Sudah lebih dari 20 menit menunggu, Patricia tak kunjung datang. Steven merasa heran, padahal hanya pergi menyeduh kopi, tapi sampai memakan waktu.
Di dapur, di mana seharusnya kekasihnya berada, tampak lengang. Namun, ada sedikit kejanggalan di sana, pintu kabinet atas terbuka. Steven melongok isi lemari gantung itu, ada beberapa merek kopi dan teh celup kemasan kotak. Sepertinya aktivitas Patricia di dapur terhenti sampai di situ. Steven mengedarkan pandangan, ada sebuah pintu di sana. Meski tak tahu pintu itu akan membawanya ke mana, rasa penasaran menuntunnya pada gagang pintu.
"Mas Steven, cari siapa?" Steven dikagetkan oleh suara seseorang dari belakang, gagang pintu pun kembali ia lepas.
"Patricia. Tadi saya meminta dibuatkan kopi, setelah menunggu, tidak muncul-muncul."
"Apa Mas Steven ada jenis kopi tertentu yang disuka, mungkin Mbak Patricia pergi membelinya."
Ucapan Mia terdengar cukup keras padahal dapur dalam keadaan sepi, agak berlebihan berbicara dengan intonasi tinggi.
Rupanya sengaja Mia bersuara lebih keras, sebagai kode supaya Josh dan Patricia mendengarnya. Saat Josh menarik Patricia ke pintu belakang, Mia yang saat itu sedang berada di tangga menuju lantai dua melihatnya. Dari awal memang sudah curiga. Semenjak Josh memilih Patricia menjadi partner kerja, tatapan Josh terhadap Patricia pun tampak berbeda. Naluri seorang ibu yang bisa membaca gelagat aneh dari putra kandungnya tak bisa dibohongi.
"Sepertinya begitu," ucap Steven, setuju dengan apa yang Mia katakan.
****
Setelah peresmian Coffee shop, Josh pulang lebih dulu ke Jakarta. Entah akan seperti apa bila lebih lama di sana. Bisa-bisa Josh hilang kendali karena kecemburuan yang terus bergulir seperti bola salju di atas bukit.
Josh tidak pernah menyangka, cinta akan berdampak sebesar ini dalam hidupnya. Tidak mudah untuk Josh melupakan Patricia. Sulit untuk mengikhlaskan pujaan hatinya bersama pria lain. Meski usahanya sudah cukup keras, dengan menyibukkan diri, terlibat di setiap projek baru sang mama, namun ada kalanya ia tak bisa menghindar dari bayang-bayang Patricia, terutama saat malam menjelang. Setiap inci tubuhnya selalu terbayang kala memejamkan mata, keindahan yang tiada bandingannya.
Patricia sudah tinggal terpisah dari Jill, Josh pun sudah kehilangan kontak dengannya. Patricia memblokir semua kontak yang berhubungan dengan Josh Bastian. Harusnya Josh tidak perlu memaksakan diri, sudah ditolak dengan segala cara, tetap saja tak mau mengerti. Tapi, bukan Josh Bastian bila menyerah secepat itu. Selagi meyakini hati Patricia hanya untuknya, sudah cukup menjadi alasan untuk terus berjuang.
Hanya bar yang menjadi tempat melepas berbagai stress yang merundung jiwa. Baru seteguk meminum whiskey dari gelas kristal yang masih digenggamnya, Jos dihampiri seorang pria---rambutnya blonde, kulitnya agak tan---menggeser kursi, duduk di sampingnya sembari senyum-senyum mencurigakan.
"Lo Josh Bastian, kan?" tanyanya sok akrab, dengan gerak-gerik yang tampak percaya diri. Mementikkan api pada ujung rokok putih yang terselip di bibirnya.
Josh menaruh gelas Whiskey-nya menoleh sebentar pada pria itu. "Pergilah, suasana hatiku sedang kurang baik, tidak melayani sesi foto," ujarnya dingin.
Ujung bibirnya tersungging, lucu dengan ucapan Josh. "Sorry, Bro, gua nyamperin Lo bukan pengen ngajak lo foto bareng. Gua cuma mau ngobrol santai sama lo sebagai seorang teman."
Teman?
Teman dari Hongkong!
Kenal juga engga.
Kemunculan pria itu malah menambah kepalanya mumet.
"Gue rasa, gue punya topik obrolan yang 'mungkin' bisa bikin kita nyambung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Time After Time (TAMAT)
Fiksi PenggemarBagaimana jadinya jika memenangkan hadiah undian berlibur ke luar negeri dari program Variety Show bersama penyanyi terkenal? Ini yang terjadi pada Patricia Verona, mahasiswi jurusan Interior Design. Akan tetapi, liburannya berakhir dengan mala peta...