bab 11

69 16 2
                                    

Seperti yang direncanakan, Arjuna dan Anuradha pun bergegas pergi ke perpustakaan. Tempat penuh buku itu kini sedang sepi, dikarenakan ini hari libur, banyak orang memilih berlibur ke tempat yang membuat mereka nyaman dan jauh dari buku.

Arjuna dan Anuradha berjalan di jajaran rak yang ada di sebelah timur. Pustakawan bilang bahwa di sana ada beberapa buku tahunan dari tingkat tingkat sebelumnya, dan murid bisa melihatnya, namun tidak boleh dipinjam.

"Arjuna, kemari." Anuradha melambaikan tangannya meminta Arjuna untuk mendekat ke arahnya.

"Sudah ketemu?" tanya Arjuna sambil mendekat. Anuradha mengangguk pelan, sedikit ragu dengan apa yang dia temukan.

Anuradha menunjuk salah satu halaman yang berisi foto seorang laki-laki dengan biodata singkat di bawah fotonya. Laki-laki dengan nama Gerhana itu terlihat tersenyum ramah pada fotonya.

"Ara, bukankah rasanya ini agak..." ujar Arjuna lirih.

"Tidak benar? Ya, aku juga merasa bahwa itu bukan orang ini, tapi hanya orang ini satu satunya orang yang namanya berkebalikan dengan cahaya." Anuradha menghela nafas singkat, cukup frustasi dengan teka teki ini. Mereka sudah berdiri 30 menit untuk mengecek beberapa buku tahunan, namun mereka tidak menemukan apapun.

Arjuna ikut menghela nafas, ia mengedarkan pandangannya acak karena frustasi, hingga akhirnya netranya menangkap secarik kertas yang berada di dekat sepatu Anuradha.

"Ara, mundur lah." Anuradha jelas bingung dengan perintah tiba tiba dari Arjuna, namun ia tetap mundur seperti yang diperintahkan.

Arjuna mengambil kertas tersebut, lalu membalik balikkannya. Sepertinya kertas itu terjatuh dari buku yang dipegang oleh Anuradha. Senyum mengembang ketika melihat nama yang tertera di kertas tersebut.

"Ara." Arjuna memperlihatkan kertas itu pada Anuradha. Gadis di depannya itu ikut tersenyum sembari mengangguk singkat. Keduanya memandangi sekitar, memastikan tidak ada orang yang akan melihat aksi mereka.

Arjuna melipat sobekan kertas itu menjadi lipatan kecil, lalu memasukkannya ke dalam saku celananya. Sementara Anuradha mengembalikan buku yang ia bawa ke rak di depannya.

"Ayo kembali, aku ingin tidur siang." ajak Anuradha.

"Ayo, aku juga lelah." Keduanya pun melangkah keluar perpustakaan seolah tidak melakukan apapun.

" Keduanya pun melangkah keluar perpustakaan seolah tidak melakukan apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja telah menyapa. Langit kini berwarna jingga. Burung burung berterbangan untuk kembali ke sarangnya. Begitu juga dua insan yang terlambat kembali ke griya karena latihannya.

"Kau tidak harus menunggu ku, kau jadi terlambat kembali." ujar Ana pada Abian yang berjalan pelan di sebelahnya.

"Mengapa tidak? Lagipula tempat yang kita tuju sama, lebih baik bersama daripada sendirian, apalagi kau seorang perempuan." jawab Abian.

Ana memicingkan matanya pada Abian. Sementara Abian nampak tersenyum miring padanya.

"Memangnya kenapa kalau aku perempuan? Kau pikir aku lemah heh?" tanya Ana tidak terima. Abian tertawa pelan sembari menggelengkan kepalanya.

"Tidak tidak, aku tau kau kuat, hanya saja tidak baik berkeliaran sendirian saat senja seperti ini, siapa tau ada buaya yang akan menculik mu, dan kau akan terhipnotis olehnya." Abian berusaha bergurau. Ana ikut terkekeh pelan.

"Kau pikir aku perempuan macam apa?" kata Ana sembari terkekeh. Kedua orang itu terus berjalan sembari berbincang bincang singkat. Wilayah bima dan drupadi memang agak jauh, itu akan memakan waktu.

Saat tengah santai berjalan, tiba-tiba sebuah bola api menerjang Abian, untung saja Ana segera menarik baju Abian ke belakang.

"Yak, apa apaan ini." Abian berteriak sembari kembali mundur ketika menyadari api itu masih menyala dan secara acak berusaha mengenainya ataupun Ana.

"Apa ini? Kenapa api ini tidak mau padam." Ana berkata panik sembari mengacungkan tongkatnya. Ia sudah berusaha merapalkan mantra yang sekiranya bisa memadamkan bola api tersebut, namun nihil, api itu tidak kunjung padam.

"Kenapa malah bertambah?" Abian terus berusaha menghindari bola api itu sembari melontarkan mantra mantra. Bola api yang tadinya hanya ada satu kini bertambah menjadi empat. Kedua remaja itu cukup kesulitan merapalkan mantra sembari bergerak menghindari api itu.

Abian berusaha mendekat ke arah Ana, namun bola bola merah itu menghalanginya, benar benar menjengkelkan.

"Aissh." Ana berteriak merintih ketika tangannya terkena bola api tersebut, ia melompat ke belakang untuk menghindari bola yang satunya, namun karena tangannya terkena api, ia refleks melepaskan genggaman pada tongkatnya.

"Ana!!" Abian panik ketika melihat luka kemerahan di tangan Ana.

"Tongkat ku." ujar Ana. Gadis itu berusaha mengambil tongkatnya, namun bola api itu menyerangnya dan membuatnya semakin menjauh dari tongkatnya.

"Na Rama!" Mantra itu adalah satu satunya mantra yang berhasil mengenai api tersebut, membuatnya terpental ke belakang beberapa meter. Abian pun mengambil kesempatan itu untuk mendekat ke arah Ana yang semakin terdesak.

Ketika sudah berhasil menggapai Ana dan menolongnya, lagi lagi bola api itu datang, membuat tongkatnya terpental cukup jauh ke samping. Abian jelas panik, kini mereka berdua benar benar terdesak. Bola api itu tiba tiba bergabung menjadi satu, dengan ukuran yang cukup besar. Abian menarik Ana untuk berdiri di belakangnya ketika bola itu mulai mendekat. Abian kalang kabut, ia harus menyelamat Ana bagaimanapun caranya.

Ketika dalam keadaan mendesak, Abian tiba-tiba merasakan sesuatu di genggamannya, tanpa berpikir dua kali, ia segera mengayunkan apapun itu yang ada di tangannya ke arah bola api tersebut. Betapa terkejutnya Abian ketika melihat yang ada di genggamannya adalah sebuah pedang dengan cahaya hijau dengan pola daun semanggi di genggamannya.

Bola api itu hancur berkeping keping ketika terkena pedang yang di bawa Abian. Ana yang melihat itu pun terduduk lemas, merasa lega bahwa hal melelahkan ini sudah berakhir.

"Ana, kau terluka." Abian berkata panik melihat luka di tangan Ana, tak hanya di tangannya, namun juga di kakinya. Itu pasti menyakitkan, namun Ana masih bisa berdiri dan menghindari bola bola itu, gadis itu benar benar kuat.

"Lagi lagi aku hanya bisa diselamatkan." Gadis itu menunduk dengan raut wajah bersalahnya.

"Tidak, kau masih bisa menghindari api api itu dengan luka luka ini, kau hebat." Abian mengusak rambut Ana pelan.

Abian berdiri untuk mengambil tongkatnya dan juga tongkat Ana, lalu ia memindahkan tas nya ke depan dan berjongkok di depan Ana.

"Ayo kembali, Ara dan Arjuna pasti mengkhawatirkan kita." ajak Abian tanpa menyadari bahwa pedang di genggamannya sudah hilang.

"Terima kasih, tapi aku bisa berjalan sendiri." tolak Ana secara halus.

"Aku tau kau bisa, tapi aku tidak mau di pukul Arjuna dan diceramahi Ara karena membiarkan mu berjalan dengan keadaan seperti ini."

Ana diam, rasa perih menjalar di kakinya dan juga tangannya, pada akhirnya ia memilih menurut, mengalungkan tangannya di leher Abian.

"Terima kasih." ujar Ana lirih. Abian hanya membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang bahkan tidak bisa dilihat oleh Ana.

-------------------

Halooo akhirnya aku up hehe. Semoga kalian tetep nikmatin ceritanya ya, maaf kalo adegannya g kerasa, aku kurang bisa bikin adegan aksi.

Kenapa nama mantra nya na rama? karena rama itu salah satu tokoh protagonis di perwayangan, cukup terkenal. Dan aku juga g tau harus pake mantra yang kaya apa, jadi beberapa mantra g akan di jelasin secara rinci.

Aksa LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang