Goodbye Happiness - p5

105 18 3
                                    

🍁

Hari-hari berlalu dengan cepat.

Tidak setenang biasanya, tidak sehangat malam-malam lalu yang penuh dengan tawa dan cerita bahagia yang memenuhi sudut kamar. Hampir seharian kau berbaring tidak bersemangat diatas ranjang yang dingin tanpa kehadirannya. Kau merindukannya, setiap detik. Matamu berkedip malas. Pikiranmu tidak fokus. Hidupmu sudah seperti zombie, bahkan mungkin lebih menyedihkan. Kau juga jarang pergi kekantor, melalaikan tugasmu sebagai pemimpin disana. Kau bahkan tidak peduli lagi kalau nanti ayahmu memecatmu dari perusahaan itu atau mencoret namamu sebagai ahli warisnya.

Drrtt drrttt...

Kau mengambil ponsel dimeja nakas dan melihat nomor tidak dikenal memanggilmu. Dahimu mengernyit penasaran, nomor itu bukan dari kantor yang membuatmu kesal beberapa hari belakangan. Dengan ragu kau menjawabnya.

"Hallo—"

"Temui aku di Restoran Soul, jam sepuluh, sekarang." ucap suara khas diseberang. Dingin, tapi kau mengenalnya dan sangat merindukan suara itu. Aliran darah yang hangat seketika mengalir keseluruh tubuhmu. Sekarang kau seperti zombie yang sudah disuntikkan vaksin penyembuh dari dokter.

"Irene?" gugupmu dengan bahagia. Kau bangkit dari ranjang dan tersenyum tidak percaya seperti orang gila. Setelah berkali-kali kau mencoba menghubunginya dan tidak berhasil tapi sekarang dia yang menghubungimu sendiri. Salahkah kalau kau menganggap hal ini sebagai pertanda baik?

"Jangan terlambat." pintanya datar namun tegas, tidak menjawab pertanyaanmu sebelumnya.

"O-okey. Aku akan datang, baby." janjimu. Ini langka dan kau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kau dan dia yang berada entah dimana itu terdiam beberapa saat. Terlebih dirimu, tidak tau harus mengatakan apa dan bagaimana. Bisa mendengar nafasnya saja sudah sangat membuatmu bahagia.

"Aku mencintaimu—" ucapmu dan sambungan telepon langsung terputus.

Kau mendesah panjang menatap layar ponselmu yang sudah gelap. Ini tidak akan mudah. Kau lalu melihat jam dinding, pukul sembilan lewat tiga puluh malam. Kau segera berkemas, tidak ingin terlambat walau kau tau restoran bintang lima itu tidak jauh dari rumah. Kenapa dia tidak langsung pulang?


Restoran Soul 

"Selamat datang, Tuan." seorang resepsionis wanita menyambutmu. Kau tersenyum sopan padanya.

"Tempat atas nama Irene Adriel." pintamu tidak sabar.

"Baik, mohon tunggu sebentar Tuan.." Kau mengangguk sementara resepsionis itu mengecek sesuatu didalam komputernya. "Maaf Tuan, tapi sepertinya tidak ada tempat yang dipesan atas nama Irene Adriel." jawabnya sesal.

"Oh benarkah?" dahimu berkerut dan berpikir. Kau yakin tidak salah masuk restoran. Dan istrimu tidak mungkin berbohong. Apa dia sudah pergi? Kau melihat jam tanganmu, kau tepat waktu. Kau menelan ludah saat satu kemungkinan yang cukup pahit terlintas. "Emm, kalau— Irene Quinn?" pintamu sekali lagi, resepsionis itu mengangguk, mengecek komputer untuk yang kedua kalinya lalu tersenyum.

"Silahkan ikut saya, Tuan." katanya. Kau tersenyum tipis, senang sekaligus sedih saat mendengarnya. Senang karena dia benar ada disini, dan sedih karena dia tidak lagi menggunakan nama belakangmu. Semarah itukah dia? Siapa yang tidak?

Dengan berat hati atas satu kenyataan itu, kau terus mengikuti langkah resepsionis didepanmu. Dia membukakan satu pintu untukmu dan mempersilahkanmu sebelum pamit kembali kepekerjaannya. Kau menarik nafas panjang dan melangkah masuk. Kau tidak tau kenapa menjadi sangat gugup, seperti baru pertama kali bertemu. Dan akhirnya mata kalian bertemu setelah sekian lama. Untuk beberapa saat kau dan dia saling menatap. Kau tidak tau apa yang ada dipikirannya sekarang, tapi kau sangat merindukan bagaimana mata cokelatnya itu menatapmu. Kau sangat bahagia bisa melihat wajahnya lagi. Sangat bahagia sampai matamu panas dan nanar. Kau juga lega karena dia terlihat sehat. Sepertinya dia lebih kuat darimu. Tapi kemudian dahimu kembali mengernyit saat menyadari kehadiran orang lain diantara kalian. Pria disamping istrimu itu bangkit dari kursinya dan menghampirimu.

