Di ruang tengah yang tenang, Erick dengan seksama membaca halaman demi halaman naskah yang ditulis oleh Kia. Alisnya sesekali berkerut, menandakan ia sedang berkonsentrasi penuh. Jemarinya sesekali mencoret-coret di sela-sela teks, membubuhkan catatan dan saran perbaikan.
Kia duduk di kursi di hadapan Erick, menunggu dengan was-was. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya, tanda ia sedang gugup menanti hasil koreksi atas karyanya. Matanya sesekali melirik ke arah Erick, mencoba membaca ekspresi wajahnya.
Suasana di ruangan itu terasa sedikit tegang, namun juga penuh konsentrasi. Erick terus membaca dengan seksama, sesekali mengangguk-angguk atau mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. Kia berusaha menjaga ketenangan, mencoba menerima masukan apa pun yang akan diberikan Erick.
Setelah beberapa saat, Erick mengangkat kepalanya dan menatap Kia. Ia mulai menyampaikan komentar dan saran perbaikan dengan nada yang profesional namun konstruktif. Kia mendengarkan dengan saksama, mencatat hal-hal penting yang perlu diperbaiki dalam naskahnya.
Meskipun suasananya terasa tegang, keduanya berusaha bersikap profesional demi menghasilkan karya terbaik. Dengan komunikasi yang terbuka dan saling menghargai, mereka berharap dapat menyelesaikan proses koreksi ini dengan baik.
"Lumayan bagus dari sebelumnya, tapi ada beberapa typo yang lo gak perbaiki dan ada penempatan yang gak jalas namanya. Kaya di scene si bapak desa terbangun dari pingsannya itu serius lo kasih itu tempat 'Rumah' harusnya kasih keterangan tempat yang jelas, 'Ruangan tengah warga' kek. Lagian, Ki. Gue bukannya mau ngeremehin kemampuan lo sama tim lo, tapi sejujurnya buat syuting kaya gini itu sulit perizinannya. Lo mungkin bisa izin ke pemilik tempat sekitar, gimana sama penghuninya? Kalo lo beneran mau syuting di tempat ginian ya, mau gak mau harus ngancak," tekan Erick.
"Ngancak?" bingung Kia.
"Sesajen, Kiaaaa. Bekasi itu tempatnya lumayan horror, apalagi daerah Keranggan gini. Lumayan harus waspada, lo salah langkah di daerah gang Cekrok malem-malem, abis lu kena santet orang yang di buang di situ," ucap Erick.
"Buset, terus gue harus gimana?" bingung Kia.
"Sebenarnya naskah lo yang ini bagus, gue juga suka. Cuma, kayanya lo mesti ganti naskah, lo ambil yang basic tapi keren. Kaya misalnya, komedi. Lo tanya dah tuh ke Kang Asep, suruh dia minta ceritain gimana adeknya si Bedul bisa nikah," ucap Erick memberi saran.
"Asli?" tanya Kia berbahagia.
"Asli, mau nomernya?" tanya Erick.
Kia reflek melompat dari tempat duduknya lalu memeluk Erick karena akhirnya ia akan menuliskan naskah komedi. Sejauh ini dirinya sudah lama ingin sekali menulis genre komedi. Kia mencium kasar rambut Erick secara berkali-kali sampai kepala Erick terasa sakit. Namun secara tiba-tiba, ia berhenti lalu duduk di samping Erick untuk menantak sesuatu.
"Tapi, kalo lo tau kenapa enggak lo aja yang cerita? Gue gak enak sama Kang Asep udah nyusahin terus," ucap Kia.
"Kang Asep sebelumnya bilang, kalo dia emang suka berbagai cerita. Dia juga ngerasa bahagia cerita yang dia kasih ke orang-orang itu jadi berharga, Kang Asep sendiri yang bilang kalo Kia butuh bantuan buat minta cerita lain tinggal telepon Kang Asep. Katanya, dia emang suka cerita sama Kia," ucap Erick sekaligus menceritakan isi obrolan dirinya bersama Kang Asep sebelumnya melalui chat.
"Aaaaa, Kang Asep. Yaudah, Bang, kirim nomer Kang Asep sekarang ke nomor Kia." Kia segera beranjak menghampiri ponsel miliknya di sofa sebelumnya yang diduduki oleh dirinya.
Kia mendapatkan notifikasi chat dari Erick yang membagikan nomor Kang Asep kepada Kia yang langsung membalas chat Erick 'terimakasih' lalu berjalan menghampiri kamarnya dengan fokus pada ponselnya mengirim pesan kepada Kang Asep seraya membawa kertas naskahnya.
KANG ASEP
Kang, ini Kia.
Tampaknya belum kunjung dibalas mungkin sedang sibuk. Akhirnya beberapa menit kemudian, Kang Asep menelepon Kia, Kia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu mengangkat telepon dari Kang Asep dengan begitu semangat seraya santai merebahkan tubuhnya.
"Halo! Assalamu'alaikum, Neng Kia," ucap Kang Asep melalui telepon.
"Halo, Kang. Walaikumsalam," jawab Kia.
"Tadi Erick nelepon katanya Kia teh ganti naskah terus mau angkat komedi. Tapi kata Erick, Kia mau cerita adeknya Kang Asep alias si Bedul?" tanya Kang Asep.
"Boleh, Kang. Kia juga udah bingung mau gimana," jawab Kia.
"Siapin buku catatan kamu, Kang Asep mau mulai cerita," ucap Kang Asep yang segera dilakukan oleh Kia. Ia menyiapkan pulpen beserta buku catatannya.
"Udah, Kang." Kia yang segera bersiap.
"Jadi gini, sebut aja si Bedul. Nama asli dia sebenarnya Abedul. Jadi ceritanya si Bedul itu paling takut sama yang namanya sunat, dari kecil sampe udah usia 25 tahun selalu masih berpikir takut di sunat. Tulis aja di scene awal si Bedul yang lagi naik pohon tiba-tiba enaknya teriak manggil namanya 'Bedulll', jatoh tuh disitu gara-gara kaget enyaknya teriak. Si bedul bangun terus bilang 'Apa, sih, Nyak!' anggep aja Betawi. Enyaknya jawab gini 'Elo kapan gedenye, bukannye ngapain-ngapain biar bantuin enyak. Malah naik-naik pohon rambutan kaya bocah kecil'. Nah, biar seru tambahin aja si Bedul ini lagi naik pohon sama bocah kecil yang ngeliatin dari bawah kaya teriak-teriak sambil nunjuk terus bilang 'itu tuh, itu tuh' semacam ngarahin si Bedul manjat pohon dari bawah. Kebayang?" tanya Kang Asep memotong ceritanya.
"Kebayang, Kang," jawab Kia.
Kang Asep kembali meneruskan ceritanya arah awal sampai akhir cerita yang mungkin lumayan bagus untuk di buat naskah karena cerita ini sendiri di rekomendasikan oleh Erick langsung kepadanya. Setelah itu, Kia berterimakasih banyak kepada Kang Asep karena sudah mau memberikan cerita terbarunya untuk dirinya membuat naskah tugas film sekarang ini juga karena sepertinya Kia akan kembali bergadang menulis naskah terbaru.
Kia mematikan telepon dari Kang Asep, lalu melihat-lihat catatan miliknya yang lumayan berantakan dan sulit dimengerti oleh dirinya sendiri. Tapi Kia tidak menghiraukannya, ia mulai menghampiri meja belajarnya dan menduduki tubuhnya.
Laptop sudah terbuka di hadapannya. Dengan cekatan, ia mulai mengetikkan kata demi kata, membentuk sebuah naskah. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, seolah-olah telah terbiasa dengan ritme penulisan.
Sesekali, Kia melirik ke arah buku catatan yang terbuka di samping laptopnya. Halaman-halaman penuh dengan coretan dan catatan, menjadi panduan bagi alur cerita yang akan ia tuangkan.
"Oke, bagian ini harus dihubungkan dengan adegan selanjutnya," gumam Kia sambil mengetik dengan cepat.
Matanya terfokus pada layar laptop, sesekali mengernyit saat menemukan kalimat yang perlu diperbaiki. Namun, ia tidak kehilangan momentum, terus menulis dengan lancar.
Suara ketikan keyboard memenuhi ruangan, mengiringi konsentrasi Kia yang tenggelam dalam proses kreatifnya. Ia berusaha keras untuk mengikuti alur yang telah ia rancang sebelumnya, agar naskah yang ia tulis dapat mengalir dengan baik.
Sesekali, Kia menghela napas panjang, lalu kembali fokus pada layar laptop, melanjutkan penulisan naskahnya dengan penuh semangat agar cepat kelar dan bergadang tidak sampai subuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN KIA [TERBIT]
RomanceSaskia Belani dengan nama panggil Kia bertemu dengan Mahesa, seorang pemuda yang mengajaknya mengelilingi kota Bekasi demi mencari inspirasi untuk membuat ide cerita naskah. Perjalanan penuh cerita beserta lingkungan yang baik nyaris membuat Kia tid...