13. Heaven Issues

308 55 17
                                    

Sesuai dengan rencana, disinilah Oliver berada. Berdiri didepan pintu apartemen yang tak tau dimana sang empunya. Lelaki itu berhutang banyak pada pasangan William dan Aurora. Tentu mereka berdualah yang memiliki peran penting dalam rencananya saat ini.

Oliver melipat tangannya. Dia bersandar pada pintu yang masih tertutup. Lelaki itu memejamkan mata. Menarik napas dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Entahlah, hari-hari terasa begitu berat semenjak pertemuannya terkahir kali dengan Violet. Bahkan balapannya begitu kacau hingga dia tidak mendapatkan perolehan poin yang maksimal untuk team.

Dia sedikit lelah. Sesaat setelah agenda balap selesai dia langsung mengambil penerbangan. Ah itu bukanlah seperti menaiki pesawat komersial biasa, namun dia adalah Oliver sang pembalap F1 dari keluarga Rexon yang menggeluti bidang properti dari kakek buyut mereka. Tentu saja dia sangat mampu memiliki jet pribadi sendiri.

Jam tangan yang melilit dipergelangan menunjuk pada angka sepuluh. Cukup malam bagi seorang atlet untuk tetap terjaga. Berarti sudah hampir satu jam Oliver menunggu. Dan sialnya dia bahkan tidak bisa menghubungi ponsel perempuan itu.

Sebenarnya kemana perempuan itu sekarang? Andaikan Oliver tahu, sudah pasti dia akan menyusul ke tempatnya berada. Sungguh, menunggu seperti ini membuatnya semakin tidak tenang.
Pikirannya berkeliaran kemana-mana. Ketakutan dan kegelisahan bercampur menjadi satu hingga membuat kepalanya ingin meledak.

Tapi Oliver tidak bisa terus bersikap seperti itu. Dia harus bisa mengendalikan diri. Meski sedikit sulit tapi menghadapi perempuan seperti Violet membutuhkan strategi yang tepat. Jika terlalu keras dia akan lepas, namun apabila terlalu lemah Violet pun tetap akan lepas.

Sialan. Oliver rasanya hampir gila.

"Haruskah aku merantai kakinya nanti agar dia tidak bisa pergi seenaknya seperti saat ini?"

Hah, pemikiran bengis itu lagi-lagi muncul di benaknya. Ya, setiap kali mengingat bagaimana dengan lancangnya perempuan itu pergi, rasanya Oliver ingin sekali mengurungnya. Menguncinya pada sebuah ruangan khusus dan tidak akan membiarkannya pergi kemanapun tanpa ijin darinya.

Waktu terus berputar, hingga ketika suara dari arah lift terdengar disitulah Oliver menegakkan tubuhnya.

Sebuah kaki jenjang seputih susu yang pernah melingkar erat di pinggang kokohnya nampak melangkah keluar. Menunjukkan presensi utuh dari perempuan yang mengacaukan harinya dalam beberapa bulan terakhir.

Namun langkah itu hanya bertahan beberapa kali saja sebelum sang empunya memilih berhenti. Violet, perempuan yang sudah membuangnya, perempuan yang merusak pikirannya, dan perempuan yang sudah menjadi candu baginya nampak sedang berdiri mematung ditempat. Matanya terbelalak. Bibirnya sedikit terbuka. Sepertinya presensi dirinya sangat mengejutkan bagi perempuan itu.

"Lama tidak bertemu Violet." Sapa Oliver yang membuyarkan keterkejutan perempuan yang baru saja pulang dari pusat kebugaran. Terlihat dari pakaian yang olahraga yang dia kenakan.

Violet kembali pada kesadaran yang sempat melayang beberapa saat lalu. Dengan langkah tegas dia mendekat kearah lelaki yang sedang menyeringai menjijikkan. Sungguh Violet membenci ekspresi yang ditunjukkan Oliver sekarang.

"Pergi dari sini."

Violet menarik tangan Oliver untuk mengikuti langkahnya. Namun tertahan karena Oliver menginginkan untuk tetap tidak beranjak.

"Tidak. Aku tidak akan pergi kemanapun." Tepis Oliver hingga membuat tangan Violet terlepas.

"Kau--" Violet mengeram. Wajahnya mengeras. Amarah yang tertahan membuat deru napasnya memberat.

"Apa?" Oliver menatap lurus pada netra perempuanuan yang memberikan sorot tajam pada dirinya. Dia tidak mau kalah. Oliver tidak takut dengan intimidasi Violet yang malah seperti seekor kucing kecil yang lucu.

FLAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang