05. Kurang lebih

52 66 46
                                    

"Iya," jawab Kia seraya tersenyum.

Rendi menganggukkan kepalanya mengetahui bahwa Kia adalah adik Erick sekaligus wanita yang pernah di ceritakan oleh Mahesa saat dirinya bermain ke rumah Mahesa ketika Mahesa sedang membuat buku untuk Kia.

Mahesa menghembuskan asap rokok ke atas agar tidak mengenai Kia. Mahesa menatap wajah Rendi yang tengah sibuk mencari kunci gitar melalui ponsel.

"Kang Asep ke mana?" tanya Mahesa seraya memputar-putar rokoknya.

"Di dalem, lagi buat video sambil nyanyi, biasa." Rendi masih sibuk menggeser layarnya terus ke bawah sampai ketemu.

"Ari barudak?" tanya lagi Mahesa.

"Ari barudak ngikut-ngikut Arkan kondangan. Ceunah, barudak udah lama kagak makan makanan hajatan, jadinya mereka ngikut terus pura-pura jadi tamu undangan," jawab Rendi.

"Naha sia teu ngilu?" celetuk Mahesa membuat Rendi akhirnya menoleh ke arah Mahesa.

"Nah, itu dia, Sa. Urang di tinggalkeun pas boker," kesal Rendi lalu menggelengkan kepala.

"Kaga usah sedih, besok kita ke tempat hajatan," ucap Mahesa seraya menghembuskan asap rokok ke atas.

"Saha nu nikah?" tanya Rendi penasaran.

"Anjing urang jeung anjing mamang urang," jawab Mahesa tanpa ekspresi sedikit pun. Rendi hanya bisa pasrah setiap kali berbicara kepada Mahesa karena selalu saja seperti ini saat dirinya sedang serius.

"Anyink... Aya-aya wae sia, kehed!" pekik Rendi. Mahesa hanya tertawa kecil lalu menggelengkan kepala.

Tidak sampai hitungan menit, Asep teman tongkrongan selaku tertua di sini namun tidak bisa meninggalkan jiwa mudanya. Meskipun sudah menikah, ia terkadang selalu datang ke tempat ini minimal sehari sekali. Itupun berlaku selama berjam-jam dirinya berkunjung. Tempat ini sudah seperti rumahnya sendiri, ia rawat sepenuh hati, tidak perduli sendiri atau berramai-ramai.

"Mahesa, ke mana wae?" ucap Kang Asep tiba-tiba berteriak setelah melihat Mahesa. Mereka saling menghampiri, Mahesa mencium tangan Kang Asep.

"Gimana kabarnya?" lanjut Kang Asep.

"Baik, Kang. Cuma dompet doang ini kurang damang," ucap Mahesa.

"Atuh, dompet saya juga kurang damang," ucap Kang Asep.

Mahesa berjalan kembali pada tempat duduknya sebelumnya, sedangkan Asep menghampiri Kia yang hanya terdiam canggung. Ia tidak terbiasa berada di tempat seperti ini, ia hanya bisa terdiam dengan bola matanya yang terus melirik ke sana kemarin.

"Kia?" tanya Asep seraya menunjuk menebak-nebak.

"Iya, Kang." Kia yang ikut mencium tangan Asep seraya tersenyum.

Sambil tertawa, Asep mendudukkan dirinya di kursi pertengahan antara Kia dan Rendi. Tempat duduk yang benar-benar berada di bawah pohon.

"Ren, sok bikin kopi. Biar gue yang mainin gitar," ucap Asep seraya mengambil gitar dari Rendi.

"Kopi hideung tiga, terus Neng Kia teh manis atau ngopi juga?" tanya Rendi menawarkan sesuatu kepada Kia.

"Nggak usah, kurang suka kopi juga," ucap Kia menolak.

"Siap, air putih aja berarti." Rendi yang segera beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri saung yang berada dalam masih satu halaman, ternyata itu seperti semacam dapur.

"Mahesa, kamu ngegitar. Biar gue sama Kia yang nyanyi," kata Asep memberikan gitar kepada Mahesa.

"Kacaw, gue nggak bisa nyanyi!" batin Kia.

"Lagu apa?" tanya Mahesa sambil memainkan senar gitar.

"Lagu apa, Kia?" tanya Asep menatap Kia membuat Kia semakin bingung harus bagaimana.

"Kang Asep aja, Kia yang dengerin. Lagi mau denger Kang Asep nyanyi solo," ucap Kia memberi alasan.

"Okey, kalo gitu. Bongkar, mainkan," pinta Asep.

Mahesa segera memainkan lagu 'Bongkar' milik Iwan Fals. Ia mulai pembukaan dengan intro yang sesuai dengan kunci gitarnya yang lancar.

"Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan."

Rendi  datang membawa kopi menggunakan nampan, ia segera ikut bernyanyi.

"Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar."

Lalu setelah itu Asep kembali nyanyi seorang diri lagi.

"Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang."

Di lanjut oleh Mahesa dan Rendi.

"Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar."

Terus seperti itu sampai nyanyi usai, Kia bertepuk tangan sebagai bentuk pujian untuk mereka semau. Asep segera meminum kopi miliknya, ia tampak menikmatinya.

"Kia, Kang Asep ini orang yang keren. Dia terkadang suka menciptakan lagunya sendiri, bahkan dia sendiri pernah menciptakan lagu For Palestina. Aku ngajak kamu ke sini buat ketemu Kang Asep bapak-bapak gaul gini yang siapa tau bisa buat kamu ngebangun ide cerita film kamu," ucap Mahesa kepada Kia. Kia mengangguk mengerti dengan ucapan Mahesa.

Asep kembali menaruh segelas kopinya di atas meja berhadapan dengannya, ia menoleh ke arah Kia untuk berbicara.

"Emang tema film Kia tentang apa?" tanya Asep.

"Bebas, Kang. Kia juga bingung mau bikin naskah tentang apa lagi, makannya Kia selalu bawa buku catatan punya Kia supaya kalo misalnya Kia terinspirasi dari sesuatu tinggal tulis abis itu mulai rancang naskah." Kia setelah itu meminum segelas air putih miliknya yang telah di suguhkan oleh Rendi.

"Nah, nyari inspirasi itu susah. Makannya, hidup itu beruntung jika kita suka kopi. Karena ibaratnya, kopiku adalah inspirasiku. Ya...  Setidaknya teh manis hangat," ucap Asep, jelas.

"Ouh, gitu, Kang. Besok Kia coba buat nyobain minum kopi," ucap Kia.

"Nah, kitu atuh. Tapi inget, jangan terlalu sering, terus juga kalo malem jangan minum kopi hideung. Nanti nggak bisa sare," ucap Asep, dan Kia mengangguk mengerti.

"Buat aja yang basic dulu, kaya misalnya film anak sama ibunya nanti dibikin dramatis-dramatis biar ada bumbu sedihnya. Atau kalo nggak tentang remaja yang ternyata pemakai narkoboy. Yang kaya gitu-gitu aja dulu, cuma ini selain tentang cerita tapi juga tentang bagaimana tim produksi kamu mengemas filmnya dengan rapih. Butuh kerjasama yang kuat, gitu aja dulu mungkin pemasukan dari Kang Asep," ucap Asep.

"Iya, gitulah, Kang. Kurang lebihnya kelompok, kadang tim itu selalu pengen alur cerita yang wah gitu. Padahal, film yang basic aja belum tentu tau cara mengemasnya dengan baik itu gimana," ucap Kia seraya menanyunkan bibirnya.

"Mungkin kamu butuh diskusi lagi sama tim kamu. Tapi Kia tenang aja, Mahesa bakal bawa Kia ke tempat-tempat bagus lainnya menurut Mahesa," ucap Mahesa membuat Kia tersenyum dan mengangguk.

Mereka saling berbincang memberi masukan-masukan khusus kepada Kia, membantunya dalam membangun sebuah ide cerita. Sesampai di mana waktu terus berjalan, malam pun tiba, mereka bersiap pergi menuju sebuah live music.

CATATAN KIA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang