Empatenam

9.6K 143 2
                                    

Mama, Papa, Bunda dan Ayah mendapat kabar buruk dari Devan tadi. Bahwa Naura dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan.

Setelah mendapat kabar tersebut, Mereka langsung menuju rumah sakit, Bunda dan Ayah Naura yang berada di Italia langsung terbang ke Indonesia untuk melihat langsung kondisi putri semata wayang mereka.

Tentu keempat paruh baya itu sangat terkejut mendengar kabar buruk dari Naura. Terlebih Mama dan Papa, padahal tadi pagi Naura sehat wal'afiat bahkan mereka sempat mengobrol dan bercanda ringan. Tetapi sekarang? takdir tidak ada yang tau, dan kalender apes juga tidak tertulis, manusia hanya bisa mewanti dan berjaga-jaga karena semua takdir dan kejadian ini hanya Tuhan yang tahu.

Devan, pria itu sejak tadi tidak berhenti mondar mandir di ruang ICU menunggu kabar dari dokter pada istrinya yang sejak dua jam lalu tidak ada tanda-tanda operasi selesai.

Kedua orang tua Devan juga sangat khawatir pada menantunya, tetapi mereka tidak mungkin menunjukkan kesedihan nya pada Devan, yang Devan butuh kan saat ini hanya lah sebuah ketenangan dari mereka, jika mereka ikut khawatir maka Devan juga lebih khawatir.

Papa menepuk pundak Devan."Papa tau kamu khawatir sama Naura Devan, yang kamu butuhkan saat ini tenangkan perasaan kamu. Kalau kamu memiliki rasa khawatir dan takut, bagaimana dengan istri kamu disana? kamu gak mau kan istri kamu kenapa-kenapa?"

Devan menggeleng cepat."Maka dari itu tenangkan hati dan diri kamu, pergi ke mushola berdo'a sama Tuhan agar istri kamu dan anak kamu di dalam gak kenapa-kenapa."

Devan mengangguk, tanpa kata ia berjalan lunglai menuju mushola rumah sakit. Ia akan meminta kesembuhan untuk istri dan anaknya. Meskipun ia ragu do'a nya di dengar oleh Tuhan atau tidak, mengingat akhir-akhir ini ia jauh dengan Tuhan.

****

Setelah selesai berdo'a, meminta kepada Allah. Devan langsung kembali ke ruang ICU dimana istrinya berada.

Langkahnya terlihat lunglai, tak ada gairah di dalam tubuh Devan. Bagaimana tidak, istri dan anaknya di dalam ruang ICU tengah berjuang hidup dan matinya disana.

Hal negatif langsung muncul di benaknya, ia takut jika istri dan anaknya akan pergi meninggalkan dirinya seorang diri.

Saat menuju ruang ICU ia mendengar Isak tangis dan teriakan pilu dari ruang ICU yang dimana istrinya di operasi.

Deg.

Jantungnya berdetak dua kali, pikiran negatif langsung muncul di kepalanya. Ia langsung menghampiri keluarganya.

"Ma, Pa, Bun, Yah. Kalian kenapa nangis? Naura? Naura gimana keadaan nya?" tanya Devan bertubi pada keempat paruh baya itu.

Mendengar suara putra nya, Mama menoleh dan memeluk tubuhnya begitu erat. Tubuhnya bergetar hebat, tangisan pun tak berhenti membuat Devan semakin khawatir.

"Ma, mama kenapa nangis? Naura baik-baik aja kan? operasinya berhasil kan Ma? Ma jawab aku Ma." Devan menggunjangkan bahu Mamanya.

"N-naura." Mama tak sanggup bicara, ia hanya menggeleng tanpa melanjutkan ucapannya.

Hal itu membuat Devan menggeram sebal, ia beralih menatap Papanya."Pa, sebenarnya ini kenapa? kenapa mereka semua nangis? Papa juga! Gak biasanya papa nangis!"

"Kamu yang sabar ya, ikhlaskan anak dan istri kamu." Papa menepuk pundak Devan saat mengucapkan hal itu, dalam hatinya ia sungguh tak sanggup mengatakannya pada sang putra.

"M-maksud papa apa ngomong kaya gitu?"

Papa berusaha tersenyum, meskipun sulit."Anak dan Istri kamu, gagal berjuang di dalam. Dokter mengatakan bahwa mereka... m-mereka meninggal dengan anak kamu yang masih berada di dalam kandungan."

Devan menggeleng, air matanya luruh dan tubuhnnya seketika lemas ia tak dapat menopang tubuhnya lagi membuat ia terjatuh dan untung Papa dengan sigap menahannya dan membawa tubuh rapih Devan kedalam dekapannya.

Devan terus menggeleng di dalam dekapan Papa, seolah tak percaya dengan ucapan Papanya."Gak mungkin pa, gak mungkin Naura sama anak aku meninggal. Gak mungkin, mereka kuat mereka mana tega ninggalin aku sendirian disini Pa."

Papa hanya bisa mengangguk seraya mengusap punggung putranya yang tampak rapuh tidak seperti biasanya.

Pintu ICU terbuka, beberapa suster tengah mendorong brankar yang berisi istri dan anaknya yang di tutupi kain putih seluruh tubuhnya. Saat itu juga tangisan keluarga tak terbendung lagi, terutama Devan dan kedua orang tua Naura.

"Naura, bangun sayang ini Bunda, hiks." Bunda berjongkok, menyamakan tubuh putrinya yang terbaring kaku di atas brankar dengan wajah pucatnya.

Di samping wanita itu, ada seorang bayi tampan juga sama dengan keadaan Naura yang tertidur kaku.

"Sayang, kenapa kamu ninggalin Ayah sama Bunda? kamu tega ninggalin kita?" Suara Ayah terdengar.

Sementara Devan hanya mampu terdiam, melihat sosok jenazah yang menjadi dunianya itu. Ia masih tak percaya bahwa, sosok yang tertidur di brankar tersebut adalah istri dan juga anaknya.

Kesadarannya muncul saat Papa menepuk pundaknya, mengode agar dirinya menghampiri istri dan juga putranya.

Dengan tubuh gemetar dan lemas, ia berjalan saat sampai di samping brankar, Devan tak dapat menopang tubuhnya.

Air matanya langsung meluruh, tangisannya terdengar memilukan. Devan Landung memeluk jenazah istri serta anaknya begitu erat.

"Kalian kenapa ninggalin Papa sendirian disini, hem? Kalian ngga mau hidup lebih lama lagi sama papa? iya? makanya kalian pergi ninggalin papa sendirian duluan disini? iya?" meskipun berbicara, air matanya masih mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah.

Ia mengangkat wajahnya, kini langsung berhadapan dengan wajah pucat istrinya."Kamu udah janji sama aku, buat gak ninggalin aku Tapi apa? kamu tetep ninggalin aku." lirih Devan pelan. "Kamu gak mau kesepian, sampai-sampai kamu tega bawa anak kamu dari aku Nau? kenapa kamu gak bawa aku juga! Hiks."

Mama tak tahan melihat kesedihan putranya, itu mengusap punggung Devan berulang kali."Udah sayang, ikhlaskan istri dan anak kamu. Kasian mereka,"

"Mereka jahat Ma, mereka jahat ninggalin Devan disini sendirian!" erang Devan tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh kaku sang istri dan anaknya.

Dijodohin Dosen Kampus [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang