21. Pergi tampa pamit

216 8 0
                                    

Bruukk

"Tian!

Bagas dan Rendi yang akan masuk ke ruang rawat Tian pun kaget, saat mendengar kegaduhan yang terdengar sampai luar.  Cepat cepat Bagas membuka pintu, saat Bagas membuka pintu di kejutkan oleh Tian yang sudah terduduk di lantai dengan tanganya penuh darah.  dan juga ruangan yang sudah berantakan. 

"Dad, Apa yang terjadi, dan kenapa kak Tian bisa kek gini!"  Bagas yang panik segera memanggil dokter. Sedangkan Rendi membatu Adam mengangkat Tian yang sudah pingsan ke ranjang.

"Daddy, apa yang terjadi sama kak Tian? tanya Bagas pada daddynya itu.

"Nanti Daddy ceritakan, sekarang kita fokus dulu sama kakakmu."

"Hm,"

"Ada apa ini?"  tanya Dokter Raka yang baru saja masuk bersama satu suster.

"Ka, tadi Tian marah-marah, dia mengamuk terus nyabut paksa nasal canula dan infusnya, gue udah berusaha tenangin tapi -   nanti gue ceritain.  sekarang tolong anak gue Ka," ucap Adam panik.

"Tolong semua keluar dulu,"  ucap sopan suster, mereka bertiga pun mengangguk dan segera keluar dari ruangan Tian.

Adam yang duduk di kursi hanya diam, ia mengingat kejadian saat Tian marah dan mengamuk tadi.

"Ngapain Om kesini haah!

"Buat gue,  ayah yang gue tau.  dia sudah MATI!  Jadi Om jangan bilang kalo Om itu Ayah gue."

Ucapan Tian itu selalu terngiang-ngiang di telinganya, memang benar dirinya sudah mati. di mata Tian.  'Ayah'  bahkan kata ayah tak pantas ia sandang.

Mana ada,  sesorang ayah yang tega tak mau mengakui anaknya sendiri. apalagi dengan teganya meninggalkan anaknya sendiri di panti asuhan saat masih berumur enam tahun.  dan mengatakan bahwa dirinya bukan Ayahnya.

Adam mengusap wajahnya kasar, tanganya terkepal matanya berkaca kaca lalu tampa berkata apapun. berdiri dan pergi begitu saja tak memperdulikan Bagas yang memangilnya berkali kali.

"Dad, Daddy.... Daddy mau kemana?"

"Sudahlah, biarin Daddy lu nenangin dirinya dulu. Lu di sini aja nunggu kabar kakak lu gimna?"  Ujar Rendi menahan tangan Bagas yang hendak menyusul daddynya.

"HaahhBagas menghela napasnya kasar,  "Hm. Gue kasian sama kak Tian dan Daddy,  Bang.  Gue mau mereka berdua baikan, gue sayang sama kak Tian meskipun kita beda ibu.  tapi kita satu Ayah kan. Itu artinya kita saudara dan gue berharap suatu saat nanti kak Tian sembuh dan mau memaafkan Daddy. Dan kita bisa kumpul bareng menjadi keluarga yang untuh dan bahagia selamanya."  Bagas sangat berharap keluarganya bisa berkumpul lagi dan Bastian menjadi bagian dari keluarganya.

"Aamin...  gue doain semoga keinginan lu bisa terkabul, gue juga pengen liat Bastian bahagia.  gue udah anggap dia kek adik gue sendiri, berkat Bastian hidup gue sekarang bisa lebih baik dan gue punya kesempatan buat memperbaiki diri gue sendiri."

"Kalo aja gue gak ketemu sama Bastian waktu itu, mungkin gue gak bisa kayak sekarang.  Gas,  gue tau.  lu anak baik, gue titip Tian sama lu, jagain dia sayangi dia," ucap Rendi menepuk pelan bahu Bagas.

"Hm, gue janji buat jagain kakak gue, dan gue bakal berusaha buat Daddy sama kak Tian baikan,
gue mau keluarga gue berkumpul lagi."

Dokter raka keluar dari ruangan Tian, bertepatan dengan Adam yang datang membawa dua kantong kresek yang berisi makanan dan minuman di tanganya.

"Ka, bagaimana kodisi Bastian?" tanya Adam.

"Kondisi Bastian saat ini bisa di bilang kurang baik,  sebenarnya luka di kepalanya dan kakinya sudah membaik. dengan terapi perlahan bisa membantu Tian untuk bisa berjalan lagi." 

Bukan Anak HaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang