14. Uang Logam

21 25 3
                                    

Senja perlahan-lahan menyapa, mewarnai langit dengan gradasi jingga yang indah. Kia, Mahesa, Kang Asep dan teman-teman mereka masih betah berkumpul di tongkrongan favorit. Obrolan seru terus mengalir, diiringi tawa dan canda yang menandakan keakraban di antara mereka.

Saat matahari mulai tenggelam, lampu-lampu di sekitar tongkrongan mulai dinyalakan, menciptakan suasana temaram yang hangat dan nyaman. Aroma kopi dan makanan ringan menguar, menggoda indra penciuman. Sesekali terdengar dentingan gelas dan suara gitar dimainkan oleh Mahesa beserta nyanyian secara bersamaan dengan yang lainnya.

Meski hari semakin larut, mereka enggan untuk segera beranjak pulang. Kebersamaan di tempat ini seolah menjadi candu yang sulit ditinggalkan. Tawa dan obrolan semakin hidup, seolah tak mengenal waktu. Suasana di tongkrongan itu terasa begitu akrab dan menyenangkan.

Perlahan-lahan, malam menyelimuti kota, namun Kia, Mahesa, dan teman-teman mereka masih betah berlama-lama di tongkrongan, menikmati kebersamaan yang terasa begitu berharga.

Kia tampak masih fokus mengetik naskah agar cepat selesai, sesekali melihat buku catatan miliknya yang sudah mencatat segala alur ceritanya di dalam buku catatan tersebut.

"Udah malem gini apa Erick nggak nyariin?" tanya Mahesa seraya terus memainkan gitar.

"Aman," jawab Kia dengan kedua bola mata yang sebelumnya fokus pada layar laptop kini menatap sejenak pada Mahesa.

Setelah itu Kia mengembalikan matanya terpaku pada layar laptopnya kembali. Jemarinya dengan cekatan mengetik, mencurahkan seluruh perhatiannya pada naskah yang sedang dibuatnya. Sementara itu, di sisi lain ruangan, Mahesa dan teman-temannya asyik bernyanyi dan bercanda. Suara tawa dan alunan musik memenuhi ruangan, namun Kia tampak tidak terganggu justru menjadi bahan dirinya lancar berimajinasi karena lagunya membuat Kia bahagia.

Ia terus tenggelam dalam pekerjaannya, berusaha menuliskan ide-ide brilian yang memenuhi pikirannya. Sesekali ia menghela napas, lalu kembali mengetik dengan penuh konsentrasi. Baginya, menyelesaikan naskah ini adalah prioritas utama saat ini. Ia tak ingin tergoda oleh keramaian di sekitarnya meskipun terkadang ikut bernyanyi saat otaknya berhenti berimajinasi, walupun seharusnya ia tetap fokus pada tujuannya.

Meskipun suasana di sekitarnya terasa begitu hidup dan menyenangkan, Kia memilih untuk tidak bergabung. Ia tahu bahwa waktunya saat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dengan tekad yang kuat, ia terus bekerja, mencurahkan seluruh kemampuannya untuk menghasilkan naskah terbaik.

"Aing heran kadang, ningali Mang Abuy kunaon kasep pisan. Dari jaman aing babaturan sama maneh, Mang Abuy teh tetep kasep dan awet muda," ucap Arkan kepada Mahesa yang terdengar oleh semunya.

"Tingali heula gimana anaknya, anaknya aja kasep pisan teu ke tolongan," jawab Mahesa dengan bangganya.

"Buset, goreng pisan maneh. Masih lebih kasep sapi bapak urang," ucap Arkan membuat semuanya terkecuali Kia tertawa kecil sambil menggeleng kepala.

Dengan kondisi sakit perut dan masuk angin, Agsa keluar dari kamar mandi dengan langkah yang terlihat tidak nyaman. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan, membuat semua orang di sekitarnya menoleh ke arahnya dengan pandangan khawatir.

Agsa berjalan perlahan, memegangi perutnya yang terlihat kembung. Langkahnya terlihat berat dan terbatas, menandakan betapa tidak nyamannya ia saat itu. Agsa mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi.

Situasi ini menciptakan suasana yang sedikit tegang, namun semua orang di sekitar Agsa berusaha untuk membantunya dan memastikan bahwa ia segera mendapatkan perawatan yang diperlukan.

"Aya duit seribu logam teu?" tanya Kang Asep kepada semuanya.

"Aya!" pekik Jidan yang langsung bergegas mengambil minyak goreng pada piring kecil lalu menaruh uang seribu logam itu kepada minyak di atas piring tersebut lalu diberikan kepada Riki.

Riki segera mengambil yang diberikan oleh Jidan dan mulai mengangkat baju belakang Agsa. Ia mulai menyentuhkan minyak pada kulit Agsa seperti garis lurus ke bawah, Riki mulai mengkerok punggung Agsa agar sembuh sampai berwarna merah.

Riki salah satu orang yang mengerti tentang seperti urut mengurut beserta pijat memijat yang benar karena ia memiliki mamang berprofesi sebagai tukang urut yang memiliki seribu jampe.

"Aduhhh... Sakit, rasanya kaya lagi dikerokin pake pisau!" ucap Agsa merintih kesakitan.

"Berarti tandanya itu ada penyakitnya. Lagian, maneh kalo masuk angin minta tolong orang kek buat dikerokin, masuk angin itu bahaya betul. Apalagi anginnya angin duduk," gumam Riki kepada Agsa.

"Emang kunaon kalo angin duduk?" tanya Agsa.

"Takutnya duduk kenyamanan di badan maneh, nanti kalo nyaman terus nggak mau pergi dari badan maneh gimana?" jawab asal Rendi.

"Ya, bagus. Jadi manusia pengusaha angin, siga Avatar!" celetuk Arkan tertawa setelahnya.

"Enggak gitu atuh," ucap Riki.

Beberapa saat kemudian akhirnya Riki telah selesai mengkerok dan memijat beberapa bagian membuat Agsa terasa lega setelah sakit perut yang membuat perutnya melintir. Riki menaruh uang logam tersebut di atas meja menggeletak.

"Duit logam kaya gitu ibaratnya duit yang berjuta-juta. Kunaon? Soalnya sejauh ini urang tingali kalo ada yang masuk angin pasti minta dikerok, ada yang haid gak ketolong sakitnya kadang ada yang minat dikerok, ada yang sesek napas dan sebagainya minta dikerok. Kalo di dokter udah ngeluarin uang berjuta-juta buat sekaligus langsung sembuh. Itu sebabnya uang logam seribu ini uang logam seharga jutaan. Ya, meskipun sebenarnya dikerok itu nggak baik," kata Kang Asep seraya meminum kopinya.

"Iya, Kang. Urang kalo pergi ke dokter suka takut, soalnya sodara urang kena santet pas cek ke dokter katanya teh itu kanker. Pas di bawa ke orang pinter bukan kanker, tapi kena santet dari orang lain," ucap Arkan.

"Sebenarnya mah hoki-hokian, ada yang bener ada juga yang enggak bener. Waktu jaman corona juga ibu urang ngecek ke dokter soalnya pengen muntah-muntah terus, pas di cek katanya teh kena corona. Padahal mah numbuh bibit di dalem perut, alias hamil," kata Mahesa seraya sibuk memetik gitar.

"Anjirr, gacor euy Mang Abuy!" teriak Jidan seraya tertawa sedikit kegirangan.

"Iya atuh, kalo gak gacor moal ini punya anak sekasep urang." Mahesa tertawa membuat semuanya ikut tertawa.

Kia menoleh ke arah Mahesa tertawa tips. Sambil mengobrol-ngobrol panjang menemani Kia, akhirnya naskahnya telah selesai di kemas dengan rapih. Kia menulis scene by scene meskipun ada beberapa kesalahan seperti typo atau sebagainya.

Kia mulai menyimpan dokumen tersebut lalu memindahkannya ke dalam satu file bernamakan 'Tugas Film'. Saat itu Kia mulai ikut bercanda tawa bersama semuanya. Menghabiskan waktu dengan berbagai cerita termasuk Kang Asep yang memang sudah memiliki berbagai cerita begitu luas dari mulai horror sampai yang ke komedi beserta genre lainnya.

CATATAN KIA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang