~ Part 26 ~

417 22 21
                                    

Bagai menjadi pusat perhatian di jalan, Aizha mempercepat langkahnya. Walau ia tidak tau kemana tujuan kakinya ini akan berhenti. Tapi karena rona merah di pipinya membuat sebagian pejalan kaki saling melirik ketika gadis itu melintas. Ada apa dengan perempuan itu? Pikir mereka.

Aizha menghapus kasar setetes air mata yang lolos dari pelupuknya. Sesekali ia berbalik ke belakang berharap Verren akan menyusul. Sayangnya nihil tak ada tanda tanda sosok pemuda itu disana. Memang benar ada banyak orang disepanjang jalan itu, pejalan dan para pedagang tapi entah kenapa sore yang bising itu terasa hampa dan sunyi bagi Aizha.

Ia berhenti pada gedung tua bertingkat 3. Tempat dimana pertama kali ia bertemu dengan Verren. Kenapa semuanya seakan sengaja terus mengingatkan dirinya pada pemuda itu. Disaat ia ingin berhenti memikirkan tentang nya. Kenapa selama ini ia harus peduli pada Verren? Kenapa ia tak bisa membenci pemuda itu disaat dirinya bahkan sudah lelah dengan semua luka yang ditorehkan pemuda itu. Kenapa? Kenapa? Tolong berikan Aizha alasan agar bisa lepas dari semua ini.

Saat berada dilantai roftoop samar samar ia mendengar suara petikan gitar dari tempat itu hingga ia memutar knop pintu didepannya.

Seorang pemuda yang memainkan gitar dipinggiran balkon menoleh ketika mendengar suara decitan pintu terbuka. Matanya beradu pada mata Aizha yang sembap, tersirat begitu banyak luka.

Hati Heaven berdesir melihat pipi kanan Aizha memerah padam. Tanpa berpikir panjang Heaven menghampiri Aizha yang menunduk menahan tangisnya.

"Lo kenapa Zha?"

Mendengar pertanyaan Heaven yang terbesit khawatir didalamnya membuat pertahanan Aizha yang sedaritadi ia tahan akhirnya runtuh seruntuhnya. Mengeluarkan semua isak tangisnya didepan Heavan. Ia tak peduli apa yang akan dikatakan Heaven sebentar lagi.

"Hiks..ini gak adil Heav. NGGAK ADIL!!"

"Kenapa orang lain bisa bahagia sedang gue..hiks..hiks"

Heaven menarik lembut Aizha kepelukannya berharap bisa memberi ketenangan pada gadis itu. Namun bukannya mereda tangis Aizha semakin kencang dalam pelukan itu. Mengapa selalu Heaven yang ada disaat dia terpuruk seperti ini?

"K-katanya tuhan itu baik. Tapi kenapa gak pernah baik sama Aizha? Kenapa tega lihat Aizha hancur kayak gini...

"G-gue capek Heav hiks gue pengen ketemu ama ibu" lirihnya.

Tangan Aizha mencengkram kuat jaket Heaven merasakan dia benar benar hancur detik ini. Heaven pun membalasnya dengan mengusap surai rambut gadis itu.

"Gue capek ngejar ngejar cinta dia. Sedang Verren sendiri gak pernah nganggep gue ada. Gue capek berharap pada takdir ini Heav" keluh Aizha terisak.

Heaven membiarkan Aizha menumpahkan semuanya tak peduli jaketnya yang ikut basah karena tangisan itu. Sampai Aizha sendiri yang menyudahi nya.

Merasa sedikit lebih baik, Heaven mengajak gadis itu duduk dipinggiran balkon bersamanya. Siapa tau dengan melihat pemandangan kota dari atas sana bisa membuat Aizha tenang.

Bebepara menit mereka hanya berdiam diri menikmati angin sore yang menerpa wajah dari ketinggian itu. Heaven melirik pada Aizha, mata sembab gadis itu menatap kosong kakinya yang menjuntai ke bawah. Entah sedang merenungi apa?

Heaven bernisiatif kembali memainkan gitar yang selalu berada di roftoop itu. Bukan miliknya melainkan milik Verren. Yang Heaven ketahui pemuda itu selalu memainkannya jika traumanya telah membaik berada  di rooftop tersebut.

Lamunan Aizha buyar kala mendengar suara petikan gitar. Ia menoleh pada Heaven sedikit membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan pemuda itu menikmati lagu yang mulai pemuda itu nyanyikan.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang