bab 15

68 14 1
                                    

Pertandingan babak kedua akan dimulai. Guru itu lagi-lagi mengawasi satu persatu muridnya, hingga matanya jatuh pada Anuradha.

"Anuradha, majulah!" titahnya.

Anuradha dengan berat hati berdiri dari duduknya. Ia mendekat ke arah guru itu sembari menyeret pedangnya. Anuradha menghela nafas, ia masih terlalu lelah, bahkan tangannya masih bergetar.

"Cahaya majulah." Anuradha semakin lemas ketika mendengar nama Cahaya dipanggil. Anuradha mengenalnya Cahaya dengan baik, mereka sama sama dari Bumantara. Masalah utamanya adalah, gadis itu amat sangat gesit.

"Ara? Kau baik baik saja?" Cahaya bertanya pada Anuradha.

"Aku baik-baik saja." jawab Anuradha. Cahaya mengangguk dengan raut khawatirnya.

Peluit kecil itu ditiup, memulai pertandingan antara dua siswi Bumantara. Suara pedang beradu, kembali terdengar.

"Bagaimana menurut mu Arjuna? Apa Ara bisa menang?" tanya Ana.

Arjuna menghela nafas pendek. "Tidak, dia akan terdesak, dia tidak bisa mengimbangi kecepatan Cahaya."

Ana kembali memandang ke depan. Melihat Anuradha yang terus mundur akibat serangan terus menerus dari Cahaya. Benar saja, tak lama dari itu Anuradha terjatuh. Gadis itu segera mengangkat kedua tangannya tanda ia menyerah.

"Apa aku terlalu keras? Apa sakit?" Cahaya sangat panik saat melihat Anuradha jatuh, ia pun segera membantu Anuradha untuk bangkit sembari menanyakan keadaan lawannya.

"Tak apa, kau benar-benar cepat Cahaya." Cahaya yang mendengar jawaban dari Anuradha pun dapat bernafas lega. Cahaya segera mengukir senyum manis, menandakan bahwa pertandingan mereka selesai dengan damai.

Saat Anuradha kembali duduk di tempatnya, ia bisa mendengar beberapa anak yang menertawakannya, namun ia tidak terlalu peduli.

"Aku ingin sekali memukul kepala mereka." kata Abian yang tadi sempat menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menertawakan temannya.

"Kalian, apa yang kalian tertawakan? Sudah merasa hebat?" Guru laki-laki itu menunjuk beberapa orang yang menertawakan Anuradha.

Bahkan Bulan yang merupakan teman pertama Anuradha malah ikut menertawakannya. Sungguh miris.

"Majulah, dan mari kita hebatnya kau hingga kau berani menertawakan orang lain." Guru itu meminta Bulan untuk maju. Gadis Ancala itu maju dengan angkuhnya.

"Anita Senjana, majulah!" Ana melebarkan bola matanya ketika guru itu memanggil nama lengkapnya. Ana meringis melihat senyum miring yang dilemparkan Bulan kepadanya.

Ketika Ana baru saja berdiri, Arjuna mendentingkan pedangnya pada pedang Ana yang menggelantung bebas. Ana pun menoleh bingung pada Arjuna.

"Jangan menahan diri." kata Arjuna memberi wejangan pada Ana. Ana pun mengangguk mengerti.

Pertandingan ketiga dimulai. Kali ini berbeda dari kedua pertandingan sebelumnya, mereka saling menatap dengan tatapan nyalang.

Pertandingan itu dimulai, di awal nampak bahwa Ana terlihat beberapa kali mundur karena serangan berulang kali dari Bulan. Namun tak lama dari itu Ana berhasil mengimbangi Bulan dan membalik keadaan.

"Ana masih tetap unggul dalam berpedang, dalam segi kekuatan maupun kecepatan, apakah orang yang mengendalikan Bulan hanya mengendalikan sihirnya..." Walaupun itu hanya sebuah gumaman, namun Anuradha dan Abian bisa mendengar  ucapan Arjuna dengan jelas.

Tak berselang lama, pertandingan tersebut berakhir dengan pedang Ana yang berada tepat di depan wajah Bulan setelah gadis itu terjatuh karena serangan Ana. Tepuk tangan diberikan untuk Ana, sama seperti saat kemenangan Abian dan juga Cahaya.

Setelah dua pertandingan lain, pelajaran tersebut selesai, mereka segera berganti pakaian dan bersiap untuk pembelajaran selanjutnya. Keempat remaja itu pun berjalan beriringan menuju ke kelas.

"Arjunaaa, kau beruntung sekali tidak harus bertanding." Anuradha berjalan gontai karena kelelahan. Arjuna hanya terkekeh kecil mendengar keluhan dari Anuradha.

"Kau tidak seharusnya iri dengan ku Ara, bahkan tanpa melakukan pertandingan badanku sudah sakit semua karena meladeni Abian." jawab Arjuna. Mereka bertiga kembali terkekeh ketika melihat Anuradha yang semakin lemas.

"Ouh iya, aku ingin menyarankan sesuatu." Secara tiba-tiba Abian berdiri di depan mereka sembari tersenyum.

"Bagaimana jika sabtu nanti kita kembali ke toko barang antik itu dan bertanya tentang pemilik buku yang kita beli, siapa tau paman pemilik toko itu tau sedikit tentang isi bukunya, jadi kita bisa mendapat petunjuk." ucap Abian.

"Ide yang bagus!" balas Ana semangat. Anuradha dan Arjuna juga setuju dengan saran dari Abian, dan mereka pun sepakat untuk kembali mengunjungi toko itu sabtu nanti.

Mereka kembali ke dalam kelas dan mulai duduk. Pembelajaran dimulai saat semua murid sudah kembali ke kelas.

Detik demi detik berlalu, bel pulang pun berbunyi. Murid-murid itu pun berdesak-desakan keluar dari kelas untuk kembali ke griya mereka. Semuanya cukup lelah, ingin segera beristirahat.

"Bagaimana dengan kandidatnya?" Anuradha bertanya kepada Arjuna.

"Ntahlah, murid dari Ancala semuanya pandai berpedang, di Bumantara mungkin Cahaya atau Aska, di Andala, aku tidak yakin, kebanyakan dari kami lemah dalam bidang olahraga ataupun bertarung senjata, oh mungkin Gema cukup kuat." Penjelasan dari Arjuna itu hanya dibalas anggukan oleh teman temannya. Yah mereka tidak akan mendapat apapun hari ini, tapi tak apa, masih ada hari esok.

Setidaknya itu lah yang mereka pikirkan hari ini.

---------

Haloo halooo, aku telat up hehe, kali ini chapternya agak pendek.

Tolong banget jangan jadi sider yaa!! Terima kasih sudah membaca.

Aksa LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang