021.

528 45 0
                                    

Duduk bersimpuh…

Rumah mewah itu…

PLAK!! 

Suara tamparan itu terdengar dan terasa perih di pipiku. Tangan itu begitu ringan menghajar wajahku hanya karena aku tak bisa memenuhi ekspektasinya untuk yang kesekian kalinya–ya, itu tangan wanita yang selama ini kuanggap paling berjasa di hidupku–ibuku atau mungkin lebih tempat kupanggil ibu tiriku. 

Aku tahu dan sadar diri bahwa aku hanyalah anak adopsi. Ibuku meninggal ketika melahirkanku. Ibu tiriku lalu mengambilku guna menjadikanku pancingan agar Ia memiliki anak, namun semuanya sia-sia. 

Dari mana aku mengetahui semuanya? tentu saja darinya sendiri. Karena tak kunjung memiliki anak, maka aku yang Ia jadikan boneka demi mendapatkan keinginannya untuk membesarkan bisnisnya dengan menikahi Pramana Hermanto setelah kepergian suaminya. Setiap kali kesal padaku, Dia akan selalu mengungkit hal itu–tentang bagaimana aku harus berterimakasih padanya karena Ia merawatku atau aku akan mati di jalanan.

Tapi jika boleh memilih, Aku lebih baik mati di jalanan.

Aku dilatihnya setegas mungkin agar bisa memahami dunia bisnis dan disodorkan maju untuk berbisnis dengan Pramana Hermanto. Mungkin itu alasan utama mengapa aku tak pernah bisa lepas darinya–bertahun-tahun Ia memanipulasi pikiranku bahwa aku bisa sampai seperti sekarang adalah karena dirinya. Aku tak punya pilihan lain selain tetap bekerja keras sambil mengumpulkan pundi-pundi aset independenku demi menolong diriku sendiri di masa depan jika sesuatu terjadi. 

Tiga hari sebelum kecelakaan

Hari itu, setelah mendengar rekaman yang tak sengaja terekam dari pena recorder milikku, Aku berniat untuk segera menemui Ranti. Namun nasib baik tak berpihak padaku ketika wanita itu melangkah masuk ke ruangan dengan mantan tunanganku, Maura. 

Semenjak mendengar percakapannya dengan Gian, Aku merasa jijik padanya dan pada diriku sendiri ketika teringat momen mesra kami. Bahwa ketika kami bercumbu yang muncul dalam kepala Maura adalah Gian, bukan aku.

"Mau kemana kamu?" 

"Ada urusan," ucapku singkat sambil berjalan melewati mereka begitu saja. Hari itu, Aku merasakan amarah yang tak biasa pada siapapun yang berada di sekitarku. 

"Bimo! Maura udah bela-belain dateng ke sini buat makan siang sama kamu! Gimana kalo Papa kamu–"

"HE'S NOT MY DAD!" Ucapku refleks meninggikan intonasi bicara membuat ibu tiriku dan Maura sontak membeku di tempat. Kuarahkan pandanganku pada Maura, "Let's break up."

"Bimo!"

"ITU JUGA YANG MAMA MAU KAN?!" balasku pada wanita itu. "Bukannya dari awal Mama emang lebih suka liat Maura sama Gian kan karena dia anak kesayangan Om Pramana, The man you love even more than me, ya karena siapa juga aku kan di mata Mama? Cuma anak nggak tau diri yang nggak pernah bisa menuhin ekspektasi Mama!"

"Bimo! Apa-apaan sih–"

"I'M TIRED OF THIS SHIT!!" balasku kesal. "Kamu mau nikah sama Gian? Silahkan, Aku udah nggak peduli lagi!"

"BIM! Kamu mau kemana sih?!" seru Maura.

Aku menoleh dan menatapnya dingin, "Kamu mau tau aku kemana? I'm going to meet my son." Raut wajah Maura sontak berubah kaget, "Puas?"

"Apa maksud–"

"Bimo punya anak, Mah," ucapku lantang. "Kalo aja aku tau lebih dulu, Kayaknya aku lebih milih tinggal sama anakku dan ibunya–"

[COMPLETED] 7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang