-
Penerbangan yang hampir satu setengah jam sampai ke ibu kota, Irene tidak tau pasti alasan kenapa ia bisa berada disini sekarang. Didepan pintu rumah yang sudah tidak asing lagi untuknya. Seorang penjaga keamanan senior yang sangat mengenalnya diluar langsung membuka pagar dan mengijinkannya masuk. Sudah terlambat untuk berbalik badan saat pelayan rumah membukakan pintu untuknya setelah mendengar bel berbunyi. Tidak ada yang berubah dari rumah besar ini kecuali suasananya yang teramat sepi dan kelam.
"Nyonya Hana ada di kamarnya. Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri, Bibi Anna." Irene tersenyum melihat wanita paruh baya ini, Bibi Anna yang dari dulu setia melayaninya dan keluarga Sean.
"Tentu Nyonya muda Sea— maksudku Nona Irene. Maafkan aku." Bibi Anna tersenyum segan. Ia hanya terlalu senang karena melihat Irene lagi sampai tidak bisa mengontrol kata-kata di mulutnya.
"Tidak apa, Bibi Anna." Irene tersenyum kecil sambil mengangguk. Sudah lama sekali dan baru sekarang ia mendengar sebutan itu lagi. Sebutan yang dulu membuatnya sangat bangga. Nona Sean atau Nyonya muda Sean. Apa Irene merindukan sebutan itu?
Bibi Anna yang berjalan dibelakang hampir menabrak punggung Irene yang tiba-tiba berhenti melangkah di anak tangga. Irene termenung melihat foto besar yang menggantung di dinding didepannya ini. Tuan Adriel dan Nyonya Hana yang duduk di kursi sementara Sean berdiri tegap di tengah-tengah keduanya. Senyum ketiganya terlihat sangat bahagia dan bangga, terlebih untuk Sean. Senyum menawan yang bisa membuatmu ikut tersenyum. Potret yang sangat berbeda jauh dari diri Sean yang ditemuinya kemarin. Foto ini diambil sehari sebelum Sean diangkat oleh ayahnya menjadi CEO yang baru di perusahaan mereka. Tentu Irene tau ceritanya.
"Kau baik-baik saja, Nona?" tanya Bibi Anna yang sejak tadi memperhatikan. Ia tau alasan kenapa Irene seperti ini tapi ia tidak ingin lancang kepadanya.
"Oh, ya, tentu, maafkan aku." Irene tersenyum kecil, menutupi kesedihannya yang merindukan Tuan Adriel, ayahnya. Jika boleh jujur, Irene merindukan semua orang yang dikenalnya disini. Kenangan-kenangan baik itu membuat hatinya tersentuh.
"Aku senang kau kembali, Nona." Bibi Anna memberikannya pelukan singkat namun hangat, seakan tau kalau pelukan seperti itu yang dibutuhkan Irene sekarang. Bibi Anna ada diantara mereka saat badai itu datang merobohkan rumah tangga Irene dan Sean malam itu. Bibi Anna tidak marah ataupun tersinggung saat Sean memecatnya. Sejak hari itu, ia kembali bekerja melayani Tuan Adriel dan Nyonya Hana.
Irene membuka pintu kamar dengan pelan, tidak ingin mengejutkan seseorang yang ada didalamnya. Dadanya sesak sesaat melihat sosok ibu paruh baya yang sekarang sedang termenung sendiri di kursi rodanya, tidak menyadari kedatangannya. Terakhir kali mereka bersama adalah dirumah, menyiapkan makan malam bersama sebelum kejutan itu merubah segala yang manis menjadi pahit. Irene melihat gerakan dari ibunya saat ia menutup pintu dan perlahan melangkah masuk.
"Bisa kau ambilkan benang merah muda di laci biasa, Anna." pinta Nyonya Hana sambil melanjutkan baju rajutannya. Irene tidak bersuara, ia tau dimana tempatnya dan melakukan perintah itu. Sekali lagi ia termenung memandang sesaat foto ayahnya yang tersenyum di meja nakas sebelum kemudian menghampiri ibunya.
"Ini benangmu, Nyonya." ucapnya. Terlihat sebuah baju anak perempuan yang hampir jadi di atas pangkuannya. Nyonya Hana menoleh saat mendengar suara yang berbeda namun tidak asing itu.
"Ya Tuhan, Irene?" mata tuanya berbinar senang. "Oh, ini benar-benar kau, Irene?" tangannya menangkup wajah Irene seakan tidak percaya kalau dia nyata.
"Iya, Ibu. Ini Irene."
"Oh putriku."
Mereka berpelukan erat dengan senyum yang menghiasi wajah keduanya. Tapi tidak lama semua itu berubah menjadi tangisan saat Nyonya Hana langsung mengenang mendiang suaminya, seakan tidak ada teman untuk berbagi yang mengerti tentang kepedihan yang dipendamnya sendiri selama ini.
"Dia sudah tiada, Irene." ia tersedu. Hal pertama yang di kabarkannya kepada Irene. Terlalu banyak kesedihan di pundaknya. Disini Irene berpikir dan merasa kalau dirinyalah anak yang durhaka. Ia yang menutup semua informasi tentang keluarga besar Sean dari hidupnya.
"Aku tau, Ibu. Maafkan aku, karena aku tidak tau." Irene menangis menyesal, berharap bisa memutar waktu. "Maafkan aku."
-
Cuaca sore ini kembali mendung, angin bertiup dingin menggugurkan daun-daun. Sean sendirian menatap batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya, berkedip pelan sementara pikirannya selalu melambung jauh, tentang masa lalu, rasa bersalahnya, tentang Irene yang tidak sengaja ia temui kemarin. Irene kembali. Kenapa Irene kembali? Tapi Irene tidaklah benar-benar pergi, dari pikirannya, dari hatinya. Dan yang terpenting, tidak ada yang berubah dari dirinya. Semakin cantik dan terlihat baik-baik saja. Cukup banyak pertanyaan dibenaknya, Sean menghela nafas, ia bersyukur dan ikut senang karena Irene bisa melanjutkan hidup dengan baik walau tanpa dirinya.
Irene menghentikan langkahnya dijalan setapak berkerikil ini. Lagi dan lagi, ia tidak percaya dengan siapa yang dilihatnya sekarang. Sean Adriel. Begitu sempitnya kah negara ini sekarang sampai-sampai dirinya dan Sean kembali harus bertemu. Irene memutuskan untuk pergi ke pemakaman keluarga ini setelah hampir tiga jam melepas rindu suka duka bersama ibunya. Cukup melegakan untuk Irene karena ibunya mengerti dengan tidak menyinggung soal Sean diantara mereka. Sedikit banyak mereka hanya berbagi cerita tentang sang ayah yang terkena serangan jantung di ruang kerjanya, diduga stres dan kelelahan karena pekerjaan di kantor yang ia ambil alih untuk sementara. Nyonya Hana sudah tertidur pulas saat ia memutuskan untuk pulang. Dan yang membuatnya berat hati adalah, Irene tidak bisa berjanji akan datang kembali untuk mengunjungi ibunya.
Sean berbalik badan dan mata mereka kembali bertatap untuk sesaat sebelum Irene menjadi yang pertama memutus kontak mata itu. Irene tidak bisa lagi berlama-lama menatap mata yang seakan-akan dirinyalah satu-satunya wanita yang terpenting didalam hidup Sean. Kebohongan seperti apa itu atau mungkin akting Sean yang sangat bagus? Sama seperti waktu yang lalu.
Sean menelan ludahnya yang kering, ia tidak tau pasti tapi hatinya sakit karena reaksi dingin itu. Walau sudah lama tidak diikat tali pernikahan, Irene masih marah kepadanya. Siapa yang tidak? Bahkan saat di kantor persidangan perceraiaan mereka, Sean berharap masih akan bisa bertemu dengan Irene untuk terakhir kalinya, untuk meminta maaf padanya, atau jika mungkin mengubah pikiran Irene untuk memberikannya kesempatan kedua demi rumah tangga mereka di sana tapi ternyata Irene sudah pergi tanpa meninggalkan jejak dan melimpahkan segala urusannya kepada sang pengacara. Sean teringat betapa sulit jari-jarinya untuk menandatangani dokumen-dokumen tersebut tapi lagi, jika ia ingin Irene memaafkannya, maka ia harus melakukannya. Dan mungkin dengan itu ia berharap dapat mengurangi rasa bersalahnya. Sean melepaskan Irene. Dan sampai sekarang, Sean masih sangat benci dengan pengacara kadal yang merendahkannya setiap kali bertemu itu. Sean harus ingat posisinya yang bukan siapa-siapa lagi untuk Irene.
Mencoba setenang mungkin, Irene berjalan menuju Sean yang langsung memberinya tempat ditengah untuk bertemu dengan sang ayah. Ia meletakkan buket bunga yang dibawanya di depan batu nisan kemudian berdoa, memberikan penghormatan terakhir untuk mendiang ayahnya. Tidak ada yang namanya mantan orang tua. Dari belakang, Sean hanya memperhatikan Irene yang sedang khusuk. Ia ingin sekali memeluk tubuh itu di sore yang dingin ini. Merasakan kehangatannya, menikmati segar wangi lavender di tubuhnya yang masih sama. Sean menggeleng cepat dan mengalihkan pandangannya ke satu noda yang ada di sepatunya, ia sangat tidak sopan telah berpikir seperti itu tentang Irene. Mereka sudah tidak bersama lagi.
"Bagaimana kau tau tempat ini?" Sean membuka suaranya dengan bertanya setelah beberapa saat mereka berjalan berdampingan dengan langkah kecil yang santai, keluar dari tempat pemakaman. Sebenarnya mereka berdua berusaha keras untuk terlihat santai.
"Aku menemui Ibu dirumah." jujur Irene. Sean kaget, meliriknya tidak percaya namun dadanya menghangat mendengar hal itu. "Dia tidur setelah selesai makan siang dan minum obat lalu aku kesini." Sean mengangguk kecil. Ibunya pasti sudah menceritakan apa yang sudah menimpa ayah mereka, yang adalah salahnya.
.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...