21.Klarifikasi

183 27 7
                                    

Tangan Kelly tanpa sadar terkepal, telapaknya dingin dan basah dengan keringat, reaksi alami tubuh saat cemas melanda. Khawatir suaminya yang berwatak keras itu akan lepas kontrol, sehingga melontarkan kata-kata yang menyakitkan pada putri sulung mereka yang kini hanya tertunduk pasrah menghadapi persidangan ayahnya.

Berulang kali pria usia kepala lima itu menghela napas panjang, meredam berbagai emosi di dada. Terbiasa bicara tegas kepada bawahan di militer, namun saat di rumah, Hans tetaplah seorang ayah, pemimpin keluarga yang harus bersikap bijak dalam menyikapi masalah.

"Papa memberi kepercayaan kamu tinggal sendiri di Jakarta sejak usia muda, agar kamu banyak belajar. Semua perbuatanmu, baik-buruk, akan ada timbal-baliknya di kemudian hari. Harusnya kamu sudah paham. Kamu sudah dewasa, kenapa sampai melakukan perbuatan memalukan semacam ini?" Hans memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. "Betapa malunya keluarga kita dicaci-maki mantan calon besan, seolah orangtua tidak becus mendidikmu!"

Seperti yang dikhawatirkan Kelly, Hans tak henti mencecar Patricia yang sedang sesenggukan. Sebagai seorang ibu yang memiliki ikatan batin yang kuat dengan putrinya, Kelly bisa merasakan perasaan Patricia, betapa sakitnya orang terdekat yang notabene ayahnya sendiri ikut memojokkannya.

"Selama ini aku sudah berusaha, melakukan yang terbaik, tapi ada kalanya sebagai manusia aku melakukan kesalahan," ucap Patricia diselingi isakan tangis.

Di luar pintu kamar, ketiga adik Patricia; Wesley, Stanley, dan Yuanita, turut gelisah mencemaskan kakak sulung mereka, mendengar dari isakan tangisnya saja sudah membuat hati pilu.

"Jadi, kamu memintaku memaklumi Kesalahanmu, begitu? Kesalahanmu itu tak tanggung-tanggung, sampai seluruh Indonesia tau!" Nada bicara Hans semakin keras karena gagal meredam emosi yang semakin meluap-luap.

"Sudah, Pa! Patricia sudah menyesal, jangan terus memojokkannya. Sudah cukup orang-orang menghakimi anak kita di dunia maya, padahal yang tahu bagaimana anak kita, pastinya kita sendiri sebagai orangtua. Harusnya orangtua merangkul, bukan menyudutkannya!" Kelly berusaha membela putri sulungnya yang sudah luluh bercucuran air mata.

"Sudah banyak dibahas, lelaki itu adalah anak dari Gunawan Arya Wijaya, orang lama di kancah politik, sudah beberapa kali tersandung kasus pencucian uang, suka main perempuan. Papa tidak akan pernah setuju kamu berhubungan dengan anaknya. Dari bibit, bebet, bobotnya saja sudah jelek. Jangan harap orang semacam itu bisa jadi bagian dari keluarga kita, paham!"

Seharusnya Josh sudah tidak lagi dikait-kaitkan dengan papanya, karena orangtuanya sudah bercerai sejak Josh masih kecil. Tapi, yang namanya media, bila seorang publik figur sedang diterpa masalah, maka semua hal buruk tentangnya akan dikuliti sampai ke akar-akarnya.

Memasuki jam makan malam, Patricia hanya meringkuk di tempat tidur, tidak ada selera makan sama sekali.

Kelly membuka pintu, sangat sedih melihat kondisi Patricia yang tampak lebih kurus, lemak di pipinya berkurang hingga tulang pipi dan garis rahangnya tampak jelas.

Tangan lembut seorang ibu terulur, menyentuh helaian rambut putrinya. "Sebenar lagi makan malam, Mama sedang membuat soto ayam kesukaan kamu."

Patricia menyampingkan tubuhnya yang semula telentang, menghadap sang mama. "Aku tidak lapar, Ma. Besok saja."

"Jangan begitu, Sayang. Nanti kamu sakit."

"Kata-kata Papa jauh lebih menyakitkan." Air mata Patricia kembali tergenang, berjatuhan di sudut matanya yang sudah semakin bengkak.

"Jangan terlalu diambil hati. Sifat Papamu dari dulu sudah seperti itu. Ibarat selembar kertas, bila dibakar apinya akan cepat membesar, tapi cepat juga padamnya. Dia marah sekejap. Mama paling tahu, dia sangat sayang padamu. Sebelum tidur, pasti Papamu selalu melihat album keluarga, di sana tersimpan foto-foto dari masa kamu lahir. Papamu akan selalu sayang dan bangga pada anak-anaknya. Mungkin, cara penyampaiannya saja yang sedikit berbeda."

Time After Time (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang