"Aku tau Akala nyebelin, Kak. Tapi nggak seharusnya Kakak ngelakuin ini."
Bunyi kuas beradu dengan kanvas menemani pemuda yang saat ini mengenakan hoodie berwarna biru. Tangan Jazel dengan lihai menari di atas kanvas. Saat ini ia tengah melukis di balkon kamarnya. Rasa bosan menghampiri Jazel karena ia tidak diizinkan untuk keluar rumah walau hanya sekadar mencari udara segar. Jika dulu ia dipaksa keluar karena demi mencari pundi-pundi uang, kini ia tak bisa sembarangan keluar rumah.
'Nggak dulu, Kak. Inget, Kakak masih sakit.'
'Jangan dulu, Nak. Kamu harus perlu banyak istirahat di rumah.'
'Ini semua demi kebaikan kamu. Nurut ya. Kalau kamu udah sembuh, kamu bebas pergi ke mana aja.'
Jazel menghela napas kasar. Kuas yang ada dalam genggamannya ia letakkan di sisi kanvas. Matanya menelisik ke bawah di mana ada beberapa tukang kebun yang sedang membersihkan halaman.
"Sembuh katanya," gumamnya.
Jazel tersenyum kecut. Tangannya perlahan meraba dada sebelah kirinya, di mana organ sekepal tangan itu sering berontak. Seumur hidup ia berteman dengan rasa sakit ini. Namun rasanya tetap tak akan terbiasa.
Jika Akala merasa iri karena perhatian papa, mama, dan saudara kembarnya yang ia dapatkan, maka ia iri pada semua orang yang bisa hidup normal tanpa dibayang-bayangi oleh kematian.
"Lukisan Kakak bagus."
Jazel sedikit kaget saat Jilan tiba-tiba berdiri di sampingnya. Adik kembarnya itu menatap kagum pada lukisan Jazel. Sebuah lukisan abstrak yang terlihat seperti coretan random, namun memiliki nilai aesthetic dan makna yang mendalam.
"Makasih, Lan. Btw, ini udah jam 9 pagi, kamu nggak kuliah?"
Jazel biasanya selalu mendapati adik kembarnya sudah bersiap pergi ke kampus. Namun yang kini ia lihat hanyalah Jilan yang masih memakai setelan piyama. Sang kembaran duduk di samping Jazel. Embusan napas kasar keluar dari bibirnya.
"Kelasku diundur jadi sore, Kak," Jilan memutar bola matanya malas, "malesin banget."
Jazel terkekeh pelan. "Nggak apa-apa. Lagian kamu bisa santai seharian, kan?"
"Mahasiswa kayak aku gini nggak bisa santai, Kak. Abis ini aku juga mau ngerjain tugas, sih."
Selama ini Jazel tak pernah tahu seberat apa kehidupan di bangku perkuliahan. Namun dengan melihat Jazel saat ini, ia paham bahwa menjadi mahasiswa tak seindah di drama atau FTV yang sering ditonton Renata.
Kehidupan nyata selalu berbanding terbalik dengan kehidupan di cerita fiksi.
"Kak, lukisan Kakak ada banyak," Jilan melihat beberapa lukisan Jazel yang sudah jadi, "gimana kalau kita bikin galeri lukisan Kakak?"
Jilan merasa, bakat kakak kembarnya yang satu ini harus dikembangkan. Dunia harus tahu bahwa kakaknya sangat berbakat.
Berbeda dengan Jilan yang antusias, Jazel merasa minder. Pemuda itu merasa lukisannya jauh dari kata baik karena ia pun belajar melukis secara otodidak.
"Kakak rasa lukisan-lukisan ini nggak layak dipamerin, Lan."
Jilan mendengkus kesal. "Kak, coba ilangin mindernya. Ini lukisan Kakak bagus semua."
Pemuda itu melangkah menuju salah satu lukisan yang paling menarik hatinya. Sebuah potret satu keluarga yang tampak bahagia. Senyum teduh terukir di bibir pemuda beralis tebal itu. Ada potret dirinya bersama papa, mama, Jazel, dan Akala.
"Kakak mau, kan?" tanya Jilan, "biar nanti disiapin sama papa."
"Kakak ma--"
'Papa, Adek cuman minta dibeliin motor. Temen-temen Adek udah pada bawa motor ke sekolah.'
Jazel menggelengkan kepalanya sembari memejamkan matanya erat. Sepenggal kalimat yang terlontar di bibir Akala kemarin muncul di otaknya dan membuat Jazel kembali ragu.
"Kakak kenapa?" Pertanyaan Jilan dibalas gelengan pelan Jazel.
"Kakak belum siap. Nanti aja kalau Kakak udah siap."
Rasa kecewa sempat singgah di hati Jilan. Namun pemuda itu tetap menghargai keputusan Jazel. Biar bagaimanapun, ia tak mungkin memaksakan kehendaknya meski itu demi kebaikan sang kakak.
***
Akala itu hanyalah bocah 13 tahun yang belum memiliki sifat dewasa. Emosinya masih menggebu-gebu. Anak itu akan mengedepankan rasa egonya. Seperti saat keluarga Bumantara berkumpul di ruang keluarga. Sang kepala keluarga duduk di atas sofa bersama Jilan yang tengah menantangnya bermain game. Diana duduk di karpet tebal, sedangkan Jazel merebahkan tubuhnya dengan paha mamanya yang ia jadikan bantal. Sambil terkekeh melihat suami dan anak tengahnya yang berdebat tentang game yang keduanya mainkan, tangannya pun mengusap kepala Jazel dengan lembut.
"Papa jangan curang!"
Jilan menggerutu. Matanya tetap fokus pada layar ponsel. Pemuda itu sejak tadi mengumpat karena Arya yang terus menjahilinya agar dirinya kalah. Semua tampak tenggelam dalam kebersamaan, namun tidak dengan Akala. Bocah itu menatap Jazel dengan tatapan jengkelnya. Saking emosinya, Akala tanpa sadar membanting ponsel dalam genggamannya hingga mengambil alih atensi yang lain.
"Adek kenapa?"
Diana mengulurkan tangannya ke arah si bungsu. Namun yang terjadi, bocah itu menepis kasar. Akala menegakkan tubuhnya seraya meraih ponselnya kembali.
"Nggak apa-apa. Urus aja anak penyakitan itu!"
Semua terdiam, terkecuali Jazel yang sudah beberapa kali mendengar kalimat itu keluar dari bibir Akala. Sang kembaran melangkah mendekati Jazel.
"Kakak, jangan diambil hati. Adek emang masih labil. Masih kecil. Biar nanti aku nasehatin dia."
"Iya, Kak. Adek kan emang belum dewasa. Dia nggak jahat kok." Diana menimpali.
Kedua tangan Jazel mengepal. Suasana hatinya mendadak buruk. Pandangannya memburam karena air matanya lolos membasahi pipi.
"Nggak apa-apa. Maaf semua. Aku mau tidur dulu."
Jazel bangkit dari posisi berbaringnya. Berniat ingin menenangkan diri di kamarnya sebelum sang kepala keluarga menghentikan pergerakannya.
"Nak, jangan tersinggung. Biar nanti Papa kasih hukuman buat dia."
Jazel menggeleng tegas. "Nggak perlu sampai dihukum, Pa."
Selain Jazel tak tega, ia juga yakin Akala akan semakin tak menyukainya kalau sang papa memberi hukuman. Pemuda itu pun melenggang pergi meninggalkan kedua orang tua dan kembarannya.
🅃🄱🄲
Hehe 😸
Btw Akala jahatnya nggak akan lama kok. Namanya juga bocil, masih labil 😆
Buat visual para orang tua, aku susah nyarinya. Jadi aku serangkan pada pembaca, visualnya siapa aja boleh


KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Teen FictionTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...