Karena merasa tidak bisa menjawab pertanyaan dari Pak Revan, Amira meninggalkan Pak Revan begitu saja dan menghampiri kedua orangtuanya yang sudah pasti menunggu dirinya.
Predikat anak tunggal kesayangan keluarga Leonardo sebentar lagi akan hilang dari diri Amira. Gadis itu akan memiliki seorang adik walau hanya adik tiri.
Amira melangkahkan kakinya dengan perlahan karena drees yang ia kenakan lumayan sulit digunakan untuk melangkah seperti biasanya. Disana terdapat Nadine dan Dira yang sedang bercanda gurau. Hati mungil Amira tergores, takut Mama-nya akan diambil pula oleh Dira.
Tepat didepan Nadine, gadis itu menghentikan langkah kakinya. Senyuman yang sangat familiar dimatanya kembali terlihat, senyuman sejuk milik Nadine. "Sayang... kamu dari mana saja?" tanya Nadine kepada Amira, putri semata wayangnya.
"Dari sana, Ma. Tadi sempet ketemu sama Queenara, Febri, dan Rino juga.."
"Mereka kamu undang, ya? Kok enggak ketemu Mama dulu?" tanya Nadine.
Amira menggelengkan kepalanya. "Enggak, Ma. Mereka belum kenal sama Dira." ada jeda sebentar karena Amira menoleh kearah Dira, kemudian kembali melanjutkan. "Lagipula mereka enggak enak, Ma."
Nadine menganggukkan kepalanya, merasa jika perkataan Amira memanglah benar. Jika Nadine diposisi teman-teman Amira, Nadine akan melakukan hal yang sama.
Dira yang sedari tadi menyimak pembicaraan antara Nadine dan Amira, kini ikut bersuara. "Mereka teman-teman lo, Kak?" tanya Dira penasaran karena ingin dikenalkan.
"Iya."
"Gue boleh kenalan? Lumayan kan nanti kalau punya teman satu jurusan juga, walau senior jatohnya sih."
Amira terdiam sejenak, sungguh Amira tidak ingin teman-temannya berteman akrab dengan Dira. Entah mengapa, Amira takut jika orang disekelilingnya direbut perlahan oleh Dira, adik tirinya.
Belum sempat Amira berkomentar, sumber suara dari belakang badan Amira terdengar, suara yang sangat Amira kenali.
"Amira darimana saja, nak?" tanya Leonardo, Papa Amira.
"Tadi abis ketemu teman-teman, Pa."
Leonardo menganggukkan kepalanya setuju, disamping beliau terdapat Tante Fasya yang menggandeng tangan Papa Amira dengan mesra. Gadis itu melirik kearah Nadine, Mama-nya yang seakan tidak masalah akan hal itu.
"Sayang... nanti malam kamu menginap dirumah sini ya, bareng-bareng sama Mama kamu juga.." ujar Fasya.
Amira mengulas senyumnya dan menjawab dengan sopan. "Amira nanti dikost aja, Tante."
"Amira bisa panggil Tante Fasya dengan sebutan Mama ya.." ujar Leonardo mengingatkan anaknya.
Amira mengangguk mengerti dan tersenyum dengan sopan, begini ya rasanya memiliki dua orang ibu?
"Iya, Pa.." jawab Amira.
Fasya tersenyum begitu pula dengan Leonardo. Mereka berdua nampak sangat bahagia hari ini, tetapi tidak dengan Nadine. Amira tahu betul jika Mama-nya sangat mencintai Leonardo dengan sepenuh hati, namun apa boleh buat jika sudah seperti ini.
"Papa nanti kalau Dira mau les gimana? Buat persiapan ujian masuk universitas.." ujar Dira kepada Leonardo.
Leonardo menganggukkan kepalanya. "Oh atau kamu bisa belajar dari kakak kamu, Amira. Anak Papa ini sangat pintar sekali sewaktu SMA dahulu, bahkan lulus universitas dengan jurusan yang Papa inginkan juga.." jawab Leonardo seraya menepuk-nepuk lengan Amira karena merasa bangga.
Bola mata Dira berbinar lalu menjawab dengan semangat. "Wah kalau begitu, gue belajar sama lo aja ya, Kak? Gimana kalau gue juga ikut dikost lo? Ada yang kosong?" tanya Dira bertubi-tubi tanpa jeda.
"Gue enggak tau, Dir."
"Betul tuh, gimana kalau kalian nanti kost jadi satu aja sebelahan kamarnya. Lagipula adik kamu ini mau masuk jurusan manajemen juga sama kayak kamu, Amira." ujar Leonardo.
Kalau sudah Papa-nya yang berbicara, Amira tidak bisa untuk menolaknya. Mau tidak mau, Amira harus menyetujui hal tersebut.
"Iya, Pa. Nanti Dira belajar sama Amira dan satu kost sama Amira juga.."
Leonardo tersenyum puas, tangannya bergerak mengusap puncak kepala Amira dengan lembut. "Papa sayang kamu, Ra."
Seakan refleks dengan usapan tersebut, Amira menunduk sedikit seraya tersenyum sopan nan anggun seperti biasanya.
Kalau sayang, enggak mungkin akan meninggalkan.
Amira ingin sekali mengatakan hal tersebut tetapi tertahan, bola matanya mulai memanas karena merasakan kesedihan yang amat dalam. Namun dengan sekuat hati ia menahan agar air matanya tidak menetes. Benar-benar sakit karena Amira harus berada diposisi fake seperti ini seumur hidupnya.
Seakan tahu keadaan anaknya, Nadine diam-diam menggenggam tangan Amira memberikan semangat. Insting seorang ibu sangat kuat jika keadaan seperti ini. "Saya harus menemui seseorang dulu dan Amira akan saya ajak sebentar, tidak apa-apa kan?" tanya Nadine kepada Leonardo dan juga Fasya.
Mereka berdua menganggukkan kepalanya pertanda setuju. "Tetapi jangan lama-lama dan selalu stay didalam gedung ini ya, Nadine." ujar Leonardo mengingatkan.
"Saya mengerti, kalau begitu permisi dulu."
Nadine menggandeng tangan Amira dan melangkahkan kakinya meninggalkan Leonardo, Fasya, dan Dira yang memperhatikan mereka berdua. Nadine tahu jika anaknya tidak memiliki tenaga lagi untuk stay disamping keluarga barunya.
Nadine berhenti melangkah diikuti oleh Amira yang juga berhenti. Keduanya berhenti didepan seorang pria yang sedang terduduk sendirian.
"Mama mau ketemu sama dosen kamu, Amira. Dia anak teman Mama." ujar Nadine menjelaskan, takut jika nanti anaknya akan salah paham.
Tetapi berbeda dengan Amira yang sudah mengetahui hal tersebut. Gadis itu menghela napas panjang merutuki dirinya yang tidak bisa lepas dari dosen tersebut, Pak Revan.
***
A/N
Haii im back!😍
Seneng banget bisa mood nulis setiap malamnya seperti ini, gwjsbzjksjsks karena nulis cerita ini, aku jadi kebiasaan ngetik pake bahasa baku🥹🥲
Sampai jumpa dipart selanjutnya, ya! Semoga kalian suka dengan cerita ini!😍💌
With love, kim
KAMU SEDANG MEMBACA
Sricptsweet! [TERBIT-OPEN PO✅]
Fiksi RemajaDiterbitkan oleh Penerbit Teorikata Info pemesanan melalui shopee🛍️ °^° DM FOR MORE INFO °^° [ S U D A H R E V I S I ] ->> Berbeda dengan versi wattpad #sweetshitseries [R18+] "A-apa yang Bapak lakuin ke saya?" tanya Amira sedikit terbata-bata. Pr...