"Bukankah aku sudah pernah bilang padamu? Seseorang membutuhkan dukungan dari orang lain selain orang tua sendiri, "jelas Riliana."Aku katakan sekali lagi, bahagiakan dirimu sendiri terlebih dahulu, "
Terkadang kita tidak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan, sebagai orang kaya atau miskin. Bersama orang tua yang mengerti kita atau tidak, dan apakah kita dilahirkan dengan porsi rezeki yang melimpah atau keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Kita hanya bisa menerima, menjalaninya dan ikhlas untuk semuanya.
"Seseorang yang sudah Berkali-kali membantu mereka meski dalam keadaan sulit pun. Tidak pernah dihargai. Orang tua toxic. Jika saja aku tidak dilahirkan dari orang tua yang toxic, "gumam Aleta.
"Tetaplah berada di jalanmu. Jangan berubah dan menyimpan dendam pada orang tuamu. Mungkin kau tidak menyimpannya. Tapi, suatu saat pendamping hidupmu bisa memiliki perasaan itu. Setelah menikah, fokuskan saja keluarga kecilmu. Sesekali boleh membantu. Tapi, lihat keadaan keluarga kecilmu sendiri. Jika yang kau berikan hanya membuat kau dihina. Maka kurangi saja.
"Kita dilahirkan dengan takdir yang berbeda. Jika sudah dewasa hidup adalah pilihan. Tapi, kalau masih dalam kandungan itu adalah takdir. Takdir yang tidak bisa kita pilih. Harus dilahirkan dirahim siapa.
Aleta hanya tertunduk
seraya mendengarkan ucapan Riliana."Sebenarnya orang tuaku masih mumpuni Bekerja keras. Tapi, entah malas atau bagaimana aku juga tidak tahu. Mereka hanya mengandalkan hasil kerja kerasku. Tapi, saat aku ingin membangun usaha mereka tidak mau memberikan aku modal. Mereka justru memberikan modal usaha pada kakakku.
"Orang tua yang malas dan tidak mau bekerja keras meskipun badan masih sehat dan kekar. Bagaimana jika yang aku alami dialami oleh seorang pria yang sudah berkeluarga? Mungkin pria itu hanya akan memikirkan keluarganya saja dan tidak memikirkan istrinya sebagai pendamping hidupnya.
"Itu akan membuat perbedaan pendapat diantara mereka jika seorang pria yang mengalaminya. "Sahut Riliana.
"Ya, kau benar. Uang yang seharusnya menjadi nafkah justru diberikan kepada ibunya. Aku tau sebaik-baiknya seorang anak ialah yang mau membantu orang tua. Tapi, mereka juga harus tau keadaan anaknya, "lanjut Aleta.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter menghampiri Aleta dan mengatakan bahwa,
"Nona, saya lihat luka di kepala nona sudah mulai membaik. Jika nona ingin pulang, saya akan mengizinkannya. Tapi setelah beberapa bulan nona harus melakukan cek up ke dokter untuk pemeriksaan terakhir, "jelas dokter.
"Apakah aku perlu menghubungi temanmu yang membawamu ke rumah sakit pada saat itu? "tanya Riliana
"Tidak perlu, jika dia tahu. Dia akan memberitahu kedua orang tuaku. Aku tidak ingin mereka tahu, "jawab Aleta
Aleta bangun dari ranjangnya dan mencoba untuk berjalan.
Aleta perlahan mengemas barang-barangnya yang ada di rumah sakit untuk dibawa pulang ke kontrakannya. Dengan hati yang tidak karuan dan tanpa henti berkecamuk Aleta mer
asakan sesak di dadanya. Sebab, disaat seperti ini Aleta hanya seorang diri dan tidak ada yang menemaninya."Terima kasih, sudah membantuku mencarikan tempat tinggal untukku. " Aleta mengangkat tasnya berjalan meninggalkan ruangan.
"Apakah kau perlu ku bantu membereskan tempat tinggalmu? "tanya Riliana.
"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya seorang diri. "Aleta menarik kenop pintu kamarnya dan keluar meninggalkan ruangannya.
"Mereka sangat membebani hidupku. Bahkan aku rela memikirkan diriku sendiri dan lebih memikirkan mereka. Tapi, ya sudahlah. Mengatakannya hanya membuatku semakin sakit merasakan sesak di dada.
Setelah beberapa hari Aleta bekerja dan tinggal dikos-kosan hingga akhirnya ia membeli rumah yang menjadi tempat tinggal selama itu. Orang tua Aleta mulai memikirkan keberadaan Aleta karena tidak pernah pulang selama hampir 3 tahun mereka berpikir jika tidak ada Aleta tidak ada orang yang memberi mereka yang untuk kebutuhan mereka.
"Ma, kenapa Aleta tidak pernah pulang ya semenjak kita datang mengunjunginya di rumah sakit? Tanya Dirga.
"Mungkin dia sudah mati, Pa. Jangan dikhawatirkan lagi. Tapi jika dia sudah tiada. Tidak ada tempat untuk kita meminta uang padanya lagi. Tidak ada yang bisa kita andalkan. Kita tidak bisa bergantung padanya lagi. Apalagi papa selalu saja mengeluh setiap hari hanya mengeluh sakit ini sakit itu saja. Kalau papa tidak mau bekerja .... Kita dapat pemasukan dari mana Pa? "
"Apa kita harus mengemis meminta uang pada Aleta terus menerus sampai Aleta menikah? "
"Ini semua juga karena Mama! Mama yang memaksakan kita untuk menyekolahkan adiknya Aleta kuliah! "ketus Dirga.
"Mama!! Papa bilang mama yang memaksa untuk menyekolahkan adiknya Aleta? "tanya Reta dengan nada tingginya.
"Papa yang bilang 'sangat disayangkan jika kartu Indonesia pintar Karina tidak digunakan dan lagi pula Karina itu termasuk anak yang pintar dan berprestasi dalam sekolahnya'. "ungkap Reta.
"Disini Papa yang salah! Papa yang meminta mama untuk melanjutkan pendidikannya Karina sampai ke universitas. Tapi akhirnya papa sendiri yang mengeluh sakit ini dan itu! Tidak kuat bekerja, kalau bekerja badan langsung lemah. Mama pusing Pa! Capek! Mendengarkan Papa selalu saja mengeluh setiap hari papa selalu saja mengeluh.
"Pikirkan bagaimana cara kita agar bisa mengirim uang ke Karina. Karina sudah berkali-kali menghubungi mama minta uang transferan, "ucap Mama.
Tiba-tiba Aleta kembali ke rumahnya dan menyela ucapan mereka berdua.
"Kalian berdualah yang salah! Kalian selalu memanjakan Karina! Sampai tidak memperdulikan aku! Aku juga anak mama dan papa. Tapi aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari kalian. Sekarang kalian rasakan sendiri akibatnya. Akibat dari kalian yang memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya atau adikku selalu mama dan papa banggakan. Seharusnya Karina berpikir! Jika dia ingin kuliah. Dia harus kuliah dengan kerja juga. Dia harus mencari agar tidak membuat kalian seperti ini. Gajiku kecil, Ma, Pa. Untuk kebutuhanku saja masih kurang. Apalagi untuk membiayai hidup kita dan adikku tidak akan pernah cukup. Aku lelah dengan keluarga ini!!
Aleta berjalan menuju kamarnya untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal sembari meneteskan air matanya.
"Aleta!! Ke mana saja kamu selama ini." Reta berjalan menuju kamar Aleta.
"Kenapa? Apakah Mama ingin meminta uang padaku untuk membantu pembayaran uang kuliah Karina? Gak Ma, Aleta tidak punya uang sepeserpun! " Aleta mengambil dompet yang ada di dalam tasnya lalu membukanya seraya menunjukkan ke wajah Reta.
"Lihat! Aleta tidak mempunyai uang sepeserpun. Ini atm Aleta yang kosong dan sudah terblokir. Jika mama tidak percaya, cek saja di bank. "Aleta melemparkan kartu Atm-nya ke atas ranjang.
"Aleta ngutang untuk pembayaran rumah sakit!!. "Aleta mengangkat tasnya ke punggung dan berjalan keluar meninggalkan rumah itu.
"Aleta, mau ke mana lagi kamu? Sudah bertahun-tahun kamu tidak pulang ke rumah! Apakah kamu ingin pergi lagi? "tanya Reta.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Biggest Fake Family (Terbit Cetak)
Teen FictionKisah Aleta yang memiliki saudara kembar. Namun dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama dengan kakak dan adiknya. Aleta selalu saja mengalah dan tetap berusaha berbakti pada orang tuanya meskipun terkadang apa yang sudah banyak ia lakuka...