Bagian 3

22.5K 1.5K 20
                                    

Ibu, sejahat apa pun Ibu, kenapa Jazel nggak bisa benci Ibu?

Setelah semua yang terjadi, akhirnya Jazel mendapatkan apa yang ia inginkan. Tadi pagi ketika ia akan berangkat kerja, sang ibu datang menemuinya di kamar. Wanita paruh baya itu memintanya untuk ikut makan bersama sepulang kerja. Meski sempat heran, namun tak ayal tetap membuat hati kecil Jazel menghangat.

Jazel, nanti sore sepulang kamu kerja, kamu ikut saya makan malem di resto bareng Raka.

Sepanjang Jazel kerja, pemuda itu tak lelah mengukir senyum. Perasaan bahagia mendekap dirinya. Dan hal itu tak luput dari pengamatan Bian. Pemuda itu tahu penyebab temannya terus memamerkan senyumnya.

Dan pemuda yang 2 tahun lebih muda dari Jazel pun hanya mengulas senyumnya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Loh, Pak Hendery? Wajah Bapak kenapa lebam-lebam?"

Jazel yang baru saja melayani pembeli yang ingin membayar mengerutkan keningnya saat bosnya masuk ke kafe. Wajah pria paruh baya itu memang penuh lebam di wajahnya. Seperti baru saja dikeroyok.

"Enggak, kemarin jatuh, Zel. Kamu lanjut aja kerja."

Jazel melihat pergerakan Pak Hendery yang melangkah sedikit tertatih. Merasa heran dengan sikap atasannya.

"Zel?"

Pemuda itu tersentak saat Bian menyentuh bahunya. Entah sejak kapan temannya itu sudah ada di depan meja kasir. Sepertinya ia terlalu lama melamun.

"Apa pun yang terjadi nanti, ingat. Tuhan nggak pernah tidur."

Jazel mengangguk. Ia memang selalu yakin bahwa Tuhan bersamanya. Dalam setiap napasnya, terselip untaian doa pada Sang Pencipta.

"Iya, Bang. Makasih. Gue selalu yakin, Allah bakal kasih kebahagiaan buat gue."

Jazel mengembuskan napas pelan. Senyum tipis terbit di bibirnya. Pikirannya kembali dipenuhi oleh angan-angan hidup bahagia bersama ibu dan adik laki-lakinya.

'Dan mungkin ini adalah hadiah dari penantian gue. Seenggaknya sebelum gue pergi dari dunia ini.'

***

"Percuma lo belajar. Nggak ada gunanya. Lo selamanya nggak akan sukses."

Jazel melirik sang adik yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan tangan bersilang di dada. Pemuda yang kini telah duduk di bangku kelas 11 SMA itu tampak rapi dengan jaket dan celana jeans-nya. Jazel menyunggingkan senyum yang langsung dibalas Raka dengan dengkusan kasar.

"Buruan ganti baju lo. Sepuluh menit lagi kita berangkat ke resto. Jangan kelamaan."

Setelah mengatakan hal itu, remaja itu melenggang pergi dari kamar Jazel. Meninggalkan si empunya kamar yang hanya bisa memaklumi sikap ketus sang adik. Jazel menutup kembali buku yang sejak tadi ia baca. Sebuah buku Matematika milik adiknya yang ia ambil saat dulu sempat dibuang. Pemuda itu sudah putus sekolah sejak lama, bahkan ia tak tamat SMP karena dulu ibunya memaksanya berhenti sekolah.

Jika mengingat masa lalunya semasa sekolah, dada Jazel sesak. Namun sesegera mungkin ia berusaha mengenyahkan pikiran buruknya tentang masa lalu.

"Jazel, ingat. Ibu lo udah berubah. Dia ngajak lo makan bareng."

Jazel mencari pakaian yang cocok di kardus tempat ia menyimpan semua bajunya. Cowok itu tak begitu mempersiapkan apa pun, apalagi menyiapkan baju. Seumur hidupnya, Jazel tak pernah membeli baju yang bagus. Ia hanya akan membelinya saat tak ada lagi yang layak pakai.

"Bismillah. Abis ini gue bakal bahagia."

***

Tubuh kurus Jazel bergetar. Pemuda itu menatap kosong ke depan. Sebuah fakta yang terdengar sangat nenyakitkan telah ia terima. Hatinya mencelos saat kata demi kata keluar dari bibir sang ibu.

'Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menjualnya pada Bapak, 2 Miliar. Bapak setuju?'

Di hadapannya ada seorang pria paruh baya dan seorang pemuda yang diperkirakan seumuran dengannya. Tak pernah ada dalam benaknya, sang ibu yang selalu ia perjuangkan kebahagiaannya tega menjualnya.

"Saya setuju. Cuman 2 miliar, itu gampang."

Semua terjadi begitu saja. Jazel menatap tak percaya pria paruh baya yang baru saja membelinya. Sembari mengusap dadanya yang mulai sesak, Jazel mencoba meminta jawaban atas apa yang dilakukan sang ibu.

"Ibu, k-kenapa tega sama Jazel?"

Dada Jazel sesak, seolah ada tangan tak kasatmata yang menekannya dengan kuat. Bersama dengan luka baru yang tergores di hati Jazel, pemuda itu meluruhkan air matanya.

"Argh, sakit Ibu." Jazel mengerang pelan saat sang ibu mencubit lengannya.

"Nggak usah lebay. Kamu tuh nggal berguna. Jadi mending saya jual," Renata menatap tajam Jazel, "itung-itung ini balas budi kamu ke saya."

Dan semua perlakuan Renata tak lepas dari pantauan kedua orang lainnya. Menimbulkan berbagai perasaan di hati keduanya.

"Nah gini. Jadi gue nggak perlu lihat lo lagi di rumah. Rumah gue bebas dari benalu kayak lo."

Raka menatap remeh Jazel. Perkataannya seolah melupakan semua pengorbanan Jazel. Padahal selama ini, Jazel lah yang banting tulang membiayai hidup mereka.

"Jazel, mari ikut kami."

Pandangan Jazel mengabur. Rasa sakit yang sejak tadi telah menguasai tubuhnya, kini kian terasa. Dadanya semakin sesak dan panas. Bibirnya terbuka berharap ia mampu mengais oksigen.

"Kak, jangan dipukul dadanya!"

Pemuda yang sejak tadi diam kini berada tepat di depannya, berusaha menahan tangan Jazel yang memukul kasar dadanya. Jazel tak mampu membalas ucapan pemuda itu karena rasa sakit yang mengukung tubuhnya.

"Papa, ayo ke rumah sakit aja."

Jazel merasakan tubuhnya terangkat. Ia ingin membuka suara, namun tenggorokannya seolah tercekat. Dan sebelum kegelapan datang membelenggu, sebuah suara samar-samar tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Maaf, Nak. Papa telat selametin kamu."

🅃🄱🄲

Sekarang udah ketebak kan alurnya? Aku tuh nggak mau banyak teka-teki kalau bikin cerita. Maaf kalau jelek ya

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang