14. Pesona Pak Dosen

75 30 22
                                    

Nadine menyapa pria didepannya dengan senyuman manis. "Hallo! Dengan Pak Revan?" tanya Nadine memastikan.

Pak Revan beranjak dari duduknya dan berdiri dengan spontan. "Iya, saya sendiri. Dengan Bu Nadine?"

Nadine menganggukkan kepalanya membenarkan. "Iya saya Nadine, dan ini anak saya Amira. Kamu mungkin sudah mengenal anak saya tentunya."

"Saya mengenal Bu, kebetulan tadi sudah berjumpa lebih dulu disini."

Nadine menoleh kearah Amira yang hanya diam mematung. "Kenapa enggak bilang Mama, Amira?"

Amira menatap Nadine dan Pak Revan bergantian lalu menjawab. "Enggak penting, Ma."

"Ini penting untuk Mama, sayang. Lagipula Pak Revan ini dosen pembimbing kamu dan kebetulan sekali dia juga anak dari kenalan Mama dikerjaan." ujar Nadine memberi pengertian untuk anak semata wayangnya, Amira.

Berbeda dengan Nadine yang menjelaskan panjang lebar, Amira tidak berkata sepatah kata apapun. Ia hanya menganggukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman berada disituasi seperti ini. Terlebih jika Pak Revan akan memberikan draft skripsi awal milik Amira yang sangat memalukan jika Mama-nya melihat hal tersebut.

Seakan membaca pikiran Amira, Pak Revan menyerahkan draft skripsi awal milik Amira tersebut kepada Nadine. "Ini file yang Bu Nadine minta kepada saya berisi draft skripsi awal milik Amira."

Nadine menerimanya dengan senang hati, kemudian jemarinya membuka lembar demi lembar draft skripsi awal milik anak semata wayangnya tersebut. "Ada kesalahan banyak, Pak?"

Pak Revan menggelengkan kepalanya. "Bisa Bu Nadine lihat, Amira mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan sedikit melakukan kesalahan dalan pemilihan dan penyusunan kata saja."

Mendengar penjabaran tersebut membuat Amira menoleh langsung kearah Pak Revan, menatap penuh pada bola mata hitam pekat tersebut. Kedua bola matanya bertabrakan, seakan terhipnotis Amira hanya diam tak bersuara.

"Wah! Anak Mama pintar sekali dong? Mama bangga sama Amira, untuk selanjutnya dipertahankan ya, sayang..." ujar Nadine membuat Amira memalingkan wajah kearah lain.

Benar-benar pesona Pak Revan bukan main-main dan sangat berkharisma.

"Amira juga besok akan bimbingan dengan saya lagi, Bu Nadine. Kami akan membahas tentang kelanjutan untuk menuju bab selanjutnya. Sudah dipersiapkan dengan matang, Amira?" tanya Pak Revan kepada Amira.

Mendengar namanya dipanggil dan mendapat pertanyaan, Amira menatap Pak Revan seraya menjawab dengan sopan. "Sudah, Pak. Besok akan saya temui sesuai dengan janji kemarin, Pak."

"Jangan lupa chat saya terlebih dahulu, Amira."

Nadine yang mendengar hal tersebut menoleh kearah Amira. "Memangnya kamu pernah menemui Pak Revan dan tidak chat terlebih dahulu, Amira?"

Pernah.

Baru saja Amira ingin menjawab pertanyaan tersebut, Pak Revan memotongnya dengan cepat. "Tentu saja tidak pernah, Bu Nadine. Amira sangat sopan jika melakukan bimbingan dengan saya."

Nadine menghela napas lega, bersyukur anaknya memiliki etika yang sangat baik seperti dirinya. "Mama kira kamu pernah melakukan itu, Amira."

Amira menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin Amira seperti itu, Ma. Amira sangat tahu sopan santun." ujar Amira dengan pelan.

Pak Revan yang mendengar itu menganggukkan kepalanya. "Hm... sopan santun." gumam Pak Revan.

Nadine tersenyum puas melihat hasil kerja Amira selama begadang beberapa hari ini. Ternyata Amira tak mengecewakan sama sekali, persis saat Amira duduk dibangku sekolah.

Amira adalah anak tunggal dan kesayangan keluarga Leonardo. Sedari kecil, Amira dilatih untuk menjadi nomor satu dan wajib memiliki sopan santun dalam berinteraksi dengan oranglain. Saat tumbuh dewasa, Amira tidak pernah mengecewakan keluarga Leonardo, bahkan masuk kedalam gosip remaja pun Amira tidak pernah terlibat.

Yang keluarga Leonardo tahu, Amira adalah anak yang penurut dan selalu mengikuti saran dari kedua orangtuanya, walau lebih masuk jika dikatakan perintah bukan saran. Kebutuhan Amira tidak pernah kurang, mulai dari skincare, bodycare hingga facial-facial semua ditanggung dan dicukupi oleh keluarga Leonardo. Oleh karena itu, Nadine dan Leonardo sangat bangga kepada Amira.

Nadine mengusap puncak kepala Amira dengan penuh kasih sayang. "Mama selalu bangga sama kamu, Amira. Kamu selalu membuat Mama dan Papa beruntung memiliki anak yang pintar dan penurut seperti kamu."

Amira hanya bisa tersenyum dan diam seribu bahasa karena bingung ingin menjawab seperti apa. Bagi Amira, hidup seperti robot penurut sangat menyakitkan.

Gadis itu membiarkan Mama-nya berbicara mengenai hal-hal lain dengan Pak Revan, seperti membicarakan kedua orangtua Pak Revan yang tidak bisa hadir keacara pernikahan keluarga Leonardo.

***

Sementara disisi lain, Dira memperhatikan Amira, Nadine dan juga pria yang sedang berbicara tersebut dengan perasaan yang penasaran. Gadis itu pun bertanya kepada Papa-nya mengenai siapa pria yang berbicara dengan Nadine dan juga Amira tersebut. "Papa mengenal pria itu?" tanya Dira.

Leonardo melihat kearah penunjuk yang diberikan Dira. "Sepertinya kenal, sayang. Anak teman Mama Amira itu, pernah beberapa kali orangtuanya berkunjung kerumah dan pernah membawa pria itu.."

Dira mengulas senyuman. "Dira suka dia Papa, pria yang sangat tampan."

***

A/N

Hallo guys! Author note kali ini berbeda ya, hahahaha. Semoga suka sama cerita ini, ya! Tetap dukung dan baca sampai selesai!💌

Aku mau tanya nih, kalian tim Dira-Revan atau Amira-Revan?

With love, kim.

Sricptsweet! [TERBIT-OPEN PO✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang