kata maaf padanya. Namun ia belum mampu hanya untuk sekadar bertatap muka dengan sang kembaran. Tak ada rasa benci di hati Jazel, hanya saja pemuda itu perlu memulihkan hatinya yang sempat kembali retak.

"Kak, Mama boleh duduk di samping Kakak?"

Jazel menoleh. Ada sang mama yang menatapnya dengan wajah teduh. Tanpa membuka suara, Jazel mengangguk. Membiarkan wanita itu duduk di sampingnya, menggenggam dengan lembut tangan kurusnya.

"Masih marahan sama Jilan, ya?"

Jazel bungkam. Namun telinganya mendengar jelas setiap kata yang Diana ucapkan. Wanita itu memaklumi. Biar bagaimanapun Jilan memang sudah keterlaluan. Kemarin seusai keduanya berdebat, Jilan langsung menceritakan semuanya pada Arya dan Diana. Awalnya mereka ingin memarahi si tengah. Namun melihat wajah frustrasi Jilan, keduanya mengurungkan niatnya. Raut wajah sang putra terlihat penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa kalau masih marah," Diana mengusap kening si sulung, "tapi jangan lama-lama ya."

"Aku enggak marah." Jazel menegaskan.

Jazel menatap Diana dengan tatapan terluka. Tangan lembut sang mama ia genggam. Perasaan pemuda itu memang sedang campur aduk.

"Aku cuman butuh waktu, Ma."

Diana memeluk Jazel saat dirasa emosi sang putra mulai tak stabil. Dengan lembut, tangannya mengusap punggung yang rapuh itu. Dan saat itulah, Diana merasakan bahunya basah.

"Aku nggak mau ditolak lagi, Ma. Aku takut Jilan nolak aku, sama kayak Raka yang nolak aku."

Hati Diana seolah ada yang meremas. Rasanya sakit saat melihat sang putra yang mengalami rasa takut seperti ini. Bertahun-tahun hidup berteman dengan luka, Diana memaklumi jika Jazel mengalami fase rasa takut ditolak.

Tak jauh dari Jazel, ada Jilan yang berdiri menatap kakaknya. Ia mendengar semua yang Jazel katakan. Umpatan kasar tak berhenti ia keluarkan untuk dirinya sendiri. Pemuda itu menyeka air matanya yang dengan lancangnya meluruh membasahi pipinya.

"Nyatanya yang harusnya takut itu aku, Kak. Aku takut Kakak pergi ninggalin aku."

***

"Mas Jazel, keluhan apa yang kamu rasakan selama ini?"

Jazel duduk berhadapan dengan dokter ditemani oleh sang mama. Sebelumnya, pemuda itu menolak saat Jilan ingin mengantarnya. Dan meski kecewa, sang kembaran menerima dengan lapang dada.

"Saya sering merasa nyeri dada tiba-tiba. Kadang juga nggak bisa napas," Jazel menggenggam erat tangan mamanya, "beberapa kali suka sakit tiap malem."

Diana memejamkan matanya. Ia teringat saat beberapa hari yang lalu tak sengaja melihat sang putra berbaring lemah dan kesakitan di kamar. Beruntung saat itu ia mengetahui. Jika tidak, Jazel akan menahannya seorang diri.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang