18. Paint The Heart Red

287 51 10
                                    

Komunikasi adalah kunci dari keberhasilan suatu hubungan. Itulah omong kosong yang diyakini oleh banyak orang. Begitupun Violet dulu. Kalimat yang membuatnya begitu bodoh hingga kepercayaan yang dia miliki hancur begitu saja.

Namun saat ini dia tidak lagi menganut pemahaman tersebut. Sebab pengalaman membuatnya menjadi demikian. Kebohongan tetap saja bisa terukir dalam setiap komuikasi yang terikat.

Jadi untuk apa terlalu sering berkomunikasi kalau tetap berakhir dengan pengkhianatan?

Sikap manusia tidak akan bisa berubah. Insting bermain api akan tetap menyala ketika sang pemilik memilih untuk membakar.

Lalu atas dasar apa suatu hubungan bisa terjalin?

Entahlah. Violet juga tak tahu. Dia tak mengerti harus seperti apa sekarang. Dia tidak terlalu berharap banyak terhadap sebuah hubungan. Dia tidak memiliki ekspektasi terlalu tinggi. Karena ketika kepercayaan runtuh disitu hati akan kembali remuk.

Oleh sebab itu Violet akan menjalani hubungan ini seperti apa adanya. Dia takut ketika terlalu menggenggam sesuatu, tangannya yang akan berdarah. Meninggalkan bekas yang sulit sekali terhapus.

Perempuan itu hanya bisa berharap Oliver akan tetap menjaga janjinya. Hanya itu yang bisa menjadi pegangan bagi Violet untuk menjaga hubungan mereka saat ini.

"Kalian berdua mau pesan apa?" Tawar seorang wanita yang berumur 40-an. Namun wajahnya tidak nampak seperti umurnya sekarang. Sebab mantan atlet yang kini membanting setir sebagai seorang pelatih sangatlah disiplin terhadap kehidupannya. "Pilih apapun yang kalian suka. Aku yang akan membayar." Lanjutnya yang sontak membuat dua manusia yang duduk didepannya itu berbinar senang.

Dengan cepat Violet dan Dallen menyahut buku menu. Tanpa banyak berpikir mereka pun menyebutkan makanan yang mereka inginkan pada pelayan.

Violet memesan risotto. Sebuah masakan yanh terbuat dari nasi gandum, kaldu ayam, daging sapi dan sayuran dicampur menjadi satu hingga mengental. Tak lupa atasnya akan ditaburi keju parut, rempah-rempah, serta hidangan laut yang begitu khas. Dallen, pemuda itu memilih spaghetti carbonara. Mie khas Italia yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia itu dimasak dengan saus telur, keju dan daging. Tak lupa wine yang cocok untuk dinikmati dengan hidangan Italia.

"Sebenarnya aku mengundang kalian tidak hanya untuk makan malam bersama. Tapi ada sesuatu yang ingin aku diskusikan dengan kalian berdua." Nyonya Polina, pelatih mereka berucap ketika pelayan sudah meninggalkan tempat. Sambil menunggu hidangan, wanita dewasa itu memutuskan untuk membicarakan niat awalnya.

"Memangnya ada apa? Sampai-sampai Anda memilih untuk bertemu seperti ini."

Violet sedikit penasaean. Jarang sekali Nyonya Polina mengajaknya keluar untuk membahas sesuatu. Biasanya wanita itu akan membicarakannya ketika sedang berlatih.

"Jadi begini, dua minggu aku berniat untuk mengikutsertakan kalian pada pertunjukam skating untuk digelar untuk amal. Aku tahu ini sangat mendadak. Dan kalian pasti merasa tidak siap. Tapi ku pikir ini adalah kesemparan bagus untuk melihat kemistri kalian diatas ice rink."

"Lalu bagaimana dengan koreografi yang sudah kita pelajari? Bukankah itu dipersiapkan untuk olimpiade musim dingin nanti?" Dallen menyela. Lelaki itu nampaknya juga terkejut dengan pemberitahuan tersebut.

"Kita akan menggunakan koreografi baru. Jadi kalian berdua akan berlatih lebih keras setelah ini."

Violet dan Dallen saling bersitatap. Mereka tidak berbicara. Namun sorot mata mereka berbicara sangat jelas meski ada setitik keraguan didalamnya.

"Apa Anda yakin ini akan berhasil? Maksudku kami takut karena dengan waktu yang begitu singkat kami tidak bisa menampilkan pertunjukan yang maksimal." Ujar Violet mengungkapkan kecemasannya.

FLAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang