17. Temu Cafe

65 25 31
                                    

Semilir angin yang masuk melalui ventilasi jendela membuat suasana semakin sejuk. Ruangan bercat putih dengan dekorasi bunga dipojok ruangan semakin membuat ruangan tersebut terkesan asri.

Amira membolak-balikkan jurnal relevan untuk skripsi yang sempat ia print tadi pagi. Gadis itu sudah melakukan bimbingan beberapa kali dengan Pak Revan. Dan sampailah Amira pada bab ketiga mengenai metodelogi penelitian. Jika minggu depan saat bimbingan lagi sudah diacc, maka Amira akan mengadakan seminar usul.

Dikampusnya, jika sudah memasuki bab tiga, artinya harus bersiap-siap untuk melakukan seminar usul terlebih dahulu, semacam ujian awal. Sebelum akhirnya akan lanjut pada bab empat dan lima. Semakin tinggi bab yang dibahas, maka semakin banyak pula yang akan direvisi.

Disisi lain, Amira sudah hampir dua bulan menjadi guru les Dira, adik tirinya. Walau Amira merasa keteteran dengan revisiannya, gadis itu dengan tetap bertanggung jawab dalam mengajari Dira untuk persiapan ujian masuk Universitas Lampung, sama seperti Amira.

Sebenarnya Amira merasa keberatan karena harus membagi waktu antara mengerjakan revisi skripsi dan mengajari Dira secara bersamaan. Untung saja setelah melalui perdebatan kecil dengan Papa-nya, Leonardo juga takut jika itu akan menghambat skripsi Amira nantinya, tetapi karena Dira tetap ingin diajarkan, Leonardo bersikap adil. Akhirnya untuk jadwal Amira mengajari Dira hanya seminggu sekali.

Disinilah Amira berada, tepat didepan Dira yang sedang membolak-balik soal yang Amira print dari internet. Amira memberikan beberapa latihan soal untuk dipelajari oleh Dira.

Dira menyerahkan soal-soal itu kepada Amira karena sudah mengisinya semua. Gadis itu menerimanya. "Udah lo isi semua, Dir?"

Dira menganggguk membenarkan. "Udah, tapi nomor 37 dan 43 gue masih ngambang. Soalnya gue rasa masih keliru dan enggak yakin."

Amira membuka nomor yang disebutkan oleh Dira. Ia membaca soal dan memeriksa jawaban yang dipilih Dira. "Iya, harusnya lo jawab C, bukan E."

Dira mengangguk setuju. "Gue belum pernah belajar itu..."

"Oke, besok gue kasih latihan soal yang mirip dengan ini, supaya lo belajar dan sudah enggak asing dengan soal yang serupa nantinya," ada jeda sebelum akhirnya Amira melanjutkan. "sebenarnya lo udah cukup baik dibanding awal lo belajar sama gue, jadi gue rasa lo udah bisa gue lepas."

"Enggak!" tolak Dira.

Amira mengusap pangkal hidungnya dari kanan kekiri. "Loh? Kenapa enggak?"

Dira diam sebentar, tangannya menyelipkan beberapa helai rambut sebahunya dibelakang telinga. "Gue suka diajarin kayak gini, kalau belajar sendiri gue enggak suka."

Amira terdiam, ia merasa jika ini bukan perihal suka atau tidaknya belajar sendiri. Tetapi karena keharusannya dalam belajar dan tidak mengganggu urusan Amira kedepannya. Bukankah seharusnya Dira mengerti hal itu?

Karena tidak mau berdebat, akhirnya Amira menyudahi pembicaraan kali ini. Ia hanya merespons dengan mengangguk-anggukkan kepalanya saja dan kembali membuka beberapa jurnal relevan lainnya dan beberapa kali mengecek skripsi miliknya.

Dira yang sedari tadi memperhatikan Amira kembali bertanya. "Dosen pembimbing lo itu, udah punya istri?"

Amira menggelengkan kepala tetapi tetap fokus dengan jurnal yang ia pelajari.

"Udah punya pacar?" tanya Dira kembali.

Mendengar hal itu membuat Amira menatap Dira sepenuhnya. "Kenapa?"

Dira menyenderkan punggungnya pada kursi tempat ia duduk. Kakinya ditumpuk sebelah pihak dan kembali berbicara. "Kalau belum, gue mau dikenalin."

"Iya, nanti dikenalin."

Sricptsweet! [TERBIT-OPEN PO✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang