4. They Meet

319 51 9
                                    

Baru dua hari dikapal pesiar tapi Oliver sudah mulai merasa bosan. Awal-awal saja dia bersemangat. Memang benar kata Irishh, disini dia bertemu dengan banyak wanita cantik, namun tidak ada satupun yang menarik baginya.

Oleh karena itu Oliver memilih untuk meninggalkan pesta yang saat ini sedang berlangsung dengan begitu meriah didalam hall. Mencari angin segar untuk menghilangkan kejenuhan yang dia rasakan.

Oliver pergi ke lantai teratas kapal. Angin malam lautan berhembus kencang hingga mengibarkan jas dengan kancing yang sudah dia longgarkan. Oliver menghirup udara tersebut dalam. Rasanya sangat menyegarkan. Tidak seperti sebelumnya yang terasa menyesakkan karena penuhnya hall dengan orang-orang yang ingin berpesta. Astaga Oliver sedikit menyesal menerima tantangan Irish. Padahal dia menghabiskan empat potong sushi yang tersisa dengan sekuat tenaga. Lelaki itu bahkan menahan diri untuk tidak muntah, tapi ternyata imbalan yang dia terima tidak sebaik yang dia pikirkan.

Oliver sekarang berada diluar kapal. Menikmati angin malam yang berhembus cukup kencang menusuk permukaan kulitnya. Meski didalam hall sedang berlangsung sebuah pesta meriah, entah mengapa Oliver tidak tertarik berada disana.

Ternyata Oliver tidak seorang diri. Dia melihat seorang perempuan yang surainya terbang lembut berdiri bersandar pada pembatas besi. Gaunnya yang berwarna hitam sangat kontras dengan pembatas yang berwarna putih tersebut.

Oliver mendekat. Melangkahkan kakinya kearah perempuan tersebut.

"Boleh aku bergabung?" Ujar Oliver ketika berhenti ditempat tujuannya.

Oliver berada disamping perempuan itu. Dan ketika perempuan asing tersebut memutar kepalanya, betapa terkejutnya Oliver. Matanya terbelalak sebelum kekehan ringan tak habis pikir keluar dari bibirnya.

"Ya Tuhan, entah harus berapa kali kita akan terus bertemu seperti ini?" Oliver menggelengkan kepalanya tak percaya. Dia menyeruput wine yang ada ditangannya. Wine berwarna merah pekat itu terasa begitu menyegarkan ketika memasuki tenggorokannya. Sangat pas untuk menghangatkan tubuh di hawa malam yang dingin.

"Apa akau disini untuk menangis lagi? Dan kali ini kau akan menangisi apalagi?"

"Maaf?" Balas dengan raut wajah yang tersinggung. Namun tidak dihiraukan oleh Oliver. Dia memalingkan wajah. Menatap lautan luas yang permukaannya terpantul cahaya bulan yang begitu indah.

"Namamu Violet kan? Sejujurnya aku sudah melihatmu dua kali menangis. Dan aku juga tidak tahu mengapa aku harus melihat pemandangan tersebut."

"Aku tidak menangis. Aku baik-baik saja." Tegas tak terima perempuan bernama Violet yang pernah menabrak mobil kesayangan Oliver tersebut.

Oliver menghembuskan napas pelan. "Ucapanmu sungat tidak mencerminkan raut wajahmu sekarang." Dia kembali menyesap wine miliknya dengan lembut. "Yah, walaupun menangis itu tidak apa-apa karena salah satu bentuk mengekspresikan isi hati, tapi kalau terlalu sering bukankah terdengar tidak begitu baik? Terlebih itu jika masalah lelaki."

"Kau tidak tahu apapun tentang hidupku." Violet mengeram rendah. Tangannya yang berpegangan pada pembatas besi kini mencengkeram dengan sangat erat.

"Memang. Tapi melihat tangisanmu yang bahkan sampai dua kali membuatku kesal juga." Oliver hanya mengendikkan bahunya asal. Sikap santainya sangat bertabrakan dengan reaksi yang ditunjukkan oleh perempuan disampingnya.

"Kau punya pilihan untuk mengabaikannya."

"Kau benar. Tapi entah mengapa aku malah memilih untuk melihat tangismu itu. Terlihat konyol tapi disisi lain sangat menjengkelkan karena kau menghambat urusanku."

"Kau---jika kau tidak suka aku ada disini katakana saja. Kau tidak perlu melontarkan hal-hal menyakitkan seperti itu. Tidakkah kau tahu kalau ucapanmu itu melukai hati seseorang." Perempuan itu berkata dengan kesal. Wajahnya terlihat menahan amarah. Oliver tahu bahwa ucapannya sudah sangat berlebihan hingga membuat perempuan itu tersinggung. Meski biasanya dia sangat tidak peduli dengan penerimaan orang lain.

FLAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang