Ruangan makan yang biasanya terdiri dari tiga orang itupun sekarang terdiri dari lima orang. Bertambah adanyaFasya dan Dira yang duduk dimeja makan yang sama dengan Amira dan Nadine.
Walau antara Nadine dan Leonardo sudah bercerai, tetapi mereka berdua sepakat untuk mengurus Amira bersama-sama dan tetap kumpul keluarga seperti ini. Hanya saja mereka berdua tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.
Susunan letak duduk dimeja makan mereka yaitu Leonardo berada diantara Nadine dan Fasya. Sementara Amira disamping Nadine dan Dira disamping Fasya.
Meja makan mereka tidak terlalu panjang dan lebar, karena dulu yang makan disana hanya Leonardo, Nadine dan Amira. Dahulu terasa begitu lebar namun sekarang berbeda. Bertambah jumlah keluarga, bertambh pula menu makanan yang membuat meja makan tersebut penuh.
"Bagaimana Dira dalam penguasaan materi yang diajarkan kamu, Amira?" tanya Leonardo kepada Amira yang sedari tadi hanya memotong -motong daging sapi dipiringnya.
Amira menjawab. "Dira lebih baik dari sebelumnya, Pa. Amira rasa, selanjutnya Dira sudah bisa belajar sendiri."
"Tapi Dira lebih suka diajarkan Kak Amira, Pa."
Leonardo menganggukkan kepalanya merasa setuju. "Dilanjutkan saja belajarnya, Amira."
Amira ingin menyanggah namun tertahan, Nadine disampingnya menggenggam erat tangan Amira meminta agar Amira menuruti perintah Papa-nya, Leonardo. Amira menghela napas dan terdiam. Bahkan diposisi seperti ini pun, Amira tidak bisa berkomentar.
Dira yang melihat ekspresi Amira tersenyum miring. Ia sangat ingin mempermalukan Amira dengan cara membiarkan Amira keteteran dalam mengurus skripsinya dan telat untuk pendaftaran wisuda. Oleh karena itu, Dira bersikeras untuk tetap mempertahankan Amira agar mengajarinya terus menerus. Tak hanya itu, bahkan Dira ingin perhatian Papa-nya jatuh pada dirinya dan tidak ada sisa perhatian untuk Amira.
Dira membuka obrolan kembali. "Oh iya Pa, seminggu yang lalu Dira bertemu dengan dosen pembimbingnya Kak Amira."
"Dimana?" tanya Fasya penasaran.
"Di cafe dekat kost Kak Amira, Ma." ada jeda sebelum akhirnya Dira menatap Nadine. "Pak Revan itu teman Madine?"
Nadine yang namanya dipanggil ikut bersuara. "Bukan Dira. Revan itu anak temen saya dikerjaan, kebetulan menjadi dosen pembimbing Amira."
"Emang ada yang kebetulan ya, Madine? Madine bukan bersekongkol untuk membuat Kak Amira lulus dengan cepat kan?" tanya Dira seakan mengintimidasi.
Leonardo yang sedari tadi menyimak ikut bersuara. "Apa benar begitu, Nadine?"
Nadine menggelengkan kepala dan tersenyum manis. "Saya tidak seperti itu, kamu tau sendiri saya mendidik Amira dengan penuh kasih sayang. Tidak mungkin jika saya menginginkan hal yang remeh seperti itu."
"Kalau begitu, bagaimana jika Kak Amira mengganti dosen pembimbing saja? Kebetulan Pak Revan juga masih jomlo, kalau Kak Amira ingin dinikahi dengan diiming-imingi lulus cepat, bagaimana? Apa Madine dan Papa tidak khawatir hal itu terjadi?" ujar Dira menyudutkan Amira.
Amira menatap Dira seakan tak percaya, bagaimana mungkin perkataan itu lolos begitu saja dari mulut gadis yang berusia belum genap dua puluh tahun itu? Pembicaraan Dira sudah terlalu jauh dari pikiran yang wajar seumurannya. Amira menggigit bibir bawahnya menahan amarah, ingin sekali Amira memaki Dira saat itu juga. Tetapi Mama dan Papa tidak pernah mengajarkan Amira bersikap tidak sopan.
Amira menghela napas panjang mencoba menenangkan pikirannya. "Dosen pembimbing itu ditunjuk langsung oleh pihak dekanat dan Amira sebagai mahasiswi tidak bisa memilih maupun mengganti keputusan itu."
Dira menatap Amira dengan tatapan tak suka. "Oh ya? Jadi Kak Amira menyetujui perkataan Dira mengenai iming-iming dinikahi oleh Pak Revan?"
Amira menggelengkan kapalanya merasa tidak terima. Sumpah, Amira ingin sekali mencakar muka Dira saat ini juga. Dengan senyuman yang manis Amira berkata. "Dira tahu apa tentang pernikahan? Dan Dira tahu apa tentang kuliah?" tanya Amira disertai senyumannya yang manis.
Dira melotot sempurna, rupanya Amira mengajak Dira berperang dimeja makan. "Memangnya harus merasakan dulu baru bisa menilai?"
Nadine yang mendengar hal itu ikut menjawab. "Dira enggak baik berbicara seperti itu sama Amira terlebih kita dimeja makan."
Fasya tidak terima jika Dira disudutkan, ia ikut berbicara. "Dira hanya berfikir yang sepertinya bisa terjadi saja."
Sebelum suasana dimeja makan ini semakin panas. Leonardo berbicara dengan nada yang tegas. "Dira kamu tidak boleh berbicara seperti itu kepada Amira. Dan kamu Amira, Papa sangat percaya sama kamu jadi tolong jangan pernah kecewakan Papa."
Amira mengangguk. "Amira enggak akan pernah mengecewakan, Papa." ujar Amira meyakinkan Papanya. Lagipula Amira sedari dulu tidak pernah mengecewakan orang tuanya.
Suasana dimeja makan itupun hening hanya suara sendok, garpu, dan pisau yang saling beradu dengan piring. Mereka semua hanya diam tak berbicara sepatah katapun.
Jantung Amira berdetak tak karuan. Amira tidak menyangka akan diserang tiba-tiba seperti ini dengan Dira, adik tirinya sendiri. Padahal jika dikilas balik, Amira tidak pernah menyakiti hati Dira sedikitpun, mengapa Dira sebegitu niat untuk menyudutkan Amira?
***
A/N
Hallo! Aku balik lagi ya, hari ini aku update 2 kali loh😍
Alhamdulillah bisa lancar nulis dan mood bagus banget, heheAku tim kesel banget sama Dira yang gejsgsijw banget:')) Kasian Amira dipojokin terus, ya!😩
Semoga kalian suka dengan cerita ini, ya! See u next part!💌
With love, kim
KAMU SEDANG MEMBACA
Sricptsweet! [TERBIT-OPEN PO✅]
Fiksi RemajaDiterbitkan oleh Penerbit Teorikata Info pemesanan melalui shopee🛍️ °^° DM FOR MORE INFO °^° [ S U D A H R E V I S I ] ->> Berbeda dengan versi wattpad #sweetshitseries [R18+] "A-apa yang Bapak lakuin ke saya?" tanya Amira sedikit terbata-bata. Pr...