Part 22 (Husband & Wife)

2.1K 37 5
                                    

Warna hijau dedaunan diselimuti oleh tebalnya salju, mengirimkan hawa dingin yang menusuk kulit. Musim yang mendorong orang menghabiskan banyak waktu di dalam rumah, mencari kehangatan dari perapian yang terus menyala.

Aku mempererat lilitan mantel yang melindungiku dari dingin. Dari balik kaca jendela, salju terus berjatuhan ke atas tanah. Namun aku merasakan kehangatan di balik dinding-dinding tebal yang menjulang tinggi. Akhirnya setelah sekian lama kami bisa menghabiskan waktu untuk berlibur di manor klan Hawthorne di Utara. Kesibukan yang menjerat telah mengendurkan cakarnya.

Aku berbalik, berjalan menuju ke sofa yang terletak di ruang keluarga. Awalnya aku ingin melanjutkan buku yang belum selesai aku baca seraya menikmati hangatnya perapian. Namun bingkai foto yang terletak di atas meja di samping perapian lebih dulu menarik pergatianku.

Aku meraih bingkai foto yang menampilkan seorang anak laki-laki berumur delapan tahun. Rambutnya yang berwarna keemasan dan bola mata sehijau emerald membuatnya begitu menawan. Sangat tampan. Di umur yang begitu muda dia bisa menarik perhatian banyak wanita. Namun tidak ada tanda kebahagian di wajahnya. Bibirnya membentuk garis lurus tanpa emosi. Terkesan dingin.

Aku tersenyum, membawa jariku mengusap wajahnya dari bingkai foto.

"Ibu..." Suara anak kecil yang berlari ke arahku membuat aku menoleh.

"Kael, hati-hati," ujarku kepada puteraku yang berumur tiga tahun.

Kael terus berlari, membawa sebuah pesawat mainan di tangannya lalu tiba-tiba memeluk kakiku. Aku tertawa akan tingkahnya yang lucu. Tanpa sadar tanganku mengusap rambut pirangnya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, hm?"

Tanpa melepaskan pelukannya, Kael mendongak. Bola matanya yang berwarna hijau tampak begitu menggemaskan. Seperti ayahnya. "Di mana Ayah?"

"Sedang ada pekerjaan. Sebentar lagi Ayah akan pulang."

Bibir Kael langsung cemberut. "Ayah sudah berjanji akan bermain denganku hari ini."

"Tentu tapi setelah Ayah pulang. Pasti tidak akan lama lagi." Aku tersenyum, memberi Kael pengertian.

Tadi pagi Elric mendapatkan panggilan mendadak. Ada serangan monster di kota Hulsburg. Dia harus turun tangan langsung karena banyak orang yang kewalahan menerima serangan monster tersebut. Aku hanya bisa menghembuskan napas berat, melepas kepergiannya di saat seharusnya kami menghabiskan waktu bersama.

Mau bagaimana lagi, suamiku adalah pria penting yang memiliki banyak tugas. Di saat bahaya datang, dia akan menjadi orang yang berdiri paling depan untuk memimpin semua orang. Elric adalah pria yang sangat kuat. Aku tidak meragukan kemampuannya. Namun sebagai istri, aku tidak bisa menahan rasa khawatir setiap dia harus keluar menemui bahaya.

Waktu bergulir cepat. Seharusnya Elric akan pulang sebentar lagi.

"Bersabarlah. Kau bisa bermain bersama Ibu sambil menunggu Ayah pulang."

"Tidak seru." Kael melepaskan pelukannya. Punggungnya terkulai lemas ketika kaki kecilnya berjalan menuju tumpukan mainan di lantai.

"Anak sabar selalu mendapatkan hadiah, kau tahu?" Aku berusaha menghiburnya. Walau itu tidak memberikan dampak yang berarti dinilai dari respon Kael yang pasif. "Ibu juga bisa menjadi teman bermain yang seru seperti Ayah."

"Hm..." Kael bergumam kecil.

Sebelum menghampiri Kael aku kembali menatap bingkai foto di tanganku dan meletakkannya di tempat semula. Kael benar-benar mirip dengan sosok ayahnya yang ada di foto.

Dunia memang tidak adil. Aku adalah orang yang mengandung Kael selama sembilan bulan tapi ketika lahir dia terlihat seperti salinan ayahnya. Yang mana menambah tingkat kepercayaan diri Elric. Dia mengatakan kalau Kael bisa sangat mirip dengannya sebab aku yang tidak bisa berhenti memikirkannya terus menerus.

Short Stories (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang