bab 22

67 15 0
                                    

Pagi hari ini, keempat remaja griya nomor 6 tengah berjalan menuju wilayah puntadewa bersama dengan Alam dan Sahara. Keenam remaja itu saling pandang ketika melihat teman-teman mereka yang lain hanya berdiri di depan pintu kelas.

"Ada apa, kenapa kalian berdiri ramai-ramai di sini?" Abian bertanya pada kerumunan itu. Mendengar pertanyaan dari Abian, salah satu siswi menoleh untuk menjawab pertanyaan Abian.

"Biru, dia ditemukan tidak sadarkan diri di dekat gerbang hutan jenggala."

Arjuna melirik ke arah Abian yang nampak terkejut dengan jawaban seorang gadis. Arjuna masih ingat jelas bahwa kemarin malam Abian sempat mengucapkan nama Biru. Namun Abian menggeleng pelan kepadanya, seolah berkata bahwa ia tidak tahu apapun tentang ini.

"Sudahlah, ayo masuk, Biru pasti akan baik-baik saja."

Keramaian itu mulai bubar, mereka masuk ke kelas untuk memulai pembelajaran. Pelajaran hari ini berjalan dengan lancar tanpa gangguan apapun. Ketika pulang sekolah, keempat remaja dari griya no 6  memilih untuk duduk di tribun wilayah Bima untuk melihat latihan takraw dari golongan Bumantara.

"Ayo lakukan itu malam ini." kata Arjuna tiba-tiba.

"Melakukan apa?" Abian tidak fokus karna memperhatikan sepak takraw.

"Haiss, yang kita bicarakan kemarin malam."

"Aku setuju, rasanya Aksa loka sudah tidak lagi aman." Ana memperhatikan kanan kirinya, takut ada yang mendengar percakapan mereka.

Abian dan Anuradha mengangguk mengerti. Malam ini mereka harus menemukan cara untuk mengembalikan aksa loka menjadi damai kembali.

Malam harinya, seperti yang mereka rencanakan, keempat remaja itu benar benar datang ke perpustakaan. Ana dan Arjuna sibuk di depan pintu perpustakaan. Sementara Abian dan Anuradha mengawasi sekitarnya.

"Cepatlah sedikit." Abian berbisik pada Arjuna.

"Sabarlah, segel ini butuh banyak sekali mana."

Setelah berhasil membuka segel tersebut, Arjuna pun menyeka darah yang mulai keluar dari hidungnya. Sementara Ana terduduk sebentar karena pusing yang melandanya. Pintu perpustakaan itu terbuka, keempat remaja itu segera masuk ke dalam dengan saling bergandengan dengan posisi vertikal.

Ruangan itu gelap, mereka tidak bisa menyalakan cahaya karena itu mungkin akan membuat mereka ketahuan. Cahaya remang-remang dari lampu lentera di masing masing sudut ruangan adalah satu-satunya media yang membantu mereka untuk melihat.

"Hey Arjuna, kau bisa melihat sesuatu?" tanya Ana yang ada di barisan paling akhir sembari berbisik pada Arjuna yang ada di depannya.

"Tak usah mengejekku, aku tau pengelihatan ku buruk." jawab Arjuna sedikit kesal.

Abian secara tiba-tiba berhenti, membuat Anuradha dan yang lainnya saling bertabrakan karna tidak siap.

"Kita sudah sampai, ayo berhenti berbaris dan masuk bersamaan." Abian menarik Anuradha dan Arjuna agar berada di sampingnya.

Dengan langkah ragu, keempat manusia itu melangkahkan kaki mereka masuk ke ruangan terlarang itu. Bagian yang tidak pernah mereka masuki itu berhasil membuat mereka takjub. Mereka piki ruangannya akan gelap dan menyeramkan karena berisi buku-buku terlarang. Namun nyatanya ruangan itu terang. Beberapa lentera tergantung di sisi-sisi rak. Kupu-kupu magis dengan warna biru dan ungu berterbangan bebas di ruangan tersebut.

Setelah selesai dengan keterkejutannya, mereka pun segera berpencar untuk mencari buku yang mungkin bisa membantu mereka. Anuradha menyusuri rak dengan perlahan. Tangannya menyentuk kayu rak yang nampak bersih tanpa debu sedikitpun.

"Bagaimana aku bisa menemukan buku yang kami cari dari sekian banyaknya buku yang ada di sini." Anuradha bergumam sembari memperhatikan deretan buku dengan sampul gelap yang ada di depannya.

Saat tengah sibuk mengamati buku-buku tersebut, sebuah buku terjatuh dari rak secara tiba-tiba. Anuradha mengambil buku yang sudah tergelak di lantai itu. Sembari membolak balikkan sampul bukunya, Anuradha merasa ada yang aneh dengan buku itu.

"Kenapa buku ini tidak memiliki judul?" Tak ingin hanya terpaku dengan sampulnya, Anuradha pun membuka buku tersebut. Lembar demi lembar ia balik setelah ia baca. Hingga pada akhirnya matanya terhenti di satu halaman.

"Teman-teman, kemarilah!" Anuradha memanggil teman-temannya.

"Kau menemukan sesuatu?" Arjuna bertanya sembari berjalan cepat ke arah Anuradha.

Anuradha hanya menunjukkan isi buku itu kepada temannya. Mereka saling menatap satu sama lain. Urusan mereka di perpustakaan sudah selesai, mereka harus segera keluar dari sana.

"Kalian bisa menyegel itu?" Arjuna bertanya pada Abian dan juga Anuradha.

"Kami usahakan."

Yah ternyata meniru segel dari pengajar lebih sulit dari yang Abian pikirkan, mereka menghabiskan waktu lebih dari 10 menit hanya untuk meniru segel tersebut. Saat kembali ke griya, mereka langsung kembali ke kamar masing-masing untuk tidur, mereka cukup kelelahan karna menggunakan banyak mana hari ini.

Keesokan harinya, Abian sudah kembali mendapatkan semua tenaganya. Buktinya ia sudah bisa membuat Arjuna sangat kewalahan saat pemanasan di pelajaran berpedang.

"PELAN LAH SEDIKIT, SELURUH TUBUHKU BERGETAR!" Arjuna berteriak, takut suaranya tidak terdengar karena kalah dengan suara dentingan pedang.

"Hey Nua cukup, aku bilang cukup."

Abian menoleh ke samping ketika mendengar suara gadis yang nampak panik. Dari sisi lain Abian bisa melihat Wulan yang jatuh terduduk karena tidak bisa mengimbangi Nua, sementara gadis dengan nama Nua itu tetap mendekat ke arah Wulan.

Ana menangkis pedang yang dilayangkan Nua pada Wulan. Pengajar segera memegangi Nua. Mereka semua terkejut karena Nua tiba-tiba seolah hilang kendali, hampir saja gadis itu menebas kepala temannya sendiri. Wulan terdiam di tempatnya, gadis itu nampak sangat terkejut.

Ditengah Nua yang meronta-ronta karena pergerakannya tertahan, beberapa anak lain ikut hilang kendali. Mereka mulai menggerakkan pedangnya tak tentu arah.

"Kalian yang masih punya kesadaran bantu saya, jauhkan pedang dari yang hilang kendali!"

Abian, Ana, Anuradha, Arjuna, Bumantara, Alam, Sahara, Hujan, Galih, Hema, dan yang lainnya segera menuruti perintah dari sang pengajar. Pelajaran kali ini benar-benar kacau balau. Di tengah kekacauan itu, Anuradha bisa melihat, seorang pria dengan jubah hitam sedang memandangi mereka dari kejauhan. Satu-satunya hal yang membuat Anuradha tidak nyaman adalah, senyum yang terpampang di wajah pria tersebut.

--------

Sorry for typo

Aksa LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang