Terik matahari menyorot tajam melalui jendela dapur, menyinari ruangan dengan cahaya hangat. Aroma menyengat di hidup benar-benar tercium tidak nyaman berasal dari halaman belakang tepatnya ketika Mahesa membuat umpan untuk memancing malam ini.
Sudah tersedia beberapa bahan khusus atau bisa dibilang bahan tersembunyi seperti racikan umpan yang begitu ampuh untuk menarik ikan memakan umpan tersebut. Umpan kali ini Mahesa membuat racikan seperti; usus ayam dicampur minyak biyawak yang Mahesa ambil tiga hari yang lalu, diblender sampai halus. Setelah itu Mahesa menghaluskan mie empat bungkus menggunakan blender sebagai pengeras adonan umpan, lanjut keduanya seperti adonan usus dan mie dicampurkan dalam satu wadah. Tidak lupa, Mahesa menambahkan essen daging sebagai penutupan tata cara membuat umpan terampuh setelah umpan daging biyawak.
Meskipun memerlukan waktu dan perjuangan hidung melawan aroma tak sedap, ini adalah cara yang harus Mahesa lakukan. Lagipula, hal seperti ini masih belum ada apa-apanya bagi Mahesa ketimbang memasak daging biyawak yang baru saja memakan sesuatu sampai bau bangkai menyebar ke seluruh ruangan.
Ibu jari dan telunjuk dengan cekatan mengaduk adonan, menciptakan tekstur yang pas untuk umpan. Lalu kembali menguleni hingga adonan menyatu dengan sempurna dan merata sampai siap untuk digunakan.
Suara gemerisik daun yang tertiup angin lembut terdengar dari luar, bersahutan dengan kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan pohon. Sesekali terdengar suara anak-anak yang sedang bermain di halaman, tawa riang mereka memenuhi suasana siang yang tenang. Kia hanya bisa memperhatikan bagaimana Mahesa membuat adonan tersebut dengan begitu detail, bahkan dirinya tampak senang membuatnya.
Setelah adonan umpan selesai dibuat, Mahesa memasukkan umpan tersebut pada wadah khusus dan di bungkus dengan plastik hitam seperti biasanya.
"Udah selesai?" tanya Kia seraya menutup hidungnya dari adonan itu karena usus yang dipakai sudah benar-benar bau.
"Udah. Mahesa mandi dulu baru siap-siap kita mancing abis Isya. Sekarang kita makan dulu, ibu udah masak banyak," ucap Mahesa meninggalkan Kia masuk ke dalam rumah untuk segera bersiap-siap.
Kia menatap umpan tersebut penuh keanehan, ia perlahan membuka hidungnya yang mungkin awalnya Kia merasa ingin muntah, namun lama-lama terbiasa dan tidak terlalu menyengat di hidungnya.
Kia kemudian bergegas memasuki rumahnya dan bertemu dengan ibu Mahesa tengah menonton TV di tengah rumah bersama Nanda dan Layla.
"Eh, Kia. Sini nonton TV bareng, Neng. Si Mahesa mah jorok, dia kalo udah bikin umpan pancing pasti apa aja resepnya," ucap Ibu Mahesa atau nama asli adalah Yati.
Kia mendudukkan tubuhnya di samping Nanda dengan Layla tengah bermain HP di bawah sofa.
"Iya, tante. Aku kira bikin umpan mancing itu cuma pake pelet biasa," ucap Kia.
"Enggak, Neng. Mahesa mah kadang suka ngerebus daging biyawak, biyawaknya aja itu hasil tangkep dia sendiri, dia ngejebak di Bumi Eraska katanya. Terus kadang dia bakar kadal buat umpan, usus ayam, cacing. Cacingnya juga hasil dia nyari di kotoran sapi. Itu, kan, ada Gang khusus Block Sapi. Rata-rata yang tinggal di sana melihara sapi. Nah, Mahesa kadang suka nyari cacing dari kotoran sapi itu," ucap Yati bercerita dengan ekspresi jijik.
"Aku lebih gak kuat kalo misalnya dia rebus daging biyawak yang bau bangkenya kuat banget. Asli inimah," ucap Nanda sama seperti Yati, menampilkan ekspresi menjijikkan.
"Jangan dengerin, Ki. Emang lebay, apalagi dia, noh. Lebay parah," celetuk Mahesa tiba-tiba datang seraya memakai baju dan menunjuk-nunjuk Nanda yang langsung menaikan alis kirinya kepada Mahesa.
"Ulah ngebacot wae sia!" pekik Nanda marah.
"Heh, udah jangan berantem," ucap Yati.
Mahesa dan Kia mencium tangan Yati untuk segera pergi ke tempat pemancingan Ampel yang tidak jauh dari sinj, tidak dekat juga dari sini. Tepatnya Ampel melewati pasar Keranggan dan jaraknya dekat dengan SMP 28 Bekasi. Mahesa ke belakang rumah sejenak mengambil umpan, lalu pergi ke luar.
"Beli makan di luar aja, ya?" tanya Mahesa yang dijawab anggukan karena sudah tidak memiliki waktu banyak lagi.
"Hati-hati, Teh Kia. Mahesa buaya!" teriak Nanda dari dalam.
Mahesa hanya tertawa seraya berbicara menggunakan mulut tanpa suara, berbicara 'bohong' sebanyak dua kali seraya menggalang kepala membuat Kia mengerti. Mahesa mengeluarkan motor dari gerbang rumah, Kia menutup gerbang rumah lalu menaiki kendaraan yang sudah dikeluarkan oleh Mahesa.
Sambil menggendong tas pancingan, mereka mulai berjalan menempuh jalan dan tempat yang mereka tempuh. Mahesa sesekali bercerita tentang bagaimana dirinya mulai memiliki hobi memancing seperti ini.
"Awalnya aku iseng-iseng ikut bapak mancing bareng sama temennya yang rasanya udah kaya sodara sendiri. Dulu itu hampir setiap hari nyari umpan bareng, motong-motong kaya dalemnya kerang yang biasa di jual di gerobak gitu. Tapi versi gedenya. Terus cincang usus ayam sampe halus banget, cuma keasikan semuanya berhenti gitu aja. Semenjak temen bapak ini terkena penyakit TBC, dan udah parah banget, bahkan di akhir hayatnya aja, dia gak mau makan kalo bukan bapak yang suapin. Bapak juga ngerasa gagal banget ngeliat kondisi temennya yang lumayan parah tapi dia sendiri gak tau kalo bakal separah ini. Posisinya almarhum udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi, udah pake pempres khusus orang dewasa terus makan juga nggak langsung ke perut. Tapi nyangkut di tenggorokan, akhirnya malam itu jadi hal berduka kami semua. Karena almarhum sudah tiada, bapak jadi berhenti mancing karena itu." Mahesa mulai terdiam dengan bola mata berkaca-kaca menahan air mata.
"Apa ada barang peninggalan almarhum?" tanya Kia seraya perlahan memeluk Mahesa dari belakang lalu mengusap dada Mahesa.
"Ada, itu pancingan kesayangan almarhum. Cuma sayangnya almarhum ganggu keluarga kita terus, kaya munculin suara teterkan piso motong-motong usus pake talenan plastik di belakang rumah. Udah kejadian tiga malam lebih, akhirnya bapak ngasih pancingan punya almarhum ke teman satu pemancingan. Anehnya mereka nggak pernah ngerasa ada teror sedikitpun, emang kenyataannya almarhum kangen mancing sama bapak kali, haha... " Mahesa tertawa kecil seraya menggelengkan kepala.
"Terus keadaan keluarganya?" lanjut Kia bertanya.
Mahesa terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kia, ia kembali bersedih secara tiba-tiba setelah sedikit tertawa tadi.
"Mereka tinggal di belakang rumah Mahesa, almarhum punya adik bersama ibu dan tinggal juga bersama ayah tiri. Semenjak kejadian itu, penyakit almarhum menular kepada sang adik yang bernasib sama. Begitupun dengan ibunya, dia juga bernasib sama. Terkecuali ayah tirinya, yang kini sudah di rawat oleh anak kandungnya di jalan Matador sana," kata Mahesa dengan tatapan fokus pada jalan.
Kia hanya bisa mengangguk mengerti dan ikut bersedih, perasaannya tidak enak karena telah menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. Perjalanan terus berjalan, sampai mereka memasuki jalan dengan kedua sisi danau dan empang.
Jae:
"Cast selanjutnya besok ya teman teman, hari ini author belum sempet nyari fotonya soalnya lagi buru-buru. Author nya mau pergi mancing sama bapaknya ehehehew."
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN KIA [TERBIT]
RomanceSaskia Belani dengan nama panggil Kia bertemu dengan Mahesa, seorang pemuda yang mengajaknya mengelilingi kota Bekasi demi mencari inspirasi untuk membuat ide cerita naskah. Perjalanan penuh cerita beserta lingkungan yang baik nyaris membuat Kia tid...