Bagian 26

7.9K 568 38
                                    

Perkiraan ending di chapter 30-an tapi nggak akan sampai chapter 40

Suasana hening menemani seorang wanita yang kini duduk di antara dua makam, salah satu di antaranya masih basah. Rasa sesak itu datang mendekap hatinya. Matanya bergantian melihat nama dua orang yang ia sayang di dana.

"Arya, saya akan membalas perbuatanmu. Kalian harus merasakan apa yang saya rasakan."

Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding apa pun selain terpisahkan oleh maut dari orang yang kita kasihi. Begitupun dengan wanita yang kini diam dengan pandangan kosongnya. Amarahnya meluap begitu dendam itu kian membara.

"Saya akan bikin kamu dan keluargamu merasakan sakitnya kehilangan orang yang kamu cintai."

Wanita itu menegakkan tubuhnya setelah sebelumnya mencium lembut rumah abadi kedua orang yang ia kasihi. Lantas ia mulai melangkah meninggalkan area makam. Tatapannya penuh luka dengan hati yang menggenggam dendam.

***

Keadaan Jazel semakin membaik, bukan berarti ia sembuh total. Hanya saja luka akibat kecelakaan tempo lalu sudah mulai sembuh, jantungnya pun sudah berhenti berulah untuk saat ini. Bahkan pemuda itu sudah mulai homeschooling. Tadi saat belajar, Jazel minta sang guru mengajarinya di taman belakang.

"Kak ...,"

Jazel menghentikan aktivitasnya merapikan beberapa bukunya. Kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati tubuh jangkung kembarannya berdiri dengan tatapan sendunya. Keduanya memang masih belum berbicara sejak Jilan meluapkan amarahnya kemarin. Namun bukan berarti Jazel merasa kesal.

"Kenapa, Lan?"

Ucapan Jazel terdengar biasa. Bahkan seolah tak ada nada emosi di dalamnya. Namun melihat sikap kakaknya membuat hati Jazel tertampar. Dengan ragu, pemuda itu duduk di samping kakaknya.

"Kak, aku mau minta maaf," Jilan mengembuskan napas pelan, "maaf kemarin udah bentak Kakak."

Jazel terperangah. Bahkan dalam hatinya tak pernah terbesit amarah saat Jazel membentaknya. Justru hanya ada rasa bersalah yang bersarang di sana. Jazel meraih tubuh adik kembarnya dalam dekapan hangat.

"Justru Kakak yang minta maaf udah egois."

"Kak, Kakak nggak egois. Jangan berpikir gitu," sangkal Jilan.

Pemuda yang lahir beberapa menit setelah Jazel itu kembali teringat dengan cerita singkat Juan bersama keluarganya yang tak acuh. Tak mampu Jilan bayangkan kembarannya berpikir sempit ketika tertekan.

"Yang terpenting, jangan pendam kalau Kakak sakit, janji?"

Jilan mengurai pelukan kembarannya. Perasaan lega menyelimuti hati pemuda itu saat melihat wajah Jazel yang sudah tak terlalu pucat. Kata Dokter Theo, meski obat sang kakak bertambah, namun asal Jazel kooperatif menjaga pola hidupnya, semua akan lebih baik.

Jazel mengangguk. "Janji."

Pemuda itu tak tahu, sampai kapan ia bertahan. Namun ketika melihat perjuangan keluarganya dalam mengupayakan kesembuhannya, semangat Jazel untuk sembuh selalu melambung. Apalagi dengan kompetisi anehnya dengan Juan 

Akankah kemenangan itu bisa ia raih?

***

Rintik hujan masih terdengar dari dalam kamar. Aroma petrichor seharusnya mampu dinikmati oleh semua orang yang menunggu datangnya air langit. Namun semua berkebalikan dengan sosok pemuda yang kini sibuk bergelut dengan rasa sakit yang sejak beberapa menit ini menghantamnya.

Deru napas tak beraturan mendominasi kamar bernuansa gelap. Juan ada di sana dengan peluh membanjiri tubuh kurusnya. Pemuda itu berusaha menggapai obatnya yang ada di atas meja. Namun tubuhnya terlalu lemas. Tak ada siapapun yang bisa ia mintai tolong karena seluruh anggota keluarganya tak ada di rumah.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang