bab 14

74 14 0
                                    

Setelah pelajaran selesai, ketiga remaja dari griya nomor 6 segera kembali ke griya mereka, tidak ingin meninggalkan Ana sendirian terlalu lama. Sesampainya di griya, mereka segera membersihkan diri lalu berkumpul di ruang tengah.

"Ada apa? Kalian terlihat serius sekali." Ana mengerutkan keningnya melihat teman temannya yang nampak sedang berpikir dengan serius.

"Guru bilang, mantra bisa melemah dan juga maksimal tergantung dari mana yang kita alirkan pada mantra, tapi tidak bisa keluar dari fungsinya, sementara yang dilakukan Bulan, itu jelas keluar dari fungsinya." Arjuna menjelaskan hal yang mengganggu pikirannya.

"Guru bilang hal itu hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang cukup hebat, mengendalikannya." Anuradha melanjutkan apa yang tadi ia dengar dari sang guru.

Ana mengangguk mengerti, ia juga tidak yakin bahwa Bulan bisa melakukan hal seperti itu dengan kemampuannya sendiri, itu mustahil.

"Jadi kalian berpikir kalau Bulan dikendalikan?" tanya Ana. Teman temannya mengangguk, mereka memang berpikir begitu.

"Apa menurut kalian, orang yang mengendalikan Bulan adalah orang yang sama yang meneror Aksa loka akhir akhir ini?" Abian mengeluarkan asumsinya berupa pertanyaan.

"Kurasa begitu, mereka adalah orang yang sama, orang yang menguasai sihir hitam." jawab Arjuna.

"Jika benar sihir hitam, bukan kah itu berbahaya untuk Bulan?" Anuradha khawatir, mau bagaimanapun Bulan adalah temannya.

"Bukan hanya Bulan, namun juga Bara." Arjuna menghela nafas pendek.

"Hey, bukankah kalian kemarin ke perpustakaan? Apa kalian mendapat sesuatu?" tanya Ana.

Anuradha menepuk dahinya singkat, ia lupa informasi yang mereka dapat kemarin karena terlalu khawatir dengan keadaan Ana.

"Kami mendapat dua kandidat,di tahun kelulusan itu, dua orang memiliki nama yang berkebalikan dengan cahaya, satu orang dengan nama gerhana, dan satu lagi," Arjuna tidak melanjutkan ucapannya, ia membiarkan Anuradha melanjutkan kalimatnya.

"Bayang." Anuradha berkata sembari mengeluarkan kertas yang sudah terlipat lipat. Kertas tersebut berisi biodata seseorang dengan nama Bayang.

"Tentang siapa mereka, kurasa informasi ini tidak cukup berguna." Ntah sudah berapa kali Arjuna menghela nafas hari ini. Mereka semua diam, bingung dengan langkah selanjutnya yang harus mereka ambil.

Hari berikutnya telah tiba, kini adalah saatnya mereka berlatih pedang. Jika kalian bertanya, mengapa mereka harus berlatih pedang? Padahal mereka bisa menggunakan sihir? Alasannya singkat, karena sihir tidak bisa diandalkan sepenuhnya, di beberapa tempat, atau di beberapa waktu, sihir kita bisa saja menghilang.

Latihan pedang digunakan untuk melatih kekuatan tangan, juga melatih kelincahan, hal tersebut akan cukup berguna di saat saat terdesak, walaupun tanpa pedang, mereka akan kuat mengayunkan benda lain untuk penolong.

Suara dentingan pedang beradu memenuhi lapangan tersebut. Mereka secara berpasang pasangan tengah melakukan pemanasan sebelum guru akan meminta mereka untuk melakukan duel secara acak.

"Pegang pedang mu lebih kuat Ara." Ana memberikan saran kepada Anuradha. Anuradha itu cukup lihai memainkan pedang, namun tangannya masih lemah.

"Tunggu Ana, saat pedang ini menangkis pedang mu, rasanya seluruh tubuhku ikut bergetar." Ana terkekeh singkat mendengar ucapan Anuradha, temannya itu hanya melebih lebihkan.

"Kau sudah mengira ngira siapa ksatria nya?" tanya Abian sembari terus menyerang Arjuna dengan pedangnya.

"Tentu saja tidak, aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari pedang mu, menoleh sedikit saja aku yakin pedangmu sudah menancap di perut ku." Arjuna terus menangkis serangan serangan dari Abian. Laki-laki Jenggala itu sangat gesit, ia sulit sekali mengimbanginya.

"Kau berlebihan, aku bisa dikeluarkan dari sekolah jika melakukan itu."

"Baik anak anak, cukup untuk pemanasan dan latihannya."

Abian segera menurunkan pedangnya ketika suara dari guru itu masuk ke indra pendengarnya. Arjuna pun bisa bernafas lega karena bisa terlepas dari dari siksaan Abian.

Mereka semua mulai duduk berkelompok bersama teman terdekat mereka. Arjuna pun segera menghampiri Ana dan Ara, siap untuk berdiskusi.

"Kau terlihat sangat lelah." kata Anuradha yang melihat Arjuna duduk sembari mengatur nafasnya.

"Lihatlah dirimu sendiri Ara, tangan mu bahkan masih bergetar." Anuradha hanya tersenyum menanggapi Arjuna, yah tangannya memang bergetar karena terlalu kuat memegang pedang.

"Aku berharap bukan aku yang dipanggil." Arjuna kembali berujar, ia benar benar lelah dengan semua serangan Abian.

"Baiklah, mari kita mulai pertarungannya, kira kira kita harus mulai dari siapa..." Guru itu mengamati satu persatu muridnya, banyak dari mereka yang terlihat kelelahan.

"Hmm, Abian berdirilah!" Mendengar namanya disebut, Abian pun menurut, ia segera berdiri sembari memegang pedangnya.

"Satu lagi, Damar, lawan dia!" laki-laki dengan rompi merah itu mengangguk, lantas berdiri berhadapan dengan Abian.

"Aturannya sama, siapa yang bisa membuat musuh terpojok dan menyerah dia pemenangnya, untuk menyerah, kalian bisa mengangkat kedua tangan kalian." Kedua murid itu mengangguk, mengerti dengan peraturannya.

Abian mulai mengangkat pedangnya dengan tangan kanan, lawannya melakukan hal serupa. Setelah peluit ditiup, pertarungan itu dimulai. Keduanya sama sama terus melayangkan serangan dan hanya beranjak sedikit untuk menghindar.

"Bukankah dia hebat? Dia bisa mengimbangi Abian." kata Anuradha. Sejauh ini memang mereka terlihat imbang, belum ada yang terdesak.

"Tidak, Abian belum apa apa, dia baru saja menaikkan kecepatannya." Baru saja Arjuna berkata demikian, laki-laki dengan nama Damar itu harus mundur dua langkah ke belakang karena serangan cepat dari Abian.

"Abian belum melakukan apapun, kau lihat? Damar sudah memegang pedang dengan kedua tangannya, sementara Abian hanya dengan satu tangannya." Arjuna memperhatikan pertandingan di depannya dengan seksama.

Damar mundur beberapa langkah. Abian juga melakukan hal serupa, ia membiarkan musuhnya mengambil nafas terlebih dahulu.

"Ketika Abian sudah memegang pedang itu dengan kedua tangannya." Seolah mendengar ucapan Arjuna, Abian menggerakkan tangan kirinya untuk memegang pedang.

"Damar akan kalah dalam sekali hentakan." lanjut Arjuna.

Abian maju, begitu pula dengan Damar. Damar berhasil menangkis pedang Abian. Namun ternyata sia-sia, ia kalah kuat, pedangnya terlempar, ia tersentak kebelakang dan terjatuh. Damar segera mengangkat tangannya, tidak ingin melanjutkan pertandingan ini.

"Kau pengamat yang mengagumkan Arjuna." Ana menatap Arjuna dengan kagum, begitu pula dengan Anuradha.

Peluit ditiup, tanda pertandingan selesai. Abian mengulurkan tangannya, membantu Damar untuk berdiri. Dengan senang hati Damar menerima uluran tangan tersebut.

"Kau benar-benar hebat Abian." Damar merangkul Abian.

"Kau juga." Abian tersenyum pada Damar. Yah syukurlah Abian menang dengan damai. Guru mempersilahkan mereka untuk duduk, lalu ia bersiap untuk memilih siapa yang akan bertanding selanjutnya.

--------

Untuk chapter selanjutnya masih terkait sama pedang.

waee?? kenapa ini ke unpublish?

Aksa LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang