Bagian 19

11.1K 718 30
                                    

Aku update 😏

Keadaan Jazel semakin membaik. Kini yang menempel di tubuhnya hanya  infus dan cervical collar saja. Semua kabel-kabel mengerikan itu akhirnya terlepas. Pemuda itu pun juga sudah mampu bernapas tanpa bantuan masker oksigen. Kata Dokter Angga, dua atau tiga hari lagi ia diperbolehkan pulang. Kini Jazel sedang sendirian. Sebenarnya tadi ada Jilan yang menemani. Namun dengan tegas Jazel mengusirnya dan menyuruh pemuda itu mengisi perutnya di kantin rumah sakit. Jazel mana tega melihat perawakan Jilan yang seperti habis diterpa badai topan, berantakan.

"Bosen ...,"

Jazel tak tahu harus melakukan apa. Kebosanan menemani kesendirian pemuda itu. Ponselnya pun teronggok di atas nakas tanpa ada niat ia mainkan. Ingin berjalan-jalan di luar pun, dokter melarang.

"Eh, maaf, salah masuk."

Saat Jazel asyik melamun, ada seseorang yang membuka pintu kamar rawatnya. Seorang pemuda berwajah bule yang sepertinya seumuran dengannya tersenyum malu saat salah memasuki kamar.

"Nggak apa-apa. Emang kamu mau ke ruang mana?"

Jazel ingin turun dari ranjang, namun dengan gesit pemuda yang salah masuk kamar itu melesat mendekat untuk mencegah. Dari wajah saja sudah dapat ditebak kalau tubuh Jazel masih dikungkung oleh rasa lemas.

"Nggak perlu turun. Saya mau langsung keluar aja. Kamar Mama saya beberapa kamar dari sini."

Pemuda bule itu membantu Jazel kembali menaiki ranjang. Beruntung selang infusnya tak tertarik, karena bisa saja melukai tangannya.

"Saya keluar dulu ya. Dan maaf udah ngeganggu."

Jazel diam. Matanya mengamati pergerakan pemuda itu yang kini mulai keluar. Meninggalkan Jazel yang kembali sendirian. Rasanya ia ingin cepat keluar dari rumah sakit. Namun rasanya ia masih harus bertahan di sini karena seluruh persendiannya pun masih terasa ngilu.

***

Bukan mau Jilan jika ia emosi dalam dirinya menggebu saat melihat Akala. Pemuda itu masih belum berdamai dengan Akala hingga detik ini. Setelah terusir manis oleh Jazel tadi, Jilan memang makan di kantin. Namun ia pun juga memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Mengambil beberapa potong pakaian untuknya dan hoodie untuk kembarannya. Namun ia lupa, di rumah ada Akala yang belum ia maafkan.

'Aku tau Akala nyebelin, Kak. Tapi nggak seharusnya Kakak ngelakuin ini.'

Meski keduanya sudah kembali berbaikan, namun hati Jilan masih dibelenggu oleh rasa sesal. Padahal anak kembar harusnya memiliki ikatan batin yang kuat. Nyatanya ia memang belum bisa menjadi kembaran yang sempurna untuk Jazel.

Setelah memasukkan beberapa potong baju dan hoodie ke dalam tas berukuran sedang, Jilan pun keluar kamar. Tak betah berlama-lama di rumah, sementara Jazel masih harus mendekam di rumah sakit.

"Kak Jilan."

Akala berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah kotak kado berukuran sedang. Wajah bocah itu tampak sayu dengan lingkaran hitam di kedua bola matanya. Kentara sekali Akala terlalu banyak menangis dan kurang tidur.

"K-Kalau Kakak belum mau maafin Adek, seenggaknya tolong kasih ini ke Kak Jazel."

Akala berusaha menahan air matanya seiring dengan rasa sesak yang memaksa masuk ke dalam dadanya. Sejak Jazel kecelakaan beberapa hari yang lalu, bocah itu bahkan menjadi pribadi yang lebih pendiam. Padahal Akala adalah tipe anak yang aktif dan tak mau diam.

"Ini buat permintaan maaf. S-Sebenernya Adek pengin jenguk, tapi, tapi ...,"

Akala kalah. Air matanya lolos begitu saja. Bocah itu merindukan dan ingin menjenguk si sulung, namun hatinya dikuasai oleh rasa pesimis. Bocah itu menunduk, enggan menunjukkan wajahnya yang berantakan. Jilan yang melihat adiknya yang terperosok dalam penyesalan pun tak tega. Namun saat mengingat perlakuan Akala pada kembarannya, egonya kembali menguasai. Dengan gerakan kasar, pemuda itu meraih kotak kado untuk Jazel dari Akala. Langkah Jilan dipercepat karena tak tahan lagi melihat adiknya yang menangis di hadapannya.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang