10. Dira dan Amira

81 32 11
                                    

Amira melangkahkan kaki dengan cepat saat berada dikoridor. Setelah keluar ruangan dan mengabaikan pertanyaan Pak Revan tersebut karena bingung ingin menjawab bagaimana. Gadis itu merasakan jantung yang berdebar kencang seperti angin yang menerpa dirinya sore hari ini.

"Saya ingat, kamu minta dinikahi kan?"

Bisa-bisanya Pak Revan dengan santai mengatakan hal tersebut kepada dirinya? Amira bahkan sangat bersyukur jika Pak Revan melupakan insiden Amira meminta untuk dinikahi.

Bahkan Amira berharap jika Pak Revan mengingat kesalahan beliau dirooftop tanpa sengaja mencium Amira dan membuat gadis itu demam diujung semester kemarin. Amira benar-benar ingin meminta pertanggungjawaban, misalnya lulus skripsi tanpa dipersulit.

Tetapi hal tersebut sangat mustahil dilakukan oleh seorang dosen bernama Pak Revan. Haruskah Amira menjadi cegil (cewek gila) yang sedang trend saat ini untuk meminta pertanggungjawaban kepada Pak Revan? Soalnya, sayang juga memiliki dosen pembimbing yang sangat tampan.

Memikirkan hal itu membuat Amira menutupi kedua pipinya yang mulai memanas. Perasaan aneh disertai jantung berdegup dengan kencang membuat suasana hati Amira semakin tak karuan.

Jam yang melingkar ditangan kirinya menunjukkan hampir pukul lima sore. Suasana kampus sepi dan hanya menyisakan beberapa mahasiswa dan mahasiswi dengan wajah yang amat sangat tidak karuan seperti dirinya.

Sepertinya mahasiswa dan mahasiswi tersebut semester akhir juga dan baru selesai menemui dosen, sama seperti Amira. Sekitar beberapa menit kemudian ia sampai diparkiran belakang gedung rektorat, bahkan pohon beringin kampusnya yang biasanya ramai dan menjadi objek untuk bersantai mahasiswa dan mahasiswi saja sudah mulai sepi. Ternyata Amira baru menyadari jika jam segini kampusnya sangat berbeda dengan pagi maupun siang hari.

Suara seseorang dibelakangnya membuat gadis itu menoleh penuh dan bertatapan. "Baru pulang, ya?" tanya pria paruh baya memakai seragam satpam. Rambutnya terlihat rapi bak kerja kantoran. Terlihat dari wajahnya, sepertinya satpam tersebut menginjak usia kepala empat atau bahkan lima.

"Eh? Iya Pak baru selesai bimbingan." jawab Amira seraya masuk kedalam mobil miliknya.

"Mahasiswi akhir, ya? Pantesan baru selesai bimbingan jam segini." ujar satpam tersebut.

Amira hanya mengangguk dan menampilkan senyuman khasnya. "Kalau begitu, saya pulang dulu ya Pak." ujar Amira lagi, karena tidak kuat berlama-lama dan berbasa-basi dengan orang asing, walaupun satpam kampus miliknya sendiri.

Satpam tersebut mengangguk dan membukakan pintu palang keluar saat mobil Amira hendak melintasi palang tersebut. Tak lupa Amira mengklakson dan mengucapkan terima kasih kepada satpam tersebut yang langsung disambut dengan anggukan.

Amira harus tiba dirumah sebelum adzan magrib berkumandang nantinya. Karena sudah pasti Mama-nya menunggu dan Dira -anak Tante Fasya- yang juga menunggu kedatangan Amira.

Sebenarnya Amira sudah beberapa kali mencari informasi tentang Dira karena mau bagaimanapun mereka akan menjadi saudara tiri nantinya. Dira orang yang baik dan juga memiliki sifat ekstrovert, berbeda dengan Amira yang sedikit kesulitan dalam bergaul dengan orang baru.

Setelah kurang lebih setengah jam berkendara, akhirnya Amira sampai di rumah besar milik keluarganya. Baru saja didepan gerbang, Amira sudah disambut hangat oleh Pak Hadi yang sudah menjadi satpam kurang lebih hampir sepuluh tahun lamanya. Diparkiran depan, Amira disambut pula dengan Pak Didik yang sedang membersihkan mobil Mama-nya yang terparkir dengan rapi.

"Dira udah datang belum, Pak?" tanya Amira kepada Pak Didik saat gadis itu turun dari mobil miliknya. Biasanya untuk memarkirkan kendaraan sudah diserahkan kepada Pak Didik dan Amira tinggal turun dari mobil.

"Sudah Mba, tadi Ibu berpesan Mba Amira langsung kemeja makan saja." ujar Pak Didik menyampaikan pesan Nadine.

"Papa ada juga, Pak?" tanya Amira.

"Kebetulan tidak ada Mba, hanya Mba Dira saja dan Ibu didalam.."

Amira mengangguk pertanda mengerti lalu berjalan memasuki rumah milik keluarga besarnya. Dimeja makan sudah ada Nadine dan Dira yang duduk dengan rapi seraya bercanda gurau. Saat mengetahui kedatangan Amira, Nadine langsung menyambutnya dengan hangat.

"Udah sampai, sayang? Sini makan dulu.." ujar Nadine mempersilakan anak semata wayangnya duduk dikursi samping kanan pas dengannya.

Amira duduk sesuai yang diperintahkan oleh Nadine. Pandangannya tertuju kepada seorang gadis yang juga memperhatikannya, tentu saja Amira tahu siapa itu.

"Hai, Amira! Gue Dira.." sapa Dira saat melihat Amira sudah duduk dengan rapi dimeja makan.

Amira tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Gue, Amira."

Dira menyambut uluran tangan Amira dengan hangat. Mereka berdua bersalaman dan saling melemparkan senyuman. Pemandangan itu membuat Nadine tersenyum dan berkata. "Kalian seumuran, kah?"

Dira menjawab dengan lembut. "Enggak Ma, Dira tiga tahun lebih muda dibanding Kak Amira. Eh? Bolehkan kalau gue manggil lo dengan sebutan itu?"

Bahkan Dira memanggil Nadine dengan sebutan Mama. Amira mengangguk kikuk karena bingung bereaksi apa. "Enggak apa-apa."

Kini giliran Dira yang mengangguk. "Bulan depan gue harus ngurus berkas buat masuk di Universitas yang sama kayak lo, Kak. Dan kata Papa Universitas lo paling bagus di Lampung ini.."

Bolehkah jika Amira merasa iri dengan Dira saat ini? Bagaimana mungkin Leonardo mengizinkan Dira yang belum sah menjadi anak memanggil beliau dengan sebutan Papa? Bahkan Nadine pun tidak bermasalah dipanggil dengan sebutan Mama oleh Dira.

***

A/N

Hallo! Aku balik lagi hari ini🥰🥰

Alhamdulilah lancar ngerjainnya, walau ajbdjmshsksbsjs banget mood gak bagus karena lagi banyak kesibukan🥹🫠

Semoga kalian suka sama part ini, ya! Aku berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk readers tercinta😍
Dukung terus cerita ini sampai selesai, ya!

With love, kim

Sricptsweet! [TERBIT-OPEN PO✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang