6. Bet

329 45 1
                                    

Keesokan harinya, ketika mereka berdua sedang sarapan pagi, Oliver memberitahu Violet akan suatu tempat yang membuat perempuan itu tertarik. Oliver mengatakan bahwa di kapal tersebut terdapat sebuah tempat skating, yang tentu merupakan hal yang begitu Violet sukai. Meski sesungguhnya Violet sangat ingin bermalas-malasan dari kegiatan yang membuat pikirannya penuh karena ingatan pertandingan tempo hari. Lari ke alam mimpi untuk sejenak melupakan kenyataan yang membuatnya sesak.

Dan disinilah dia sekarang. Berada di seluncuran es menunggu lelaki yang masih mengenakan sepatu seluncur. Oliver tampak mahir saat memakainya. Seakan lelaki itu sudah sering melakukan hal tersebut. Violet mendekat kearah Oliver. Berdiri tepat dihadapan lelaki yang saat ini menengadah keatas menatap Violet.

"Ada apa?" Tanya Oliver yang mendapat uluran tangan dari Violet.

"Butuh bantuan untuk berdiri? Tidak mudah bagi pemula untuk menggunakan sepatu skating."

Oliver malah tertawa, namun begitu dia tetap menerima uluran tangan Violet sembari menegakkan tubuhnya hingga berdiri didepan perempuan itu.

"Kenapa kau malah tertawa? Aku hanya berusaha membantumu. Jatuh dipermukaan es itu sangat sakit."

"Oh apakah itu yang kau rasakan pertama kali saat melakukan ice skating?"

"Semua orang yang pertama kali juga akan merasakan itu Oliver."

"Kau tidak perlu khawatir. Yah walaupun sudah lama tidak melakukannya tapi aku tidak akan jatuh seperti yang takutkan." Kata Oliver kemudian berlalu menggerakkan kakinya dengan begitu mudah meninggalkan Violet yang menatapnya terkejut.

Violet mengikuti Oliver. Mengekor dibelakang pemuda tersebut yang tengah menyusuri setiap sisi ice rink yang cukup penuh hari ini. Violet menyusul untuk berdampingan dengan pemuda itu. Kaki mereka bergerak beriringan menyesuaikan ritme agar tetap bersampingan.

"Kau mahir juga," Violet berkata yang membuat Oliver menoleh. Dia tersenyum simpul. Menunjukkan bagaimana kebenaran dari ucapannya tadi.

"Kan sudah ku bilang. Kau yang selalu mengira aku berbohong."

"Bukan begitu, aku hanya sedikit tidak yakin."

"Hah!!"

Tiba-tiba Oliver berhenti. Membuat Violet juga melakukan hal yang sama. Perempuan itu mengernyit bingung dengan pergerakan Oliver yang sangat mendadak.

"Ada apa?" Tanya Violet yang bingung.

"Kau terlalu meremehkanku ya." Oliver berucap sembari menekuk kedua tangannya dipinggang. Menatap lurus pada netra bingung yang saat ini juga sedang memandangnya.

"Meremehkan?" Ulang Violet yang tidak mengerti maksud dari perkataan pemuda itu.

"Bagaimana kalau kita bertaruh?"

"Kau ini berbicara apasih? Aku tidak mengerti."

"Bukankah kau sejak tadi meremehkanku, Violet? Kau dari tadi berkata seolah aku tidak bisa melakukan apapun. Dan itu melukai harga diriku. Jadi bagaimana kalau kita bertanding? Siapa yang lebih cepat mencapai titik awal dia akan menuruti permintaan apapun dari si pemenang. Bagaimana?"

"Tidak. Aku tidak mau." Tolak Violet cepat sembari menggelengkan kepalanya tegas.

"Kau takut ya? Bagaimana mungkin atlet skating sepertimu takut dengan amatiran sepertiku?"

"Bukan begitu Oliver. Aku hanya merasa taruhan ini tidak ada gunanya. Tidak penting untuk menunjukkan siapa yang lebih baik."

"Ini bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih baik, Violet. Ini tentang merubah sudut pandangmu terhadapku."

"Aku tetap tidak mau." Kekeh perempuan itu sembari melipat kedua tangannya didepan dada.

"Hah," Lagi-lagi Oliver menghela nafas kasar sebelum mendekatkan diri kearah Violet. Menggerakkan tubuh hingga dia bias menatap wajah perempuan itu dari jarak dekat yang membuat Violet membelakkan mata. Oliver menarik sudut bibirnya yang membuat Violet merasa jengkel. Bukan tanpa alasan, sebab pemuda itu terlihat tersenyum dengan kesan yang sangat meremehkan.

"Akui saja kalau kau takut kalah, Violet. Tidak perlu bersikap seperti ini."

"Tidak. Aku tidak takut padamu." Tegas Violet. Dia mendorong tubuh Oliver untuk menjauh darinya.

"Bohong. Buktinya kau tidak berani menerima tantangan ku. Sudahlah, tidak perlu malu mengakui nya. Aku tidak akan mengolokmu."

"Jaga ucapanmu ya, Oliver. Baiklah. Kalau begitu ayo kita lakukan. Tapi jangan kaget kalau kau akan kalah dariku."

Sontak saja jawaban itu membuat Oliver terbahak. "Baiklah. Mari kita lihat siapa yang akan jadi pemenangnya."

Selanjutnya, kini Violet dan Oliver mulai beradu keahlian masing-masing dalam bermain skating. Dari hasil yang terlihat saat ini, semua orang yang melihat sudah pasti tahu bahwa Violet lah pemenangnya. Perempuan itu dengan begitu mudah memimpin dengan kemahirannya yang tentu saja diatas rata-rata. Secara dia adalah seorang atlet yang sudah berlatih selama bertahun-tahun.

Disisi lain, Oliver bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Kepribadiannya yang tidak mau kalah membuatnya tetap berusaha menyusul Violet yang jaraknya tak begitu jauh darinya saat ini. Oliver menggerakkan kakinya dengan cepat. Mencoba menyamai jarak yang sedikit lagi akan digapainya.

Dan tentu saja, dengan kegigihannya tersebut, Oliver dapat melakukannya. Kini dia tepat disamping perempuan itu. Violet yang melihat keberadaan Oliver itu membelakkan mata tak percaya. Namun dia tetap kembali fokus pada lintasan es. Menggerakkan kakinya semakin cepat agar pemuda itu tidak bias memenangkan taruhan mereka.

Oliver tersenyum melihat keseriusan ekspresi dari Violet. Dia puas karena bisa mengintimidasi sang atlet tersebut. Mereka tampak semakin serius untuk menyelesaikan taruhan tersebut. Tampaknya tidak ada yang mau mengalah diantara keduanya. Violet dengan harga dirinya sebagai atlet skating professional, dan Oliver dengan perasaan yang tidak suka diremehkan.

Garis finish sudah tak jauh dari keduanya. Mereka semakin mempercepat pergerakan kaki. Hanya saja tiba-tiba beberapa gerombolan orang bergerak mendekati Violet dan Oliver pun meliukkan tubuh untuk menghidari orang-orang tersebut.

Mereka melewati beberapa orang dengn mudah. Hanya saja saat hendak mencapai garis finish, Violet tiba-tiba berhenti sehingga yang membuat Oliver yang menjadi pemenang. Bukan tanpa alasan mengapa Violet tiba-tiba menghentikan gerakannya. Dia berhenti karena seorang anak lelaki jatuh tepat didepannya. Menghalangi jalan hingga membuatnya terpaksa untuk berhenti supaya tidak menyakiti bocah tersebut.

Meski dia merasa kesal karena kenyataan bahwa Oliver yang menjadi pemenang, namun Violet tidak menyalahkan bocah tersebut. Daripada memarahinya, Violet memilih untuk membantu bocah tersebut berdiri.

"Terimakasih, Kakak cantik." Ucap bocah tersebut setelah Violet membantunya berdiri.

"Lain kali lebih hati-hati ya. Kau bias terluka jika berhenti bermain tidak melihat sekitar."

Bocah tersebut mengangguk sambal tersenyum sebelum pergi meninggalkan Violet yang menatapnya yang menjauh.

"Aku menang."

Violet menoleh ketika tiba-tiba suara terdengar berbisik tepat ditelinga kanannya. Siapa lagi kalau bukan Oliver yang terlihat dengan wajah sombongnya.

"Kau hanya beruntung, Oliver." Dengus Violet kesal.

Oliver mengendikkkan bahu tak peduli. "Apapun itu, menang tetaplah menang. Dan sesuai kesepakatan, kau harus menuturi permintaanku."

Yang dikatakan Oliver adalah benar. Dalam sebuah pertandingan apapun yang terjadi pemenang tetaplah menang. Entah itu karena beruntung atau apalah, Violet tidak bisa mengelak.

Maka dengan hembusan nafas berat dia pun menerima kekalahannya. "Baiklah. Katakan apa yang kau inginkan,"

Oliver tampak berpikir sebentar sebelum menjentikkan jari menunjukkan bahwa dia sudah menemukan apa yang diinginkan.

"Kita akan makan malam bersama. Tidak ada penolakan. Jadi bersiaplah."

FLAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang