13. Urban Legend

30 27 10
                                    

Siang itu, Mahesa duduk santai di bangku kayu di sudut tongkrongan favoritnya. Gitar kesayangannya berada di pangkuannya, jemarinya dengan lincah memetik senar-senar, menciptakan alunan melodi yang indah.

Di sampingnya, Kia duduk dengan senyum merekah, menikmati permainan gitar Mahesa. Sesekali ia ikut bersenandung mengikuti irama lagu yang dimainkan Mahesa. Keduanya tampak larut dalam suasana santai di siang hari itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat. Mahesa dan Kia menoleh dan mendapati Kang Asep berjalan menghampiri dengan senyum lebar.

"Assalamu'alaikum," ucap Kang Asep mengucapkan salam seraya berjalan  duduk bergabung dengan mereka.

"Walaikumsalam," jawab Kia dan Mahesa secara bersamaan, lalu mencium tangan Kang Asep selaku yang tertua di tongkrongan ini.

Kang Asep melihat kamera di atas meja, kamera tersebut milik Mahesa yang baru saja diambil dari Agsa. Kang Asep membuka penutup lensa, menyalahkan kamera dan mulai setting fokus kamera serta ISO yang digunakan.

Kang Asep memfokuskan kamera kepada Kia, ia mulai mempotret wajah Kia dengan menekan tombol potret pada kamera tersebut. Kang Asep tersenyum setelah memfoto Kia tanpa di sadari, ia melihat foto tersebut dan mengsingkronkan pandangan Kia ternyata dirinya sedang menatap Mahesa yang tengah bermain gitar.

Kang Asep perlahan memundurkan kursinya, ia sengaja agar dapat memfoto momen ini dengan keduanya masuk dalam kamera.

Cekrek!

Kia menoleh ke arah Kang Asep yang belum sadar juga bahwa sedari tadi Asep memotret keduanya. Kia mulai bertanya sesuatu tentang genre apa yang akan dirinya ambil untuk menjalani projek lalu membawa perbincangan memancing-mancing agar Asep memberikan cerita bagus.

"Kang Asep, kalo misalnya Kia bikin naskah film genre horor, nih, misalnya. Kira-kira Kia bagusnya angkat cerita tentang apa, Kang?" tanya Kia.

Belum sempat menjawab, suara kericuhan motor beserta anak-anak muda datang menghampiri tempat ini. Mereka adalah Rendi, Jidan, Agsa, Arkan dan Riki yang datang membuat suara kegaduhan.

"Assalamu'alaikum!" ucap semuanya secara bersamaan termasuk Arkan dan Agsa sebagai non muslim namun terbiasa dengan segalanya dan tetap toleransi.

"Walaikumsalam," sahut Kia, Mahesa serta Kang Asep.

"Eleh-eleh, si Mahesa geus ngajedok di dinya?" ucap Rendi.

"Teuing, urang keur gak mau di rumah euy. Sien di suruh neangan jukut liar," ucap Mahesa yang katanya dirinya tidak ingin berada di rumah karena takut di suruh mencari rumput liar.

"Kunaon anyink?" tanya Arkan bingung.

"Pacar urang, si Nanda. Ulang tahun katanya mau punya hewan peliharaan yang lucu buat nemenin dia gabut. Kan, urang biasanya di mirip-miripin sama kambing. Nya, jadinya urang beliin kambing supaya inget terus ke urang," ucap Riki dengan bangga tersenyum. Karena sebenarnya Nanda dan Riki sejauh ini sudah menjalani hubungan berpacaran.

"Oh, jadi sia yang beliin adik urang kambing?!" pekik Mahesa terkejut karena dirinya cuma ngira kalo kambing tersebut di belikan oleh ayahnya.

"Iya atuh. Aa ipar jangan terkejut gitu," ucap Riki seraya mencium tangan Kang Asep lalu melakukan tos tangan bersama Kia dan Mahesa sendiri. Begitupun dengan yang lain, mereka mencium tangan Kang Asep beserta melakukan tos tangan.

"Lain gitu, bujang. Di mana-mana hewan lucu yang di maksud awewe itu sejenis sama ucing, kelinci, marmut. Bukan embe!" Mahesa mengkerutkan alisnya yang tidak bisa dikontrol. Bukan karena dirinya marah, melainkan berfikir keras bagimana Riki bisa membelikan Nanda kambing sebagai hadiah ulang tahun sedangkan kambing harganya begitu mahal dan sulit untuk merawatnya.

CATATAN KIA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang