narrative of the beginning of the conflict
}{
Jisoo itu manusia juga.
Ia makan nasi, Jisoo bernafas menggunakan hidung dan paru-paru, Jisoo minum jika ia haus, Jisoo bisa jatuh cinta, Jisoo bisa kecewa, Jisoo bisa lelah juga.
Jika kalian pikir Jisoo suka rela dengan sepenuh hati menunggu Rosè selama seribu tahun untuk menerima cintanya, kalian sedikit keliru.
Diam-diam Jisoo mendamba dengan harap yang besar, secepatnya Rosè bisa jatuh kepelukannya.
Diam-diam Jisoo merasa lelah juga saat yang di dapatnya hanyalah penolakkan dan mixed signal dari gadis yang dipuja.
Jika kalian pikir Jisoo baik-baik saja dengan cintanya yang ditolak menggunakan embel-embel 'Rosè perlu waktu' maka kalian keliru.
Dadanya serasa di hantam batu besar. Setiap malam Jisoo akan sulit tertidur sambil memikirkan apakah apa selama ini ia tidak pernah cukup bagi Rosè?
Apakah usahanya sia-sia? Apa ia harus menyerah? Atau harus terus bertahan dengan rasa sesak di dada? Apa alasan dibalik semua penolakkan Rosè? Jika Rosè memang tak bisa membalas perasaannya mengapa gadis itu seolah mempertahankannya? Jika Rosè memang tak bisa balik mencintainya, mengapa ia memperlakukan Jisoo layaknya kekasih lalu kemudian menyatakan dengan jelas batasan hubungan mereka.
"Jis, Sorry dospem gue ngaret jadinya gue ngaret juga deh buat ketemu lo." Gadis berambut hitam legam dengan buku di pangkuannya kini duduk di kursi dihadapan Jisoo.
"Gapapa kok, saya baru dateng juga." Ucap Jisoo.
Si lawan bicara mengangkat satu alisnya; ragu.
"Baru dateng 1 jam yang lalu maksudnya?"
Guyonan itu berhasil membuat Jisoo tertawa geli. Yah, apa yang dikatakan gadis di hadapannya itu sangat tepat sekali.
"Kamu pesan dulu aja gih, sudah makan belum?"
Irene menggeleng, karena memang ia belum makan siang. Akhirnya Irene memesan beberapa makanan dan lanjut berbicara dengan Jisoo.
"Lo yakin ngajak gue ketemu buat ngomongin Seulgi aja?"
"Bukan ngomongin, saya mau lurusin semuanya, Irene. Kasihan teman saya sudah 1 bulan ini murung kayak mayat hidup."
Perkataan Jisoo malah mengundanh kekehan remeh dari Irene, jelas itu tidak masuk akal sama sekali baginya.
"Yang harusnya lurusin semuanya Seulgi sendiri, Jis. Lo ga tau apa-apa." Walaupun kesal atas ucapan Jisoo barusan, Irene mencoba bersikap ramah sebaik mungkin.
"Iya, makanya saya hanya akan menyampaikan sebatas apa yang saya tau, nanti kamu bisa memikirkan dan menilai baik-baik." Jisoo mencoba menjelaskan.
Ia tau, Irene adalah tipe wanita yang malas untuk basa-basi. Maka sebaik mungkin Jisoo membuat wanita itu untuk tetap mendengarkannya dulu.
"Dan maaf sebelumnya, kamu bilang Seulgi sendiri yang harus lurusin semuanya, tapi setiap teman saya ajak kamu untuk berbicara kamu selalu menolak kan?"
Irene menghela nafas berat, apa yang diucapkan Jisoo barusan memang benar. Tapi sejujurnya ia terlanjur kecewa dan sakit hati dengan sikap Seulgi akhir-akhir ini.
"Gini, Irene. Waktu itu saya, Seulgi, Lisa, Baekhyun, wendy dan juga Jungkook lagi ngumpul di kost'an saya dan Seulgi. Ngobrol biasalah dan kebetulan disitu Lisa lagi galau, dia yang ngajakin ke club. Awalnya Seulgi nolak tapi teman-teman yang lain maksa sampai Seulgi gak bisa buat nolak lagi." Jelas Jisoo panjang lebar dengan penuturan yang lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 𝐊𝐄𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐑𝐎𝐒𝐄 ] •chaesoo•
Fanfiction𝑫𝒊𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊-𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒌𝒖 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒂𝒌𝒅𝒊𝒓.