020.

598 44 2
                                    

Ranti perlahan membuka kedua matanya dan terdiam menatap cahaya yang menyembul dari balik sela gorden yang tertutup. Pagi baru sudah kembali datang, hari yang baru untuknya. Ia bergerak malas dalam dekapan Bimo yang masih tertidur pulas di belakangnya. 

Ranti melamun sejenak menikmati paginya yang hening dimana biasanya Ia sudah mendengar suara racauan Ray atau biasanya, Ia sudah berjibaku di dapur untuk membuatkan sarapan. Namun pagi ini, Ranti masih bisa bersantai dalam dekapan pria yang kini menjadi partner sehidup-sematinya. 

Ranti dengan hati-hati menyingkirkan lengan Bimo agar tak membangunkan pria itu. Ia terbangun lalu mengikat rambutnya dan menatap kaus kebesaran yang kini melekat di tubuhnya. Ranti menoleh menatap Bimo dan tersenyum tipis ketika teringat bagaimana semalam pria itu kembali memakaikannya baju seusai mereka bercinta. Sebuah gesture sederhana namun membuat hatinya terasa hangat.

Ranti terbangun dan membuka gorden hotel yang terarah langsung pada area kolam renang. "Ugh–" Ranti menoleh dan menahan tawa ketika melihat Bimo menggeliat malas karena sinar matahari pagi yang masuk ke dalam kamar. Namun tak lama kemudian, pria itu kembali terlelap setelah menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.

Ranti kembali melihat ke arah jendela. Dari kejauhan, Ia melihat sekelompok anak yang bermain di kolam renang yang kemudian Ia sadari bahwa mereka adalah cucu dari Pamannya yang sedang asyik berenang bersama Ray dan juga sang  Paman. Ia tersenyum melihat putranya yang terlihat bersemangat. 

Ranti pun terlelap dalam lamunannya hingga tak lama kemudian, sepasang lengan memeluknya dari belakang, "Huh?" Ia menoleh dan tertawa pelan melihat Bimo yang akhirnya terbangun, "Kok bangun?"

"You woke me up with that damn sun," gumam Bimo lalu mengecup pipi Ranti, "Good morning anyway. Ngapain deh ngelamun di sini?" 

"Nggak, lagi liat Ray berenang aja sama Om ku dan cucunya…he looks so happy."

Bimo menatap ke arah yang juga tengah ditatap Ranti, "Berarti kekhawatiran kita agak sia-sia ya? Semalem kepikiran Ray ternyata anaknya hepi-hepi aja…bakal ngambek nggak tuh nanti? soalnya Om kamu harus balik hari ini sekalian kita check out pulang?"

"Tch–semoga nggak sih," ujar Ranti kembali ke tempat tidur dan terduduk santai mengecek ponselnya.

Bimo menutup gordennya kembali setengah lalu menghampiri Ranti di tempat tidur, "Kamu mau ngapain atau mau kemana habis dari sini?"

"Let's just go home…aku mau tidur seharian…Aku capek banget."

Bimo tertawa pelan, "Apa karena semalem? Did we go that hard?"

"It wasn't that hard but I think it was the longest–longer than the last time we did it." 

"Mungkin aku terlalu menikmati momennya," ujar Bimo kembali berbaring malas dan menyalakan televisi.

"Oh iya tapi….lusa kita harus ke tunangannya Gian sama Maura."

"I know…terus kenapa?"

"Aku…aku nggak punya baju buat ke sana."

"Lho kenapa baru bilang sekarang? Tau gitu kita beli barengan sama baju nikahan–"

"Jujur aku lupa…aku udah cerita belum sih?"

"Apa?"

"Gian waktu itu datengin aku…di hari ketika daftarin nikahan kita di KUA kamu inget kah?"

"Oh! Yang pas aku ngepakin barangnya Ray buat pindahan??"

"Eum! Aku udah deg-degan banget kupikir dia tau itu kamu! Tapi ternyata nggak…aku udah minta dia untuk nggak lagi perlu nafkahin Ray. Tapi terus dia malah minta aku buat kabarin dia kalo aku butuh baju buat dateng ke pertunangan dia…"

"Terus kamu bilang apa?"

"Aku bilang nggak perlu karena pacarku bisa beliin."

"Good! Let's go shopping nanti setelah nganter om kamu ke bandara," ujarnya meraih tangan Ranti lalu mengecupnya. 

— 

Hari itu, Maura dan Gian menemani Orang tua Gian melihat persiapan venue pertunangan serta gathering dinner yang mereka adakan. 

"Tante sehat?" Tanya Maura pada ibu dari Bimo yang mendampingi suaminya yang sedang berbincang dengan Gian di depan.

"Sedikit ada pikiran tapi nggak apa-apa kok."

"Karena Bimo kah?" 

Tante Fina, Ibu dari Bimo itu pun mengangguk pelan, "Anak itu selalu buat masalah…bahkan udah kecelakaan pun masih aja nyusahin tante…Kalau aja dia mau dengerin apa kata Tante untuk jangan nyusul cewek itu–"

"Ranti maksud tante?" 

"Eum…"

"Jadi anak itu…anaknya Bimo?" bisik Maura pada Tante Fina yang mengangguk pelan.

"Atas nama Bimo, Tante minta maaf…anak itu memang nggak tahu terimakasih! Sudah dirawat susah-susah begini balasannya ke Tante!"

Maura mengernyitkan dahinya karena merasa ada yang aneh dengan ucapan Tante Fina, "Maksud Tante?" 

Tante Fina menghela nafas pelan, "Tolong jangan bilang ini sama siapapun ya Mau?"

"Eum! Maura janji!"

"Bimo itu….sebenernya bukan anak tante."

"Hah??"

"Dia dulu adalah anak sahabat lama Tante saat kami kuliah. Dia pernah ada hati ke Om Pramana. Lalu kami semua lulus dan bekerja lalu mulai membangun keluarga…dia menikah, Tante menikah dengan pria pilihan orang tua Tante.. Lalu teman tante itu meninggal setelah melahirkan dan saat itu Tante sudah didesak punya anak. Akhirnya Tante dan Suami sepakat untuk adopsi Bimo untuk pancingan tapi kita nggak kunjung punya anak dan juga nggak bisa melepaskan Bimo. Sampai akhirnya suami Tante meninggal lalu Tante ketemu lagi sama Om Pramana…" 

Maura menatap kaget Tante Fina sekaligus bersyukur bahwa Ia tak jadi menikah dengan Bimo.

"Maka dari itu Tante lebih setuju kamu sama Gian sebenarnya…tapi calon papa mertuamu itu keukeuhin jodohin kalian."

"Yaudahlah Tante, yang penting sekarang, Maura udah sama Gian…dan Bimo…dia mungkin udah tenang di sana juga. There's no way he would survive in that accident, kan?"

"Eum…kamu bener…."

"Tapi Tante nggak apa-apa kah? Takutnya nanti Tamu ngomongin Tante yang nggak-nggak…kayak anaknya nggak ada malah bikin pesta."

"Mereka tahunya bahwa polisi masih menginvestigasi. Om Pram bilang kita nggak perlu kasih statement apapun…isu itu akan reda dengan sendirinya." 

[COMPLETED] 7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang