Part 12 (Affair)

10.6K 57 24
                                    

"Kepala gue lagi pusing." Nala memijat kepalanya lalu merubah posisi berbaring ke samping. Dia menatap layar ponsel yang sedang menampilkan wajah Dita—sahabatnya.

Beberapa hari ini pekerjaan Nala sangat menumpuk. Dia sering bergadang, jarang makan dan kurang istirahat. Puncaknya sekarang ketika tubuhnya tidak bisa menahan beban yang dia tanggung, mengharuskan Nala mengambil cuti karena sakit. Keadaannya memang sudah lebih baik, hanya saja pusing di kepala kembali menyambut setelah tadi sempat memaksakan diri untuk melahap beberapa sendok makanan.

Untuk membunuh waktu dan rasa bosan, Nala akhirnya menelpon Dita.

"Udah minum obat?" Dari layar ponsel, Dita terlihat sedang mengikat rambut panjangnya ke ikatan kuncir kuda.

Saat ini sedang jam makan siang. Tapi Dita meluangkan waktunya sebentar untuk menemani Nala berbicara.

"Sudah. Rasanya gak enak. Pahit." Keluh Nala. Dia menekan pipinya ke bantal, tubuhnya merinding karena sensasi pahitnya obat kembali melintas.

Dita meraih ponsel, mendekatkan benda pipih itu ke wajah agar bisa melihat wajah Nala lebih jelas. "Namanya juga obat. Kalau manis, namanya permen." Dia berdecak. "Makanya, kalau kerja harus ingat waktu. Jangan bergadang mulu. Sakit kan jadinya, repot sendiri kan. Mana susah banget minum obat."

"Hm..." Gumam Nala lemas.

"Nala. Nala." Dita berbicara dengan nada tidak habis pikir. "Obatnya jangan lupa diminum. Makan juga. Terus lo harus banyak-banyak istirahat. Gak perlu mikir kerjaan dulu, fokus aja sama diri lo sampai sembuh."

"..."

"Lo dengar kan apa kata gue?"

Nala tertawa kecil. "Iya, bawel. Gue dengar kok."

Setelah menghabiskan waktu untuk menumpahkan keluh kesah dengan Dita, perasaan Nala jadi lebih baik. Rasa lega membanjirinya. Bagi Nala, hubungannya dan Dita sudah lebih dari sahabat. Dia menganggap perempuan itu seperti saudaranya sendiri. Susah senang mereka lalui bersama. Saling menguatkan jika salah satu tertimpa masalah.

Meskipun terkadang, Dita bisa berlagak jadi kakak perempuan yang suka mengomel dan membuat Nala kesal mendengar ocehannya.

"Jangan cuma didengar. Dingat juga ucapan gue tadi."

Nah kan, dia mulai lagi. Dita dan segala kecerewetannya.

Nala mengangguk-ngangguk menanggapi.

"Gue ngomong gini karena gue peduli sama lo. Lo nyadar gak sih kalau sikap lo itu kayak anak kecil, susah banget diatur. Badan aja gede tapi minum obat gak bisa."

"Sok tau." Cibir Nala. "Gue cuma gak suka sama rasanya yang pahit."

"Lah itu kan sama aja." Tepat setelah Dita berbicara, terdengar suara seorang perempuan bertanya.

"Lo gak makan?"

Dita nampak mendongak, tersenyum kepada perempuan yang Nala tebak adalah rekan kerjanya. "Bentar lagi."

"Makan sana. Keburu habis waktunya."

"Iya, ini udah mau makan kok."

Tidak ada balasan lagi. Nala kira pasti perempuan itu hanya lewat sambil lalu dan menyapa Dita sekedar untuk basa basi. Fokus Dita sekarang juga sudah kembali ke layar ponsel. "Na." Ujarnya sebelum menunduk untuk melihat jam di tangannya. "Kayaknya kita telepon-an sampai sini dulu. Gue mau makan siang."

"Iya. Makan aja sana." Nala sedikit memperbaiki posisi kepalanya. "Nanti malah lho juga yang sakit gara-gara telepon sama gue terus gak makan."

"Berarti itu salah lho."

Short Stories (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang