Memulai Kembali

169 19 2
                                    

Saat matahari mulai turun pada sudut 270°, langit berubah menjadi warna jingga yang lembut, perlahan-lahan memudar ke dalam kegelapan. Jam menunjukkan pukul 17:48, dan langit yang tadinya cerah kini mencerminkan kesuraman di hati Chaeyoung setelah kepergian keluarganya. Yang bisa dilihatnya hanyalah abu-abu!

Matanya terpaku pada jalan raya yang penuh sesak dengan kendaraan, keringat hampir membasahi dahinya saat jantungnya berdegup kencang. Dia tidak tahan melihat mobil-mobil melintas dengan kecepatan siput. Meskipun tidak separah sebelumnya, hanya dengan melihat mobil atau kendaraan apa pun membuat Chaeyoung merasa tidak nyaman. Rasa takut dan trauma yang luar biasa terus menggerayangi pikirannya.

Tidak tahan melihat lalu lintas lebih lama lagi, bahkan dengan kecepatan lambat, Chaeyoung memalingkan pandangannya, menyerah pada traumanya.

"Mau pada nginep disini? Pulang aja lah atau nanti kita yang nginep di rumah mamih tapi engga sekarang. Soalnya sekarang Chaeyoung harus istirahat. Lagian disini juga sempit engga ada tempat tidur lagi" titah Dahyun pada kedua orangtuanya. Chaeyoung menatap Dahyun dengan tatapan yang kurang bersahabat. Bukan karena Chaeyoung yang ingin beristirahat, melainkan karena Dahyun ingin segera tidur.

Sebelumnya, Dahyun tidak tidur semalaman karena bermain game. Setelah hampir satu tahun tidak bertemu, Dahyun merasa tidak pantas untuk mengusir orangtuanya.

"Mamih mau mastiin Chaeyoung baik-baik aja kok. Chaeyoung tinggal sama mamih aja deh, mamih juga mau rawat dia. Apalagi kamu engga punya kerjaan, mau dikasih makan apa Chaeyoung?" dengus perempuan tersebut pada anak bungsunya.

"Apasih mih? Dahyun paling tahu soal Chaeyoung ya! Kita juga udah sepakat buat bareng-bareng pas susah atau senang. Kalo sekiranya mamih engga mau ngasih uang ke aku, jangan mention masalah gimana cara aku ngasih makan Chaeyoung dong" Dahyun mengucapkan itu seakan-akan ia memahami keadaan Chaeyoung dengan sangat baik.

Saat Chaeyoung hendak berbicara, tiba-tiba ia diinterupsi oleh panggilan masuk dari ponselnya. Alisnya berkerut karena terkejut saat ia melirik ke layar. Nama yang tertera bukanlah nama wanita yang sering ia hubungi akhir-akhir ini, tapi—

"Eh, Mina?" Bukan Chaeyoung yang berbicara, tapi Dahyun yang meraih ponselnya.
Saat panggilan telepon ia angkat, Dahyun segera menjauhkan ponsel dari telinganya. Chaeyoung tersenyum, ia tahu bahwa Mina pasti mengomel karena pakaiannya belum dikembalikan.

"Lusa gue balikin. Hari ini gue engga bisa keluar ada nyokap gue" jelas Dahyun, "Hah? Sekarang? Oh yaudah—Eh iya tahu Na haha. Jadi gini ya—" Dahyun mulai bergosip, dan Chaeyoung mengerti. Ia diam-diam menyelinap pergi ke kamarnya, dengan senyuman Dahyun yang melebar, pertanda bahwa ia menikmati percakapan yang menarik itu.

"Tante khawatir deh, kerja dia cuma gitu? Katanya jagain kamu. Gimana sih itu orang?" Chaeyoung terkekeh mendengar tantenya mengatakan hal itu. Ada rasa ketidaknyamanan bagi Chaeyoung, rasa bersalah, ia takut jika sebenarnya ia hanya merepotkan semua orang.

"Tante makan aja duluan, Dahyun engga akan makan sekarang, paling sejam lagi. Kalo udah ngerumpi dia emang kayak gitu" lengkungan senyuman tergurat di wajah manis Chaeyoung.

Sungguh menyejukkan hati melihat senyum merekah di bibir Chaeyoung, meskipun rona duka masih terngiang jelas dalam pandangannya. Tangan tantenya mengepal erat tangan Chaeyoung. Walau sejujurnya, Chaeyoung merasa sedikit tidak nyaman menatap tantenya yang merupakan sosok kembaran dari mendiang ibunya.

Dalam bisikan selembut angin, suara seorang wanita memohon, "Maaf banget sebelumnya tapi kakak kamu udah tahu soal rumah mau dijual? Tante engga setuju kalo rumah dijual terus kakak kamu engga tahu." Chaeyoung terdiam, hatinya berat membayangkan harus melepas rumah yang penuh dengan kenangan indah. Rumah itu menjadi saksi perjalanan orangtuanya, perjuangan dan kemenangan mereka terjalin dalam fondasinya.

Anti-HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang