Keinginan Chaeyoung untuk hidup mandiri kini sudah terealisasi. Baru tahun kemarin ia berdebat perihal keinginan untuk keluar dari rumah orangtuanya.
"Nggak ah, nanti kamu nggak ada yang ngawasin kalo jauh dari rumah"
Hingga kini, kalimat itu masih terngiang dalam benaknya. Katanya anak tengah itu mendapatkan perlakuan berbeda dari orangtua, Namun berbeda dengan Chaeyoung yang amat disayangi oleh kedua orangtuanya.
Lalu apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Chaeyoung merasa telah terlalu menggantungkan harapan pada keluarganya, sehingga ia merasa kebingungan untuk menjalani hidup seperti biasanya.
Stigma mengangis menandakan kelemahan membuat ia merasakan penderitaan yang lebih. Bahkan di hari pemakaman keluarganya ia menahan segala kesakitan dan tentu air matanya.
========
Dua ekor anjing sibuk berlarian, menyalak saling bersahutan dan sesekali menengok ke belakang, seperti memeriksa jika saja tuannya tidak meninggalkan mereka. Tiga jelita muda bermain berkejaran, sambil membawa cabang pohon sebagai senjata mainan, riang tawa mengiringi tiap langkah mereka. Di belakang sana, sepasang orangtua terlihat cemas, khawatir jika mereka terjatuh dan terluka.
"Chaeyoung, tolong jangan main ranting kayak gitu! Bahaya!"
Seiring langkahnya berhenti, lamunan pun sirna. Rasa kecewa menghampiri Chaeyoung, lantaran kabut pagi menghalangi keindahan danau yang memesona, terselimuti oleh pemukiman yang jarang ditempati. Namun, keindahan yang terpancar dari ketenangan pemukiman tersebut, semakin memperlihatkan pesona tempat tersebut. Dalam jarak yang cukup jauh dari modernisasi, suasana yang masih alami menjadi daya tarik tersendiri. Dan itulah yang membuat Chaeyoung betah berlama-lama di sana, menjauh dari hiruk-pikuk dan kepenatan kota, yang selalu mengejar waktu dan uang.
Chaeyoung menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar dan sejuk yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tenang dan damai, seperti menemukan tempat yang selama ini ia cari. Meskipun awalnya terganggu oleh kabut pagi yang menghalangi pemandangan indah danau, namun kini ia menyadari bahwa keindahan danau tersebut tidak hanya terletak pada pemandangannya, tetapi juga pada ketenangan dan kedamaian yang terpancar dari sekitarnya.
Perempuan itu menurunkan ransel berisikan biji kopi, grinder manual dan peralatan lainnya. Bukan membuka isi tas tersebut, ia malah menyandarkan tubuhnya ke batang pohon besar dan mencoba menikmati desau angin di tengah udara yang dingin.
Sekilas matanya kosong, namun pikirannya gemerlap dengan kenangan. Ia masih terhanyut dalam belum jua sirna ingatan tentang masa bersama keluarganya. Sebuah pertanyaan yang tak henti bergelayut dalam benaknya.
"Kenapa harus aku?"
Saat angin berbisik di telinganya, Chaeyoung memperhatikan gemerisik di alat komunikasinya. Suara seseorang terdengar dari walkie talkie yang terhubung dengan rumahnya. Hanya itulah yang bisa dia andalkan untuk berkomunikasi, sebab daerah itu minim sinyal.
"Chaeng, udah mendung! Cepet balik! Sepuluh detik ngga ada respon gue susul ke danau" suara seorang di seberang sana.
"Ya" sambar Chaeyoung setelah lawan bicaranya berhenti bicara.
Walaupun baru saja beristirahat, kini ia harus berjalan lagi. Perjalanan kali ini cukup singkat, sebelumnya Dahyun telah melarang, karena diperkirakan hari ini akan turun hujan lebat. Namun Chaeyoung yang keras kepala tidak memperdulikannya.
Dia memilih untuk mengenakan jaket tebal untuk mengantisipasi hujan yang mungkin turun. Chaeyoung merasa yakin bahwa dia bisa menyelesaikan perjalanannya dengan aman, karena dia telah melakukan perjalanan ini beberapa kali sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti-Hero
Fanfiction(((Completed))) ⚠️⚠️⚠️⚠️Warning! This story contains adult content and harash word. Please be wise in your reading choices⚠️⚠️⚠️⚠️ !!!!!!!!!!!Besides fanfiction, this story is also an angst story.!!!!!!!!!! Setelah kepergian keluarganya yang tragis...