"Selamat malam, CEO Sean Adriel." Dia mengulurkan tangan. Kau menatapnya bingung tapi tetap menjabat tangannya dengan sopan. "Aku Donny Park, Pengacara Nona Irene Quinn." ucapnya sambil tersenyum kecil.

Bagai disambar petir, kau membeku ditempatmu berdiri. Tubuhmu tegang. Kau perlahan meliriknya yang masih duduk didepan meja makan, mencari kebenaran dimatanya tapi dia diam saja dan seketika memalingkan wajah darimu. Jantungmu berdegup panik dan pikiranmu bercabang-cabang tidak menentu. Tidak mungkin.

"Irene—"

"Pengacara Park, bisa tinggalkan kami sebentar." potongnya, akhirnya bersuara. Suara yang terdengar lebih merdu dari ditelepon tadi.

"Baik, Nona Irene." pengacaranya itu mengangguk lalu melirikmu sekilas. Kau tidak tau, tapi kau bisa merasakan kalau dia merendahkanmu dengan tatapannya. "Kalau terjadi sesuatu, panggil saja aku, Nona Irene. Aku akan menunggu diluar." katanya. Kau mendengus kesal. Memangnya apa yang akan kau lakukan? Kau tidak akan melukai istrimu sendiri. Dengan santai dia menepuk pundakmu lalu keluar ruangan. Darahmu mendidih dan berbalik ingin menahannya. Dia tidak berhak menyentuhmu.

"Bisakah kau duduk?" ucap suara dibelakangmu kemudian. Melihat gerak-gerikmu, dia tau apa yang akan kau lakukan. Kau menghela nafas, mencoba tenang sebelum kembali menatapnya. Kau tidak punya urusan dengan pengacara kadal seperti dia. Kau kesini untuk Irene, istrimu.

Kau menarik kursi dan duduk perlahan didepannya. Membuang semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi tentang hubungan yang sudah lama kalian bina. Kau tidak ingin memikirkan tentang itu.

"Bagaimana kabarmu?" tanyamu peduli. Dia menatapmu. "Kemana saja kau selama ini? Aku mencoba menghubungimu dan mencarimu tapi tidak seorangpun tau kau ada dimana." khawatirmu. Kau tidak yakin apakah dia yang menyuruh teman-temannya untuk tidak bersuara padamu. Dia tidak langsung menjawab, hanya memperhatikanmu sejenak, membuatmu gugup.

"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, adiknya Joy bercerita tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Tentu dia tidak percaya begitu saja, tapi sekarang berbeda karena kau sudah didepan matanya. Dia kembali menatapmu dengan lama. Bulu-bulu dirahangmu mulai tumbuh kasar karena jarang bercukur, kau juga terlihat kurus dan lingkaran hitam disekitar matamu terlihat karena kurang tidur. Penampilanmu memang kacau, kau sadar. Dan kau juga tau kemana arah pernyataannya itu. Sindirannya yang sangat pedas.

"Tidak ada yang bisa merawatku lebih baik darimu, Irene." Kau tersenyum pahit. Dia menunduk sambil memainkan jari-jari lentiknya diatas meja. Kau ingin sekali menggenggam jemari itu tapi tertegun saat menyadari tidak ada lagi cincin pernikahan kalian dijari manisnya.

"Aku ingin bercerai." Dia mengatakannya. Waktu berhenti. Jantungmu berhenti. Duniamu berhenti. Hancur. Kau tertegun.

"Tidak." tolakmu cepat, sedikit marah. "Irene kumohon, jangan katakan hal seperti itu. Aku sudah mencoba menjelaskan padamu yang sebenarnya, dan apa yang terjadi tidak seperti yang kau lihat—"

"Apa yang aku lihat?!" marahnya. Dia bangkit dari kursi. "Apa yang aku lihat difoto itu adalah kau sangat menikmati waktumu bercinta dengan wanita itu!" Dia menjauh darimu. Menutup wajah dengan tangannya, mencoba meredam emosinya walaupun itu sangat susah. Dia mencoba kuat, dan harus kuat. Kau menghampirinya dan membuka mulut untuk bicara tapi terdiam saat melihat tatapan matanya yang penuh luka dan air mata padamu. Nyatanya dia tidaklah sekuat itu. Kau semakin membenci dirimu sendiri karena sudah membuatnya terluka separah ini. Tidak lagi. Jangan menangis.

"Apa kau memikirkan aku saat kau menciumnya? Apa kau memikirkan aku saat kau menyentuhnya? Apa kau pernah memikirkan aku saat kau tidur dengannya?!" lirihnya. Hampir dua minggu, dia tidak bisa menghilangkan bayanganmu dan wanita itu dipikiran dan benaknya. Tidak semudah itu. Dia akan menangis setiap malam, setiap hari hanya untuk mencoba melupakan rasa sakit itu. Dadamu sesak, kau terdiam tidak tau harus menjawabnya apa.

.

.

Bersambung

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang