Chaeyoung terhanyut dalam lautan kegelisahan, matanya pecah mencerminkan keresahan. Kalimat-kalimat Mina mencengkeram pikirannya, meruntuhkan keyakinan Chaeyoung pada perasaannya terhadap Sana. Seandainya harus jujur, keraguan telah menghampiri hatinya saat ini.
Seperti ranting-ranting yang menjalar, pikirannya berkeliaran, tak mampu mencurahkan perhatian pada Sana yang mengeja kisah riang dengan orangtuanya kemarin, sembari menghiasi kuku Chaeyoung dengan kuteks.
Seperti kilat yang menyambar malam, naluri peka membelah jiwa sang pencerita. Diam-diam ia merasakan kegelisahan yang mengganggu Chaeyoung, dan dengan hati-hati ia berhenti bercerita, memandang kekasihnya dengan tatapan penuh perhatian. Meski Sana berusaha menahan emosinya, ia tahu bahwa kemarin ada peristiwa yang membuat Chaeyoung terguncang.
"Mina kemarin kesini, ya?" Pertanyaan itu mengejutkan Chaeyoung dari khayalannya. Kegelisahan terpancar dari tatapan Chaeyoung, mengkonfirmasi prasangka Sana. Meski tersenyum, kepedihan terlihat jelas di wajah Sana yang memahami bagaimana cara permainan Mina.
"Aku tahu keputusan aku pasti ujungnya bakalan bikin kamu engga nyaman, tapi aku mau pertahanin kamu. Aku mau egois dan kayaknya aku harus gitu" ucap Sana sambil sibuk menghias kuku Chaeyoung tanpa menatap ke arahnya.
Tak perlu dijelaskan hingga terang benderang, namun Chaeyoung meraih makna yang tersirat, tanpa mengucapkan kecemasannya. Sana mungkin tak salah, namun keraguan merayap di relung hati Chaeyoung. Adakah perasaan Sana padanya tulus atau hanya sekadar ingin meraih kemenangan atas orang lain?
"Unless you decide now, mau lanjut sama aku atau mau balik lagi ke Mina" Chaeyoung terkejut dengan ketenangan Sana dalam menangani masalah hubungan mereka. "Kenapa?" lanjut Sana dengan memandang Chaeyoung, yang sedang terkesima mendengar kata-katanya.
"I treated you well, and even if I lose you later, I have no regrets." Benar apa yang Sana ucapkan, dia telah memberikan harta karun berupa tindakan lembut dan kehadiran yang berharga untuk Chaeyoung. Namun pikiran Chaeyoung malah terus-menerus melilit dan menyayat hatinya sendiri. Perjalanan ceritanya dengan Mina belum usai atau bahkan belum menemukan awal yang pasti.
Chaeyoung merasa terjebak dalam kebimbangan antara perasaannya sendiri dan ketakutannya menyakiti orang lain. Meskipun dia merasa senang dengan kehadiran Sana, namun dia tidak bisa menahan perasaannya terhadap Mina. Chaeyoung merasa bersalah karena bagaimanapun perasaanya pada Sana terbagi, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Mina.
Chaeyoung berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat dan mengatasi kebimbangan dalam hatinya. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang tepat dan tidak menyakiti hati siapa pun di antara mereka. Namun, bagaimana caranya?
Tidak mudah untuk menyelesaikan masalah hati yang rumit seperti ini. Namun, Chaeyoung yakin bahwa dia akan menemukan jalan keluar yang tepat dan mengambil tindakan yang bijaksana. "Kasih aku waktu, ya?"
Chaeyoung merenungkan situasinya dengan hati-hati. Dia mempertimbangkan semua faktor yang terlibat dan memikirkan konsekuensi dari setiap tindakan. Meskipun dia merasa tertekan oleh keadaan, Chaeyoung berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada solusi.
Dalam keheningan, terasa kecanggungan yang mengikat. Dua hati yang saling terikat merasa tegang, ketika segala kegelisahan mulai terungkap. Sana merasa tidak nyaman, tetapi lebih tidak nyaman lagi jika harus menahan perasaannya sendiri. Komunikasi tiba-tiba mengering dengan kekasih tentu membuatnya sakit.
Jam menunjukkan pukul tiga sore, tapi kali ini, Sana ragu untuk berlama-lama di dekat Chaeyoung. Ia menyadari kegelisahan yang terukir di wajah Chaeyoung, membuatnya merasa bersalah. "Aku mau pulang," bisiknya.
Sementara Sana bersiap-siap meninggalkannya, Chaeyoung terdiam. Hati dan pikirannya berkecamuk, dan kesendirian tampaknya menjadi jalan satu-satunya. Ia harus merenung, memikirkan dengan matang pilihan-pilihan yang harus diambil.
Sepanjang langkah Sana, bisikan lembut Chaeyoung merayap ke telinga sang perempuan, "Maafin aku." Kata-kata itu berhasil membuyarkan keseimbangan Sana, air mata pun tak terbendung. Tanpa membalikkan tubuhnya, Sana meninggalkan Chaeyoung seorang diri, menangis.
==========
Kegelapan di dalam kamar Sana memenuhi ruangan, menimbulkan kecemasan pada ibunya. Gadis itu masih terkunci di dalam kamar dan belum juga makan sebutir nasi pun. Setelah pulang dari rumah Chaeyoung, kesedihan terpancar jelas dari wajah Sana. Ibunya mengerti bahwa putrinya pasti bertengkar dengan kekasihnya itu
Sementara Sana yang sedang berada di ruangan hanya diam, air matanya sudah enggan mengalir kembali. Dalam keheningan ia berpikir, mengapa ia selalu diperlakukan seperti ini oleh orang lain? Sana merasa bahwa dirinya selalu memperlakukan kekasihnya dengan baik tapi kenapa ia selalu menjadi pilihan kedua. Hal seperti ini bukan sesuatu yang baru bagi Sana, maka dari itu dia bisa menyikapi kejadian ini dengan tenang, namun kali ini ia ingin bertahan. Sana enggan melepaskan Chaeyoung, Sana tidak mau lagi merelakan kebahagiaannya direnggut oleh orang lain.
"Sayang, ngobrol yuk sama mamah" Dengan langkah lembut, Sana melangkah keluar dari kamarnya. Ia selalu terbuka pada ibunya, sehingga menghadapi situasi seperti ini tidaklah sulit baginya untuk berbicara.
Kesedihan menyelimuti Sana saat ia menatap wajah perempuan paruh baya itu, air mata mengalir deras di pipinya. Ia hanya bisa memeluk perempuan itu dalam diam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Mamah Sana tampak lebih kesakitan lagi, menyaksikan anaknya dalam keadaan seperti itu. Namun, keputusan ada di tangan Sana, dan ia tidak punya hak untuk ikut campur dalam masalah ini. Ia hanya bisa memberikan tempat yang aman bagi putrinya setiap kali ia terluka.
"Anak mamah kuat, semua pasti bisa kamu lewatin," bisiknya lembut sambil membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang.
Dalam pelukannya, sang putri tercinta menangis tersedu, membiarkan kepiluan hatinya merajai dirinya. Meski ia mengerti kesakitan yang dirasakan oleh Sana, namun ia tak ingin memulai percakapan jika Sana tak mengizinkannya. Aturan itu telah tertanam dalam keluarga mereka. Kendati demikian ibunya ingin menunjukkan pada putrinya bahwa ia selalu ada untuknya, meski dalam keadaan apapun.
Setelah beberapa saat, Sana meraih nafas dan memandang ibunya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Perempuan itu tersenyum lembut, memberikan dukungan tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun. Namun, untuk saat ini, pelukan ibunyalah yang cukup untuk membuat merasa tenang.
"Udah tenang? Mau cerita?" Pertanyaan itu kembali sukses membuat Sana makin tersedu, "Aku— aku sakit hati mah tapi aku engga bisa apa-apa. Aku lebih takut Chaeyoung sakit hati kalo aku ungkapin perasaan aku ke dia. Aku takut dia down lagi— aku gamau Chaeyoung bingung tapi aku juga gamau kehilangan Chaeyoung" Sana mengekspresikan segala keresahannya dalam helaan nafas yang tak teratur. Kata-kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti berlomba dengan isakan dan tangisannya.
"Kasih dia waktu dulu. Tunggu waktu yang pas buat ngobrol sama Chaeyoung. Jangan sampe masalahnya terbengkalai. Pastiin diselesaikan dengan kepala dingin ya!" Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir sang ibu, Sana merenung, berharap dapat menerima dengan bijak. Ibunya pun enggan menyelipkan benih-benih asumsi lainnya yang mungkin bisa memperburuk keadaan pikiran anaknya.
**********
Chaeyoung sama mamahnya Sana aja ya? Bijak banget soalnya haha
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti-Hero
Fanfiction(((Completed))) ⚠️⚠️⚠️⚠️Warning! This story contains adult content and harash word. Please be wise in your reading choices⚠️⚠️⚠️⚠️ !!!!!!!!!!!Besides fanfiction, this story is also an angst story.!!!!!!!!!! Setelah kepergian keluarganya yang tragis...