Hal pertama yang ditunjukkan Violet saat melihat apartemen kecil Oliver adalah bibir yang terbuka lebar. Wanita itu tercengang dengan hunian yang mengisi seluruh pantai paling atas pada sebuah gedung.
Perempuan itu tak banyak bicara. Dia terus memindai ruangan yang memiliki interior bergaya minimalis dengan dipadukan warna putih dan abu-abu. Tidak begitu banyak hiasan yang ada. Namun sebuah lukisan lebar dan lampu gantung kristal yang indah cukup untuk menunjukkan bagaimana mahalnya tempat tersebut.
Tiba-tiba Violet melirik sinis ke arah Oliver. Mendecak sebal pada lelaki yang sok merendah.
Bagaimana bisa lelaki itu menyamakan sebuah panthouse mewah dengan apartemen kecil?
Apa Oliver sedang berusaha mengolok miliknya?
"Maaf sedikit berantakan. Sudah lama aku meninggalkan tempat ini."
Lelaki itu menggiring Violet untuk memasuki hunian kecilnya. Duduk di kursi meja makan yang menatap langsung pada pemandangan laut. Terlihat banyak deretan yacht yang berbaris rapi dengan lampu-lampu yang berkelip ria. Menandakan bahwa seseorang sedang menikmati pesta malam Monaco yang begitu membara.
Monaco. Siapa yang tidak tahu Monaco. Sebuah negara kecil yang menjadi taman bermain bagi para orang-orang kaya. Sebab pada negara kerajaan tersebut pajak bukanlah hal yang ditekankan. Monaco memiliki kebijakan pajak yang lebih longgar dibandingan dengan banyak negara lain. Dan pada aspek tertentu bahkan pajak di tiadakan. Itulah mengapa banyak orang kaya memilih untuk menetap di negara tersebut. Tak terkecuali dengan pembalap-pembalap formula satu. Teman-teman Oliver banyak yang memilih tinggal di Monaco daripada negara mereka berasal. Seperti dirinya.
Sejujurnya Oliver tidak merasa apa yang dia tempati tersebut adalah sesuatu yang mewah. Sebab hal tersebut tidak sebanding dengan apa yang ditinggali oleh para teman-temannya. Oliver memilih tempat yang menurutnya nyaman. Mewah atau tidak itu sangatlah relatif. Lagian dia berpikir tidak akan selamanya berada di Monaco. Pada suatu masa dia akan kembali ke Spayol meski untuk saat ini, Monaco adalah pilihan yang tepat untuk menjauh dari keluarganya. Jadi daripada membeli sebuah manshion, Oliver lebih memilih sebuah panthouse dengan pemandangan laut yang dia sukai.
"Mau minum apa?"
Oliver bertanya pada sang kekasih yang nampaknya belum puas memindai tempat tinggalnya. Entah apa yang ada dipikiran wanitanya itu hingga menatap dengan begitu seksama. Seolah ada sesuatu yang mencurigakan baginya.
"Sayang, aku bertanya, kau mau minum apa?" Lelaki itu mengulang dengan menarik wajah Violet agar menatapnya. Perempuan itu nampaknya begitu asik memindai hingga tidak memperdulikannya.
Violet pun menoleh ketika Oliver menangkup kedua pipinya. Dia merasakan tekanan yang cukup kuat hingga bibirnya seperti bebek yang maju.
"Apa saja, Oliver. Jadi lepaskan."
Violet melepaskan tangan Oliver setelah berucap dengan pelafalan yang tidak begitu jelas. Oliver melakukannya dengan terkekeh karena melihat sang kekasih yang begitu menggemaskan. Rasanya dia ingin menggigit bibir merah yang baru saja manyun itu.
"Jangan terlalu sibuk memperhatikan rumahku, Sayang. Aku pun ingin kau perhatikan juga."
Oliver berbalik. Berjalan menuju mesin pendingin. Menggapai sesuatu untuk sang wanita.
Violet, tentu saja wanita itu tidak peduli dengan apapun sekarang. Fokusnya teralihkan untuk mengagumi bangunan yang dia singgahi saat ini. Apalagi didepannya disuguhkan pemandangan laut yang terlihat begitu gemerlap. Jadi bagaimana dia bisa peduli hanya tentang jenis minuman yang akan mengaliri tenggorokannya yang mulai tandus? Apalagi tentang Oliver. Violet tidak memiliki waktu untuk itu.