Jazel kira sikap ketus Akala tak bertahan lama, namun nyatanya hingga kini bocah itu masih berlaku galak padanya. Bahkan beberapa kali bersikap kasar. Pemuda itu tak pernah melawan. Pikirnya, Akala hanyalah bocah puber yang masih belum mampu mengontrol emosi.
Jilan sendiri pada awalnya ingin memarahi si bungsu. Namun Jazel mencegahnya. Seorang anak jika dididik dengan amarah tak akan baik bagi psikisnya.
"Semoga Adek suka."
Jazel menutup kotak bekal makanan bergambar spiderman -- karakter fiksi favorit Akala. Atas saran dari sang kembaran, Jazel menyetujui untuk mengambil hati Akala. Seporsi nasi goreng udang sederhana berhasil ia masak. Kata Jilan, si bungsu memang pecinta udang. Jadi nasi goreng ini memang paling tepat dipadukan dengan udang.
Pemuda itu pun melangkah menghampiri si bungsu yang kini sedang fokus mengikat tali sepatunya. Meski dengan hati yang berdebar, Jazel harus mengesampingkan rasa takut akan penolakan.
"Ad-- Kala, ini Kakak bikinin bekal buat kamu."
Akala pun menghentikan aktivitas mari mengikat tali sepatu untuk menatap kakak sulungnya. Rasa jengkel tiba-tiba saja bergejolak. Namun belum sempat ia menolak, suara Jilan menginterupsi.
"Kak Jasel sebaik ini, dan lo masih mau tutup mata, Dek? Terima, atau gue aduin papa."
Akala mendengkus kesal. Bocah itu terpaksa menerima bekal dari Jazel meski dengan wajah suram. Ia meraih bekal itu dengan kasar. Namun tak jadi masalah bagi Jazel. Semua butuh perjuangan, termasuk mendapatkan hati adiknya.
"Nah gitu dong. Sama kakak sendiri harus rukun."
Jilan tersenyum puas. Ia mengacam pelan helaian rambut Akala hingga si empunya menggerutu jengkel. Namun tak ayal perlakuan Jilan padanya membuat Akala senang. Memang terhitung sejak kehadiran Jazel, keduanya jarang melempar candaan satu sama lain.
"Udah, Kak. Ayo anter ke sekolah. Takut telat."
Waktu memang sudah menunjukkan pukul 06.30, dan kelas Akala dimulai pukul 07.00. Bocah itu takut terlambat masuk ke sekolah. Jilan mengangguk, ia melangkah terlebih dahulu setelah sebelumnya berpamitan pada si sulung.
***
Suara brankar yang didorong menggema di lorong rumah sakit. Di atasnya ada Akala yang terus mengeluh sesak napas. Hingga saat tiba di depan IGD, suasana menjadi lebih hening.
"Lan, gimana bisa Adek kayak gini?"
Jilan menggeleng frustrasi. Pemuda itu duduk di kursi dengan perasaan campur aduk. Baru tadi pagi ia melihat adiknya yang hiperaktif. Namun kini harus tergolek lemah di rumah sakit. Di sampingnya ada Arya yang tak kalah khawatir. Beberapa waktu lalu, Jilan meneleponnya untuk memberitahu tentang Akala yang mengeluhkan rasa sesak.
Waktu seolah berjalan dengan lambat. Para tenaga medis di dalam sana masih menangani Akala. Hingga di menit selanjutnya, pintu IGD terbuka. Seorang dokter dan dua orang perawat keluar dengan raut wajah tak terbaca.
"Dok, gimana keadaan anak saya?"
Sang Dokter tersenyum ramah. "Anak Bapak baik-baik aja. Beruntung cepet ditangani. Dan saya menyarankan untuk lebih menjaga makanan yang dikonsumsi anak Bapak. Saudara Akala mengalami alergi."
Jilan bungkam. Si bungsu memang mempunyai alergi telur. Pikirannya tertuju pada nasi goreng yang dibuat Jazel. Dengan hati yang diselimuti oleh emosi, pemuda itu melenggang pergi meninggalkan sang papa.
***
"Bu Maya, bisa tolong Ibu ke ruang tamu sebentar, saya mau bicara sama kakak saya."
Jilan tak bermaksud mengusir guru Bahasa Inggris Jazel. Pemuda itu hanya ingin berbicara empat mata dengan sang kembaran. Setelah sang guru pergi, Jilan duduk di depan Jazel.
"Kenapa, Lan?"
"Kenapa? Ini yang harusnya aku tanya. Kenapa Kakak tega sama Akala?"
Jazel mengernyit. Pemuda itu belum tahu arah pembicaraan sang kembaran. Namun tak ayal, perasaan Jazel mendadak tak enak.
"Maksud kamu?"
"Aku tau Akala nyebelin, Kak. Tapi nggak seharusnya Kakak ngelakuin ini."
Jazel mengepalkan kedua tangannya di balik meja. Enggan untuk menunjukkan emosinya. Biar bagaimanapun, belum ada kejelasan untuk apa ia disalahkan.
"Kakak, Akala itu alergi telur. Kenapa Kakak kasih telur di nasi goreng yang Kakak kasih?"
Hati Jazel mencelos. Nyatanya semua orang berlomba untuk menciptakan luka di hatinya. Bahkan saudara kembarnya yang ia yakini akan menjadi tameng baginya ikut menggores luka di sana. Pemuda itu menatap adik kembarnya dengan tatapan terluka.
"Apa di mata lo ... gue ini orang jahat?"
Jilan termangu. Entah kenapa hatinya sakit melihat tatapan penuh luka di mata kakaknya. Apalagi dengan gaya bicara lo-gue yang baru pertama kali ia terima dari Jazel.
"Lo, Papa, dan Mama bahkan nggak pernah ngasih tau kalau Akala alergi telur."
Dan ketika ucapan itu lolos dari bibir Jazel, semua terasa menyakitkan bagi Jilan. Ia merutuki tindakan bodohnya saat ini.
"K-Kak ma--"
"Satu tahun stalk gue nyatanya gue tetap asing di mata lo, Lan. Kata orang, ikatan batin anak kembar itu kuat, tapi sekarang gue nggak percaya."
Jazel berdiri. Ia ingin menenangkan diri di kamar, tak peduli dengan jam belajarnya yang masih berlangsung. Namun baru beberapa langkah, suara Jilan menginterupsi.
"Kakak, maafin aku. Kak--"
"Nggak apa-apa. Gue mau istirahat."
Jilan mengumpat dalam hati. Ia memandang sendu punggung kembarannya yang melangkah menaiki tangga.
'Bodoh!! Bodoh! Lo bodoh banget Jilan!'
Pemuda itu meluruhkan tubuhnya di lantai. Bahkan sesekali memukul-mukul kasar bibir dan kepalanya. Berulangkali batinnya merutuk karena terlalu gegabah mengambil tindakan.
🆃🅱🅲
Nggak ada foto Jazel Jilan barengan dulu, soalnya lagi mode marahan. 😎🕶🤏🏻😳



KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Novela JuvenilTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...