01. Bekasi

124 85 177
                                    

Sepasang bola mata Kia tertuju pada ekspresi wajah ayah di hadapannya yang tengah fokus memahami naskah milik Kia. Jantungnya berdetak dengan kencang, jari-jarinya tidak bisa berhenti mencengkram bantal sofa.

Setiap pergerakan yang ayahnya lakukan membuat isi pikiran Kia seketika berfikir negatif tentang naskah miliknya. Selembar kertas mulai dibalik, alis ayah mulai menaik sebelah, jantung Kia berdebar semakin kencang saat itu juga.

Perlahan ayah mengalihkan tatapannya menatap Kia, Kia bener-benar terkejut seraya menguatkan gigitan pada bibir bawah dalamnya.

Deg!

"Naskah kaya gini mana bisa lo buat film? Lo tau sendiri jaman sekarang banyaknya film-film percintaan anak sekolah," ucap ayah Kia selaku mantan Sutradara film layar lebar Indonesia.

Kia hanya terdiam membatu mendengarkan ayahnya memberikan revisian pada naskahnya untuk ke sekian kalinya. Dengan tatapan kosong, dan sedikit lelah sesekali menghembuskan napas pasrah. Tak lama kemudian, ibu Kia datang membawa secangkir kopi hitam kental tanpa gula lalu menaruhnya di atas meja berhadapan dengan ayah.

"Gausah terlalu di bawa pusing, dibawa santai aja. Contohnya, ayah kamu." Ibu menjeda ucapannya seraya berjalan duduk di samping ayah. "Ibu mulai kagum sama bapak kamu waktu masih jaman SMK. Dia dulu masuk jurusan Produksi Film di SMKN 4 jadi Sutradara sekaligus penulis naskah."

Ayah mendengarnya nyaris menyemburkan kopi panas dari mulutnya. "Itu karena dua member ayah kena blacklist gara-gara ketauan ngerokok pake seragam di warping, Mah!" kata ayah menyelak.

"Tapi hasil filmnya bagus, kan?!" seru ibu.

"Oh, jelas! Orang telent filmnya aja, mamah! Hahah... " keduanya saling tertawa membuat Kia ikut tersenyum.

Kia melihat pintu sebuah ruangan kamar terbuka setengah, menampilkan seorang pria berusia duapuluh lima tahun dengan celana kolor andalannya berwarna abu-abu, beserta kaos hitam pemberian partai. Rambutnya acak-acakan, kedua matanya begitu sayup.

"Woii, aku baru tidur. Jangan berisik, bisa tipes lama-lama kalo sampe sekarang gak tidur juga!" tekan Erick, anak pertama atau biasa di sebut abang Kia. Dengan nada ngantuknya, ia kembali menutup pintu sambil menguap.

Semuanya terdiam tertuju pada Erick, Kia mulai mengkerutkan dahinya berpikir keras sejenak lalu bergegas mengambil naskah miliknya dan berlari mengejar Erick sebelum mengunci pintu kamarnya.

"Kunaon ari sia?" tanya Erick.

"Naha jadi Sunda?" tanya kembali Kia.

Erick tidak banyak bicara, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk membiarkan Kia berbicara sendiri. Kia mendudukkan diri pada kursi yang jaraknya tidak jauh dengan kasur yang di tidurkan oleh Erick.

"Gue boleh ikut lo ke Bekasi besok pagi, gak?" tanya Kia seraya berputar-putar di atas kursi gaming. Namun Erick bukannya menjawab, ia malah mendengkur keras membuat Kia merasa kesal dan beralih duduk di atas punggung Erick yang tertidur tengkurap lalu mengubah posisinya menjadi tertidur di atas Erick.

"Gue mau ikut ke Bekasi, besok juga gue prepare barang abis itu gue tunggu lo di mobil." Kia bergegas berjalan keluar dari kamar Erick.

"Bodoamat, paling gue tinggalin lo di pasar Induk," celetuk Erick. Kia mendengar itu seketika menghentikan langkahnya, ia berbalik tubuh melirik ke arah Erick.

"Oh, gitu? Oke, gue tinggal laporan ke Kak Putri kalo lo suka genit sama tante-tante penjaga toko sebelah. Lo gak tau kalo gue udah sekongkol sama Kak Putri?" ancam Kia sambil tertawa jahat memperlihatkan chatroom dirinya bersama Putri, pacar Erick.

CATATAN KIA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang