Di depan meja rias Jill membantu Patricia menata rambutnya yang tergerai melewati bahu. Tinggal seatap menjadikan mereka saling melengkapi satu sama lain. Dua tahun kemudian, Patricia mulai kembali mencoba rambut panjang. Ya, Patricia telah merampungkan pendidikan S1-nya, gelar sarjana desain sudah tersemat di belakang namanya.
"Gimana update kerjaan lo, Pet? Udah dapet panggilan interview?"
"Gue udah ngajuin banyak lamaran kerja, belom ada panggilan. Tapi, gue sering dapet project freelence. Karena gue udah punya penghasilan, bulan ini biar gue yang belanja keperluan sehari-hari."
"Apa sih, Pet. Lo bilang gitu seolah-olah gue orang perhitungan."
"Justru karena itu, gue ga mau dianggap sebagai seseorang yang sukanya manfaatin kebaikan teman. Gue ga enak sama lo, udah sering banget ngerepotin."
Jill menggenggam pundak Patricia. "Tapi, lo kan belom punya kerjaan tetap, Pet."
"Ga apa-apa, Jill. Gue juga pengen kali ngerasain ngasih ke elo. Jangan lo mulu yang ngasih ke gue."
"Iya, terserah lo, deh. Ngomong-ngomong, gue seneng liat lo sekarang udah mulai memperhatikan penampilan. Coba liat, mantan mana yang gak pengen balikan, kalo liat penampilan lo kayak gini."
Jill sama-sama memandang pantulan wajah mereka di cermin, tersenyum puas dengan hasil riasan yang sudah terpoles sedemikian rupa di wajah sahabatnya.
"Gue ga punya mantan," jujur Patricia dengan ekspresi datar.
"Jadi, dokter Steven pacar pertama lo?"
Patricia hanya menjawab dengan anggukan seraya menghela napas berat. "Entah kenapa, meskipun perlakuan Mas Steven sangat baik sama gue, hati gue belum bisa sepenuhnya mencintai dia."
"Jangan bilang lo ga bahagia, karena cuma setengah hati ngejalanin hubungan?"
"Gue bahagia, dan gue bersyukur punya pacar seperti dia."
"Iya lah, lo gak normal kalo ga bahagia, selalu diperlakukan bak seorang ratu sama pacar lo. Terus, apa lagi yang bikin lo belum bisa sepenuhnya nyerahin hati lo?"
"Mas Steven baik, perhatian. Saking perhatiannya, kadang dalam sehari sampai berkali-kali nanyain gue lagi di mana, sama siapa aja. Bahkan, tiap ketemu, gue selalu dikasih macem-macem suplemen. Sampai-sampai laci meja lampu tidur gue yang tiga susun, udah penuh sama suplemen kesehatan yang dia kasih. Dan akhir-akhir ini dia selalu nanya apa aja yang gue makan. Lo tau kan, dari dulu gue orangnya gak terlalu suka perhatian yang berlebihan. Gue anak sulung yang terbiasa ngurusin apa-apa sendiri, dengan perhatian sebesar itu, gue malah jadi ngerasa risih dan tertekan...."
Jill manggut-manggut, selalu jadi pendengar yang baik saat Patricia curhat panjang lebar.
"....Tapi, di sisi lain, gue juga gak mau ngecewain dia. Gue tau, Mas Steven ngelakuin semua itu karena sayang banget sama gue. Meskipun, terkadang gue harus jadi orang lain buat nyenengin hatinya."
Obrolan dua dara cantik itu terhenti saat ponsel Patricia di atas meja rias bergetar, ada pesan masuk.
"Mas Steven udah nunggu di bawah. Gue berangkat, Jill," pamit Patricia, menyambar tas tangan di meja rias.
****
Senyum Steven begitu merekah, tentu saja karena sang pacar yang tampak cantik dengan riasan dan dress yang sangat serasi dengan kulit indahnya.
"Kamu cantik sekali, Sayang," ujarnya, menatap kagum wanita yang sudah setahun ini dipacarinya.
Patricia mengulum senyum, menjatuhkan pandangan pada tangannya di pangkuan. "Jill yang membantuku berias. Apa keliatan aneh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Time After Time (TAMAT)
FanfictionBagaimana jadinya jika memenangkan hadiah undian berlibur ke luar negeri dari program Variety Show bersama penyanyi terkenal? Ini yang terjadi pada Patricia Verona, mahasiswi jurusan Interior Design. Akan tetapi, liburannya berakhir dengan mala peta...