18. Puncak Pengkhianatan

301 26 23
                                    

Suara desahan dan erangan memenuhi seisi kamar. AC yang berhembus, seakan tidak cukup menyejukkan tubuh yang sedang disergap hawa panas karena aktivitas yang mengurus tenaga.

Meski awalnya menolak, setelah jauh tenggelam dalam pusaran kenikmatan, Patricia takluk di bawah kuasa Josh Bastian yang tak henti bekerja keras demi bisa saling memuaskan.

"Josshhh...ngghh...." Patricia melenguh panjang, mencengkeram kuat-kuat punggung Josh yang sudah bermandikan keringat, diikuti gemetarnya sekujur tubuh, saat mencapai klimaks ke sekian kalinya. Rahang Patricia menengadah, dadanya membusung, mengambil napas dalam-dalam, meresapi gelombang orgasme yang sangat intens menjalar di sekujur tubuh.

Napas kasar masih menderu di dada Josh, bibirnya menyeringai, merasa bangga telah membuat Patricia terengah-engah, tunduk dalam kenikmatan, hasil dari kerja kerasnya yang selalu mendahulukan kepuasan wanitanya saat diranjang.

Setelah napasnya berangsur normal, Josh menundukkan kembali punggungnya, memandang lebih dekat wajah Patricia yang kini terkulai lemas, menatapnya dengan mata sayu. Josh menyapukan jemarinya, menyingkirkan helaian rambut di wajah Patricia. Kulit pucat yang kepanasan menjadi sedikit kemerahan, tampak semakin seksi saat dibasahi keringat.

"Kamu cantik sekali, Sayang...," suara berat yang jantan berbisik merdu di telinganya.

Dada Josh selalu terbakar hebat saat Steven memanggil Patricia 'sayang', dan sekarang ia punya kesempatan itu, ingin sepuasnya membisikkan panggilan mesra itu pada pujaan hatinya. "Sayangku, jangan pergi lagi dariku...." Josh kembali menghujani leher, pundak, dan dada Patricia dengan kecupan. Kulitnya yang harum dan lembut semakin membuatnya mabuk kepayang.

Josh kembali membenamkan miliknya yang masih tegang, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Josh menggeram, meresapi nikmatnya penyatuan itu, miliknya begitu dimanjakan oleh cengkeraman sempit dan hangat di dalam sana.

Patricia sudah sangat lemas setelah mencapai klimaksnya berkali-kali, tapi Josh masih sangat bugar, belum ada tanda-tanda akan berakhir.

Sebenarnya ini salah satu alasan Patricia ragu pada Josh Bastian. Harus berpikir berulang kali bila menjadikannya pacar atau suaminya, tak akan sanggup mengimbangi hasratnya yang seakan tidak ada kata puas. Apa pun yang berlebihan itu tidak baik kecuali duit.

****

Bangun dengan badan yang terasa remuk, Patricia perlahan bangkit. Mengambil jubah kimononya yang menjuntai di tepi ranjang. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Duduk dengan wajah tertunduk, merenungi perbuatannya. Apa itu penyesalan, bila sepanjang malam, dengan sadar menikmati kerja keras Josh yang sudah memberinya kepuasan luar biasa.

Beberapa kali menghela napas panjang. Dalam keadaan tenang seperti sekarang baru teringat kekasihnya. Tiba-tiba saja air matanya menggenang. Desah penuh sesal pun meluncur, seraya menelungkupkan telapak tangan pada wajah.

Apa yang telah kulakukan?
Begitu jauhnya aku mengkhianati cinta dan kepercayaanmu, Mas.
Maafkan aku....

Bahunya bergetar seiring dengan air mata yang semakin deras berjatuhan.

Patricia menoleh ke belakang di mana Josh masih terbaring dengan selimut yang menutup sebagian tubuh besarnya. Tidur lelap seperti bayi dalam buaian.

Kenapa kamu lagi-lagi hadir di kehidupanku, Josh? Harus pergi ke mana lagi agar kamu tidak bisa menemukan keberadaanku? Aku sudah lelah menghadapi sikapmu....

Cintanya memang lebih berat pada Josh Bastian. Lalu, kenapa Patricia lebih memilih Steven?

Ibaratnya berbelanja, Josh adalah barang mahal yang sudah sangat diimpikannya, akan tetapi di sisi lain masih banyak kebutuhan yang lebih penting yang harus dipenuhi, maka barang impian itu mau tak mau harus dikorbankan, meskipun tidak tahu kapan lagi akan punya kesempatan. Dan Steven yang menjadi kebutuhan pentingnya itu. Steven yang lebih dewasa, bisa mengayominya yang terkadang masih belum stabil secara emosi. Wajar, usia mereka saja terpaut 12 tahun, jelas secara kematangan emosi Steven jauh di atas Josh yang terkadang masih belum hilang sisi kekanakannya, karena Josh dan Patricia hanya selisih dua tahun. Emosi mereka cenderung berada di level sama, bila ada perdebatan pasti sama-sama ngotot, alih-alih satu pihak mengalah---kecuali dalam pekerjaan, Josh selalu percaya dengan kemampuan Patricia.

Saat bangkit dari ranjang, Patricia meringis, berusaha keras menyeimbangkan kakinya. Permainan gila semalam masih meninggalkan rasa perih di bagian intimnya. Berjalan tertatih berpegangan sepanjang dinding menuju kamar mandi.

Setelah mandi, Patricia menuju dapur yang letaknya berdekatan, maklum tempat tinggalnya hanya apartemen jenis studio yang tidak terlalu luas, semua ruangannya menyatu kecuali kamar mandi.

Membuka kulkas dan lemari gantung, tidak ada bahan makanan yang tersisa, karena terlalu sibuk bekerja sampai lupa belanja bulanan. Lain saat tinggal bersama Jill, dialah yang selalu memenuhi keperluan dapur, tanpa perhitungan. Makanya setelah tinggal terpisah dari kakak sepupunya itu baru terasa kebaikannya.

Patricia meninggalkan Josh yang masih terlelap, belanja barang-barang keperluan sehari-hari ke sebuah toserba terdekat.

___

Audi A7 baru saja berhenti di area parkir basemen, mobil warna abu-abu itu menjadi kendaraan paling mentereng dari sejumlah mobil yang terparkir di sana. Pria di balik kemudi membuka pintu mobil. Pesona lajang usia tiga puluhan itu kian terpancar, karena aura positifnya, membuat siapapun merasa nyaman bila di dekatnya. Meski hanya mengenakan kaos putih sederhana, dipadukan dengan jogger hitam dan sepatu olahraga dengan merek kesayangan sudah cukup membuatnya tampil menawan. Sudah dipastikan kedatangannya untuk berolahraga. Apartemen Patricia memang punya fasilitas jogging track yang sangat asri, sehingga setiap seminggu sekali selalu menyempatkan untuk lari pagi bersama. 

Kode sandi apartemen Patricia sudah di luar kepala, sehingga bisa masuk tanpa memencet bel terlebih dahulu. Sengaja karena memang tak ingin mengganggu sang kekasih yang biasanya bangun pagi lebih lambat di hari Minggu.

Melangkah lebih dalam, belum tampak sosok mungil tercinta beraktivitas. Steven tersenyum, akan jadi pemandangan yang menggemaskan bila melihatnya masih terlelap berbalut selimut seperti tupai yang sedang hibernasi di musim dingin.

Membuka pintu kamar. Apa yang dilihatnya benar-benar membuatnya tercengang.

Berantakan!

Seprai kusut, selimut sebagian menjuntai di tepi ranjang, dan ada beberapa pakaian yang bertebaran di lantai.

Steven tertegun sejenak. Belum ada hal aneh yang ia sadari, mungkin Patricia lagi malas beres-beres, pikirannya. Namun, senyumnya kian memudar ketika menemukan hoodie hitam dengan ukuran besar tergeletak di lantai, ia angkat dan rentangkan, sesukanya Patricia memakai outfit oversize tidak mungkin sampai sebesar itu. Tercium pula parfum pria pada pakaian tersebut. Baru ia sadari pula tadi saat masuk ada sepatu Nike dengan ukuran yang juga besar, melebihi ukuran sepatunya.

Rahang Steven mengeras, tangannya mengepal kuat. Ada yang tidak beres dari kekasihnya yang selama ini dikenal sebagai sosok yang baik, ternyata dia tidak sepolos yang dipikirkan.

Terdengar gemericik air dari kamar mandi. Steven masih terdiam di tempat sama, mencoba untuk berpikir positif, meskipun berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang sudah tak karu-karuan.

Tak lama knop pintu kamar mandi bergerak. Steven tertegun, menanti siapa yang akan keluar dari pintu itu, apakah Patricia, atau....

Dua pria itu saling membeliak, terkejut satu sama lain. Wajah yang sama sekali tidak asing, idolanya di blantika musik Indonesia, keluar dari kamar mandi dalam keadaan rambut basah. Jantung Steven seperti gunung berapi yang tiba-tiba meletus, memuntahkan lahar panas. Josh pun tak menyangka akan dipergoki Steven pagi itu, tubuhnya seolah membeku, menelan liur kasar, dengan mata terbelalak.

"Kurang ajar!" teriak Steven seraya menjambak kasar kerah kaus Josh Bastian dengan muka geram. "Apa yang lo lakuin di sini, berengsek! Mana Patricia?"

Bibir Josh mendadak kaku, sampai tak bisa menjawab pertanyaan Steven. Tanpa permisi, sebuah bogem menyambar rahangnya keras, sampai membuat tubuhnya oleng. Rahangnya terasa hampir copot, sakit bukan main. Josh meyepukan ujung jempol di sudut bibirnya karena terasa ada cairan kental yang meleleh. Darah.

Josh sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun dengan apa yang telah ia perbuat. Malah, menjadikan kejadian sekarang sebagai kesempatan untuk memperjelas semuanya. Semakin timbul keberanian untuk merebut Patricia dari Steven, yang selama ini kesulitan untuk mendapatkan momen. Nyebur, nyebur sekalian. Basah, basah sekalian.

"Sejak kapan...?" Dada Steven naik turun karena emosi yang meledak-ledak. Belum pernah dokter muda yang selalu bersikap tenang itu marah besar seperti sekarang.

"... Sejak kapan kalian bermain di belakangku!" teriak Steven lebih keras.

Time After Time (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang