Chapter 2 - School

2.5K 146 3
                                    

--Natalie--

Gue melahap semua makanan yang Mama hidangkan di atas meja.

Akhirnya, setelah Mama mohon gue untuk keluar kamar, gue keluar juga. Sekarang gue udah ikhlas dengan kepergian Ayah, toh semua orang juga pasti akan mengalami kematian kan?

"Mah, besok Natalie mau sekolah ya. Natalie kangen sama temen-temen." kata gue selagi mengunyah makanan di mulut.

"Boleh kok. Kamu boleh sekolah lagi, asal kamu nggak boleh sedih!" jawab Mama sambil tersenyum.

Saat gue keluar kamar, Mama udah nggak sesedih kayak tadi malam. Walaupun, di matanya masih ada kesedihan yang begitu dalam.

"Oke deh! Natalie udah nggak sedih lagi kok Mah." jawab gue semangat.

Mama hanya tersenyum melihat respon gue yang begitu semangat. Ya, buat apa sedih terus? Ayah juga pasti pengen lihat Mama dan gue bahagia, bukan terus-terusan sedih karena kepergiannya.

.
.
.

Nyatanya, hari ini nggak sesuai sama ekspektasi yang gue bayangin sebelumnya.

Selagi ingin pamit sama Mama, gue lihat Mama lagi menagis di sofa. Gue tau, Mama pasti lagi kesepian atau pun masih tersisa kenangan Ayah.

Gue langsung ambil tas sekolah dan bergegas menuju Mama. Melihat Mama menangis, gue merasaka kayak ada bom di kepala gue. Please. Gue nggak bisa lihat Mama nangis terus kayak gini.

"Mah, Natalie ke sekolah dulu ya.." pamit gue dengan suara pelan. Gue bisa merasakan ada air yang bakalan jatuh dari mata.

Dan nggak lama kemudian, air mata membasahi pipi ini.

Mama seolah-olah kaget melihat gue udah berdiri di sampingnya. Mama langsung mengusap air mata yang membasahi wajahnya.

"Ehm, iya. Hati-hati ya di jalan. Inget, kamu nggak boleh terlihat sedih!" kata Mama sambil tersenyum.

Mama mengusap air mata gue dengan ibu jarinya yang halus. Gue merasakan kasih sayangnya lewat sentuhannya.

"Enggak kok, Natalie nggak nangis karena Ayah. Natalie nangis karena liat Mama sedih." jawab gue, tertawa kecil.

"Sshh. Mama cuma lagi pikirin gimana ya kehidupan kita setelah ini, tentunya tanpa Ayah." jelas Mama.

Gue langsung memeluk erat Mama. Gue bisa rasain betapa sulitnya jadi single parent. Karena itu, gue nggak mau ngecewain Mama lagi. Gue nggak mau bikin hidup Mama makin susah karena kemauan gue yang ini itu.

"Yaudah, Natalie berangkat sekolah dulu ya Mah!" seru gue sambil beranjak dari sofa.
.
.
.
Sesampainya di sekolah, gue merasa diliatin sama seisi sekolah. Mulai dari turun mobil, berjalan di lorong, sampai masuk kelas. Semua mata tertuju sama gue. Apa ada yang salah dari gue?

Gue memilih bangku yang ada di belakang kelas. Entah kenapa, gue lagi nggak mood dengerin guru ngomong.

"Hai, Natalie."

Gue menoleh ke arah sumber suara. Gue melihat Belle, sahabat sejati gue yang lagi berdiri di samping bangku yang gue duduki.

Wajah Belle tampak sedih.

Ya, gue udah tau. Pastinya dia sedih mendengar kematian Ayah.

Belle membuka lengannya lebar-lebar, bertanda memberi pelukan ke gue. Gue segera berdiri dan membalas pelukan Belle. Rasanya nyaman banget. Gue selalu nyaman ada di pelukan Belle, entah kenapa.

"Maaf ya.. gue nggak bisa ke rumah lo disaat lo lagi sedih. Gue sms lo, juga nggak dijawab." bisik Belle di telingaku.

"Mmmmh." gumamku. Gue cuma mau nikmatin pelukan hangat dari sahabat gue, nggak perlu basa-basi.

Suara bel berbunyi.

Gue langsung duduk di bangku gue, dan Belle duduk di bangku sebelah gue. Kita selalu duduk kalo nggak sebelahan, ya depan-belakang.

Pintu kelas terbuka. Bu Mia, guru seni musik berjalan menuju meja guru di sisi kiri kelas.

Sebelum memulai pelajaran, tiba-tiba Bu Mia menyatakan duka cita atas kematian Ayah gue, tentunya di depan kelas.

"Hmm, untuk Natalie. Ibu turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu. Semoga beliau tenang di Surga. Amin."

"Amiiiin." seisi kelas meng-aminkan bersamaan.

Gue hanya bisa tertunduk, sedih. Gue paling nggak suka dikasihani. Itu semua malah bikin gue makin sedih.

Selagi gue nunduk, gue bisa merasakan beberapa mata yang menatap ke arah gue. Ya, gue cuma bisa menunduk sedih.
.
.
.
--Belle--

Gue liat Natalie yang tertunduk sedih. Gue nggak tau harus berbuat apa. Gue nggak mau bikin Natalie jadi makin sedih. Jadi saat ini, gue cuma bisa diam.

Bel istirahat berbunyi.

"Nataliiiiee, kita makan ke lantin yuk!" seruku semangat, agar Natalie tidak murung lagi.

Natalie hanya ngangguk tersenyum. Dan kita keluar kelas, menuju kantin.
.
.
.
Gue dan Natalie duduk di dekat pintu masuk kantin. Yap, kantin sekolah kita memang indoor, nggak kayak kantin sekolah lain biasanya.

"Natalie, gue turut berduka cita ya. Maaf nggak bisa dateng waktu itu."

"Natalie yang kuat ya, itu pasti udah jalan terbaik yang tuhan kasih kok."

"Natalie yang sabar yaa.."

"Natalie, kalo boleh tau Ayah lo kenapa emang?"

Itu semua adalah cuplikan selama gue dan Natalie makan di kantin. Gue bisa melihat rasa sedih bercampur kesal di mata Natalie.

Yap, gue tau kalo Natalie nggak suka dikasihani kayak gini. Natalie biasanya selalu ceria, nggak pernah terlihat murung di sekolah. Bahkan, selama gue sahabatan sama Natalie, baru kali ini gue liat kesedihan di wajahnya.

Saat gue menyuap baso yang gue beli, gue bisa lihat air mata hampir jatuh di mata Natalie. Orang-orang masih sibuk bertanya soal kematian Ayahnya.

Gue nggak bisa liat dia nangis di depan umum gini.

"Natalie, temenin gue ke toilet yuk." ajak gue, sambil menarik lengan Natalie pergi dari kantin.
.
.
.
"Sh*t." kata itu muncul disela-sela tangisan Natalie.

Natalie terduduk di pojokan toilet, dekat dengan wastafel. Melihat Natalie yang begitu sedih dan terlihat "hancur" gue juga nangis.

Gue memeluk Natalie dengan erat. Gue nggak mau sahabat kesayangan gue sedih terus-terusan gini.

"Makasih ya, udah ajak gue ke toilet. You know me so well." Natalie balas memelukku.

Akhirnya, Natalie mulai tersenyum. Bel pelajaran selanjutnya berdering, gue dan Natalie langsung menuju kelas.
----------------------------------------------
Akhirnyaaa chapter yang ini lumayan panjang ya haha. semoga sukaa!

PLEASE VOTE AND LEAVE COMMENTS. THANKYOU <3

THE HIGH SCHOOL // harry stylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang