22. Don't Insult Me

217 45 13
                                    

Sepanjang hari Violet hanya menekuk wajah. Mimik mukanya nampak begitu masam. Bahkan senyum tipis seperti sebuah barang yang teramat mahal untuk ditunjukkan. Dia tidak fokus. Pikirannya sedang riuh dengan hal yang begitu mengusik. Tentu saja apalagi kalau bukan karena Oliver. Ya, beberapa hari terakhir dia tak henti terpikirkan dengan kekasihnya itu. Sebab semenjak kejadian di apartemen saat itu, sikap Oliver seolah berubah.

Dia tidak bersikap seperti biasanya. Tidak ada percakapan hangat, rengekan manja, atau bahkan godaan nakal yang biasa lelaki itu lontarkan. Hanya pertanyaan dasar yang sungguh tidak menggairahkan. Terasa sangat hambar. Dan Violet tidak menyukainya.

Jujur saja Violet terganggu dengan perubahan sikap Oliver yang menurutnya sangat tiba-tiba. Dia terus bertanya-tanya apa yang salah? Bukankah semua permasalahan telah usai setelah penjelasan Oliver? Dan bukankah yang seharusnya berubah adalah dirinya? Dialah yang sudah memergoki perempuan lain di partemen lelaki itu.

Violet melirik benda pipih di meja yang tidak menunjukkan kehidupan. Layar ponselnya tidak berkedip sama sekali. Tak ada satu notifikasi pun muncul dari lelaki itu.

Perasaan hatinya sangat tidak karuan. Mengapa Oliver menjadi begitu acuh? Apakah--cinta yang selalu di agung-agungkan lelaki itu pada akhirnya hilang bak asap tanpa jejak yang tertiup angin di udara?

Violet menarik sebelah bibirnya kecil. Dia tersenyum getir. Seketika sesak menyeruak di dadanya. Hatinya pun terasa nyeri ketika pikiran-pikiran menakutkan berhasil menguasai kepalanya. Kenangan masa lalu yang begitu dia takuti kembali menghantui. Apakah rasa sakit itu ternyata akan kembali terulang? Apa--pada akhirnya Oliver hanya membual tentang cinta yang selalu dia gaungkan?

Violet menggigit bibir kuat. Hanya itu cara yang bisa dia lakukan untuk tidak menangis saat ini. Dia--tidak ingin kembali terjatuh pada jurang masa lalu yang pernah memperangkapnya.

Bukankah manusia itu pandai bersandiwara? Maka dari itu dia memilih untuk menahan diri. Mencoba tidak peduli dengan apa yang terjadi meski disudut hatinya sedang merasakan gejolak yang luar biasa.

"Ini adalah spaghetti bolognese terenak di seluruh kota. Bukankah begitu, Violet?"

Aurora yang sebelumnya menikmati sebuah hidangan yang menyapa lidahnya dengan sangat sopan, mengerutkan dahi. Matanya memicing menatap teman perempuan yang saat ini berada tepat didepannya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Piring temannya itu belum tersentuh sama sekali. Itulah mengapa pertanyaan yang baru saja dia lontarkan hanya mendapat balasan bisu.

"Hei!!" Kata Aurora sembari mengayunkan tangan. Meminta perhatian dari temannya.

Violet sedikit tersentak. Dia mengerjabkan mata kembali dari kesibukan dengan pikirannya sendiri. "Kau mengatakan sesuatu?"

Jawaban tersebut tentu saja membuat Aurora kesal. Perempuan itu memilih melipat kedua tangan sembari menghela nafas.

"Lupakan. Sejujurnya apa sih kau sedang kau pikirkan? Kau benar-benar seperti di dimensi lain, Violet." Pungkas Violet dengan mata memicing penuh menyelidik.

Reaksi Violet yang tidak langsung menjawab tentu saja membuat kecurigaan Aurora semakin besar. Dia seratus persen yakin bahwa ada sesuatu yang mengusik temannya tersebut.

"Aku baik-baik saja,"

"Bohong." Timpal Aurora cepat. "Kau kira bisa membohongiku?" Aurora seolah sedang menegaskan bahwa pertemanan yang sudah begitu lama diantara mereka membuat tidak ada yang bisa ditutupi sedikitpun. "Coba ku tebak, pasti kau seperti ini karena Oliver?"

Bak parnormal yang bisa membaca pikiran, dugaan Aurora nampaknya benar. Terlihat dari keterkejutan Violet dari matanya yang terbelalak.

"Ah, jadi benar. Ternyata ini tentang Oliver. Kau tahu Violet, dalam sebuah hubungan itu memang normal kalau terjadi pertengkaran. Dan dari pertengkaran tersebut bisa membuat kalian menjadi semakin mempererat hubungan kalian."

FLAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang